Opini  

Menatap Masa Depan Anak Betawi (3): Dua Gede

Menatap Masa Depan Anak Betawi (3): Dua Gede

Oleh: Syamsul Yakin, Penulis Buku “Milir”

Anak Betawi tahun 1990-an mungkin tidak mengenal apa itu “dua gede”. Dua gede adalah salah satu jenis film layar lebar pada film layar tancap. Layar tancap adalah hiburan rakyat yang tumbuh pesat pada 1970-an hingga awal 1990-an di kampung-kampung Betawi, seperti di Jakarta, Depok. Tangerang, dan Bekasi. Film dua gede disebut juga film layar lebar mabak dengan proyektor 35 milimeter. Sensasi menonton film dua gede begitu atraktif dan menarik.

Sebenarnya selain dua gede, ada dua lagi jenis film layar tancap. Pertama, satu kecil. Biasanya pemilik film layar tancap hanya membawa satu saja proyektor. Hal itu ditandai dengan jeda tayangan sekitar setengah jam. Waktu itu digunakan untuk menggulung film. Agar penonton tidak bengong pemilik film menyetel lagu dengan suara keras yang orang Betawi bilang pelat. Bagi penonton, kesempatan ini juga digunakan untuk jajan atau sekadar buang air kecil di bawah pohon.

Film satu kecil umumnya film lama. Orang Betawi yang menyewa juga biasanya orang susah. Terkadang nanggap film ketika itu demi gengsi atau janji kepada anak yang disunat atau dinikahkan. Atau karena nazar atau kudangan (perkataan orangtua kepada anak yang disunat atau dinikahkan bahwa mereka dijanjikan akan ditanggapin layar tancap, misalnya). Dalam konteks ini berlaku pemeo pada masyarakat Betawi, “biar tekor asal kesohor”. Nyatanya memang kesohor dan dikenal royal (berani mengeluarkan uang).

Kedua, dua kecil. Film layar tancap dua kecil menggunakan dua proyektor sehingga tidak ada jeda dan tidak ada pelat. Penonton dapat terus menonton sejak Isya hingga adzan Subuh berkumandang. Dalam satu malam perhelatan layar tancap paling banyak lima film dapat ditayangkan. Umumnya, penonton film dua kecil lebih banyak ketimbang satu kecil. Orang Betawi yang nanggap juga lebih banyak duitnya kendati bukan termasuk orang gedean. Film-film yang diputar tidak tergolong film lawas, namun bukan film baru.

Perbedaan ketiga jenis film layar tancap ini yang paling mencolok adalah, pada film dua gede sering terjadi kerusuhan akibat film yang ditayangkan bukan film baru. Tak jarang perhelatan bubar karena tiang bambu penopang layar lebar ditebang oleh penonton yang tidak puas. Mereka yang menebang dikenal dengan istilah cokok. Cokok adalah mania film layar tancap yang selalu datang di selebar kampung saban malam. Wajar kalau semua film sudah mereka tonton.

Perbedaan berikutnya dari kebaruan film yang diputar. Film mabak atau dua gede sering kali adalah film yang masih diputar di bioskop. Karena itu nanggap film dua gede berbiaya mahal. Yang nanggap biasanya orang gedean, juragan, atau calo yang diprovokasi oleh temannya sesama calo. Biasanya mereka patungan. Istilahnya mereka kondangan dengan membantu membayar film dua gede. Sementara ustadz atau mualim kalau hajatan atau keriaan mereka tidak naggap film. Paling banter naggap kasidahan atau malah mengundang guru gede buat ceramah agama.

Perbedaan lain film dua gede, dua kecil, dan satu kecil adalah dari sisi penjaja makanan. Sejak 1970-an hingga awal 1990-an banyak orang Betawi yang bermata pencaharian sebagai tukang dagang di tempat tontonan. Utamanya layar tancap ini. Mereka datang dari kampung yang jauh berjalan beriringan sejak pagi hari. Mereka mendorong gerobak bakso, soto mie, minuman dingin dalam botol. Ada juga yang menjual gado-gado, tahu kuning, lepet, uli bakar, hingga sate ayam dan sate kambing. Tukang dagang lebih mengejar berdagang pada film dua gede karena lebih banyak penontonnya. Dalam film gua gede, areal layar tancap disesaki oleh para tukang dagang ini.

Perbedaan lain dari film dua gede adalah sebelum film ditayangkan, diputar lebih dahulu film extra. Film extra adalah film baru yang akan rilis beberap bulan lagi. Semacam iklan. Agar para penonton tahu akan ada film baru yang bakal tayang. Film extra itu tidak hanya film “melayu” (film Indonesia) tapi juga film Barat, film Hongkong, dan film India. Dahulu belum dikenal istilah film Hollywood, Bollywood, dan film China. Film extra inilah yang jadi referensi bagi para cokok untuk menonton film baru.

Bagi anak Betawi ketiga jenis layar tancap itu telah membuka jendela mereka mengenal film-film dunia. Merka akrab denga aktor legendaris asal Hongkong, yakni Jimmy Wang Yu. Saat itu dikenal dengan istilah “Film Wang Yu”. Seperti istilah “Film Dono” pada 1990-an. Anak Betawi juga menyaksikan film yang dibintangi Roger Moore, bahkan banyak yang bertingkah seperti James Bond. Bagi yang hidupnya romantis, mereka sangat menyukai aktor India Amitabh Bachchan, jauh sebelum Shah Rukh Khan.

Untuk anak Betawi yang suka film laga mereka gandrung dengan aktor Barry Prima, Advent Bangun, dan Goerge Rudy. George Rudy kerap dilapalkan dengan Gargar Rudy oleh anak Betawi. Tak jarang usai menonton film laga, anak Betawi sering memerankan diri sebagai tokoh dalam film tersebut. Ada yang mengaku Mandala, Brama Kumbara, Jaka Sembung, dan lain-lain saat bermain di lapangan atau di tumpukan jerami di tengah sawah. Mereka main berantem-beranteman (bukan berantem beneran). Inilah pendidikan layar tancap yang sangat berkesan.

Orang Betawi juga sangat suka aktor komedi seperti Bokir, Bunyamin Sueb, dan belakangan Mandra. Film-film mereka jenaka. Bokir, misalnya, kendati main dalam film horor bareng Suzzanna, tetap saja lucu. Begitu juga, Bunyamin Sueb, kendati jadi koboi tetap saja mengundang tawa. Termasuk juga mandra yang diawal karirnya sering jadi peran figuran yang lucu. Untuk menyebut contoh, mereka adalah aktor kawakan yang dilahirkan oleh masyarakat Betawi yang hari ini belum tergantikan kendati sering ditiru orang.

Untuk bintang film remaja yang jadi pujaan anak muda sejak 1980-an salah satunya adalah Rano Karno. Selain sebagai penyanyi, dia juga merambah menjadi sineas film berlatar belakang kehidupan masyarakat Betawi. Yang paling fenomenal adalah sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS) yang dibintanginya bersama Bunyamin Sueb dan Mandra. Keberhasilan Rano Karno selain talenta dari ayahnya Sukarno M. Noor, bisa jadi terinspirasi sutradara kawakan asal Betawi seperti Nawi Ismail dan Sjuman Djaya.

Sampai di sini dapat dikatakan bahwa orang Betawi adalah penonton film, pemain film, dan pembuat film. Bahkan pengedar film layar tancap. Di Depok dikenal istilah “Film Bang Puyuh”. Ada lagi “Film Bang Muhyi” dan “Film Si Wandi”, dua yang disebut terakhir beralamat di Sawangan kota Depok. Bahkan di Kedaung Ciputat ada distributor film 16 milimeter dengan nama “Naban Film”, milik H. Naban. Masyarakat Betawi juga mendukung perhelatan layar tancap, baik satu kecil, dua kecil, dan dua gede. Konfigurasi ini seharusnya melahirkan lagi bintang film dan sineas Betawi.

Namun bagaimana caranya untuk memunculkan kembali aktor dan pekerja film dari Betawi? Tak bisa disangkal para seniman Betawi harus urun rembuk. Harus ada tukang gesah yang menceritakan masa keemasan film-film yang dibintangi orang Betawi. Saksi hidup dan pelaku seni yang masih eksis seperti Rano Karno dan Mandra bisa tampil paling depan. Selagi masih ada waktu saatnya mereka menularkan kesuksesan yang pernah diraih kepada anak Betawi masa kini. Andai diperlukan untuk mendirikan Institut Kesenian Betawi (IKB), itu lebih baik. Sebab faktanya, lawakan di televisi banyak bergenre Betawi yang suka nyablak. Itu artinya film Betawi disukai hingga kini.*