MJ. Tangerang – Penegakan hukum di Indonesia kembali menjadi sorotan, terutama terkait keadilan yang dinilai masih sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kasus terbaru yang menjadi perhatian adalah perkara seorang ibu rumah tangga bernama Sulastri yang didakwa melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan. Kasus ini terdaftar dalam perkara Nomor: 1259/Pid.B/2024/PN Tng di Pengadilan Negeri Tangerang.
Sulastri didakwa berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kota Tangerang. Namun, penasihat hukum Sulastri, Dinalara Butarbutar, S.H., M.H. dan H.M. Ali Udin, S.H., mempertanyakan dasar hukum penetapan Sulastri sebagai terdakwa. Usai pembacaan nota pembelaan (pledoi) pada tanggal 24 Oktober 2024, Dinalara menyatakan bahwa tidak ada saksi yang menyatakan Sulastri pernah menerima pembayaran dari PT Kukuh Mandiri Lestari, perusahaan pelapor dalam perkara ini.
“Kami menaruh harapan besar kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang diketuai oleh Kony Hartanto, S.H., M.H., untuk melihat fakta-fakta hukum yang tidak mendukung tuduhan terhadap Sulastri. Selama persidangan, tidak ada satu pun saksi yang menunjukkan bahwa Sulastri telah menerima uang dari pelapor,” ujar Dinalara.
Dinalara juga mengungkapkan kejanggalan dalam proses hukum ini, di mana seluruh Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disertakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru mengacu pada kasus H. Risan, M.Si., M.H., bukan pada Sulastri. Bahkan, ia menyoroti bahwa BAP untuk H. Risan memiliki isi yang sama persis, hingga tanggal dan isinya, dengan BAP yang digunakan untuk Sulastri.
“Jika penetapan tersangka terhadap Sulastri dilakukan berdasarkan pengembangan perkara H. Risan, seharusnya ada penjelasan yang jelas dalam dakwaan, termasuk menjuntokan dakwaan dengan Pasal 55 atau Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan. Namun, tidak ada pernyataan bahwa tindakan yang didakwakan terhadap Sulastri melibatkan H. Risan,” tegas Dinalara.
Ia juga mengungkapkan bahwa pelimpahan cepat perkara ini ke persidangan diduga untuk menggugurkan permohonan praperadilan yang diajukan Sulastri dalam perkara Nomor: 11/Pid.Pra/2024/PN Tng. Hal ini mengakibatkan penyusunan berkas perkara Penuntut Umum menjadi tergesa-gesa sehingga banyak berkas yang tidak lengkap.
Dengan situasi ini, Dinalara berharap agar majelis hakim mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dan menjunjung keadilan dalam mengambil keputusan. “Jika terdakwa tidak terbukti menerima uang atau memiliki kesepakatan dengan pihak pelapor, maka sulit untuk membuktikan adanya keterlibatan atau ‘meeting of mind’ yang menjadi syarat penyertaan dalam hukum pidana,” tutupnya.
Penasihat hukum terdakwa, Dinalara Butarbutar, S.H., M.H., mengkritik dakwaan yang disampaikan Penuntut Umum, yang dinilai tidak didukung oleh bukti nyata. Menurutnya, asumsi yang dibangun Penuntut Umum seolah-olah terdakwa, Sulastri, terlibat dalam kasus suaminya, H. Risan, M.Si., M.H., didasari oleh fakta bahwa ia adalah istri H. Risan. Namun, status tersebut, jelas Dinalara, tidak bisa serta-merta dijadikan dasar untuk mengaitkan Sulastri dengan perbuatan atau kesalahan yang dilakukan suaminya.
Dinalara menyatakan bahwa Penuntut Umum harus membuktikan adanya “meeting of mind” atau kesepakatan antara Terdakwa dengan pelaku utama, H. Risan, M.Si., M.H., namun hal ini justru tidak ditemukan dalam persidangan. “Seluruh saksi menyatakan bahwa Sulastri tidak pernah menerima uang hasil penjualan tanah dari PT Kukuh Mandiri Lestari. Hal ini menunjukkan bahwa semua uang senilai Rp14 miliar yang diterima dari PT Kukuh Mandiri Lestari sepenuhnya berada di bawah kendali H. Risan,” ujarnya.
Dinalara melanjutkan bahwa, jika memang Sulastri mengetahui rincian jumlah atau waktu pencairan dana dari PT Kukuh Mandiri Lestari, tentu dia akan menyisihkan sebagian untuk haknya sendiri, terutama karena ada Sertifikat Hak Milik (SHM) milik pribadi Sulastri dalam dokumen tanah yang dipegang oleh H. Risan. Menurut Dinalara, dana sebesar Rp14 miliar tersebut merupakan pembayaran uang muka dari PT Kukuh Mandiri Lestari atas dokumen tanah yang dititipkan Risan pada Yendra Wiharja.
Lebih lanjut, Dinalara menjelaskan bahwa pencairan dana kepada pihak Salih dan Soleh tidak dilakukan sekaligus, melainkan bertahap dengan selang waktu dua minggu. H. Risan sendiri menjanjikan bahwa pembagian hasil penjualan tanah akan dilakukan secara merata kepada yang berhak. “Namun janji ini datang dari H. Risan, bukan dari Terdakwa,” tegasnya.
Senada dengan Dinalara, Mohammad Aliudin, S.H., juga sebagai kuasa hukum Sulastri, menyebutkan bahwa tuntutan terhadap Risan sebagai pelaku utama (dader) hanya delapan bulan, sementara Sulastri sebagai pihak yang turut serta (medepleger) dituntut satu tahun enam bulan. Hal ini dinilai janggal, terutama karena Sulastri tidak menerima uang dari PT Kukuh Mandiri Lestari. “Semoga Majelis Hakim tidak terpengaruh oleh nama besar perusahaan besar di balik kasus ini,” ujar Aliudin.
Aliudin menambahkan bahwa sejak penahanan di tingkat kepolisian, Sulastri tidak menerima pemberitahuan perpanjangan penahanan, dan lebih lanjut, pelapor pun sebenarnya tidak mengenal terdakwa Sulastri dan hanya melaporkan H. Risan. “Kami berharap Majelis Hakim dapat bertindak jujur dan berani dalam mengambil keputusan, tanpa takut akan pengaruh dari pihak besar. Kami percaya bahwa keadilan dapat ditegakkan, dan semoga Sulastri bisa divonis bebas,” pungkas Aliudin.