MJ, Jakarta – Dalam isi tesisnya yang mengangkat “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di Media Sosial Dalam Sejarah Hukum Dan Pembaruan Hukum Pidana” bagi Dr. Simon Simaremare S.T., M.Th., M.H. sangat menarik, dimana kemajuan akan era digital yang semakin maju pesat membuat Masyarakat pun semakin memahami akan teknologi maju. Namun dibalik itu penggunakan Media Sosial sering digunakan untuk membuat konten konten yang tidak bermutu bahkan dapat menjerumuskan ketindakan hukum.
Dijelaskan Simon Simare Mare dalam penilitiannya, melihat salah satu persoalan terkait dengan tantangan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia adalah terkait dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial dengan mengacu kepada regulasi hukum yang mengatur tentang hal tersebut.
Untuk itu kata Simon, perlu dilakukan reformulasi substansi hoaks sebagai upaya untuk merestrukturisasi dan merekonstruksi kebijakan hukum pidana yang berlandaskan pada Pancasila, akurasi aparat penegak hukum dalam mengatasi kejahatan Ujaran kebencian untuk mencapai tujuan hukuman pidana, dan meningkatkan kesadaran hukum Masyarakat, ujar lulusan terbaik Magister Hukum UKI tahun Akademik Gasal 2024-2025…
Pada satu sisi Simon menyebut, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi telah membawa dampak positif yang signifikan dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk dalam bidang hukum. Teknologi memberikan akses yang lebih mudah dan cepat terhadap informasi. Masyarakat dapat dengan cepat mencari dan memperoleh informasi tentang hukum, hak-hak mereka, dan proses hukum yang terkait.
Jadi melalui media sosial dan platform online lainnya kata Simon, individu dapat berpartisipasi dalam diskusi, membagikan pandangan mereka, dan mengadvokasi untuk isu-isu hukum dan keadilan sosial.
“Hal ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka dan memperkuat partisipasi dalam proses hukum. Perkembangan teknologi telah memberikan kontribusi positif yang signifikan dalam meningkatkan akses terhadap keadilan, efisiensi dalam penanganan kasus, dan transparansi dalam sistem hukum,: ungkapnya.
Namun, pada sisi lain Simon mengatakan, teknologi informasi, terutama media sosial dan platform daring lainnya, telah memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan tindak ujaran kebencian di masyarakat saat ini. Teknologi informasi kata Simon memungkinkan penyebaran pesan dan konten dengan cepat dan mudah kepada audiens yang luas.
“Hal ini memungkinkan individu atau kelompok untuk dengan mudah menyebarkan ujaran kebencian kepada ribuan bahkan jutaan orang hanya dalam hitungan detik,” katanya.
Simon menyoroti bagaimana ruang digital memberikan ilusi kebebasan tanpa batas bagi banyak individu. Di balik layar, mereka merasa lebih aman untuk mengekspresikan pandangan ekstrem atau intoleran tanpa khawatir akan konsekuensi hukum atau sosial. Anonimitas dunia maya seolah menjadi tameng yang melindungi mereka dari pertanggungjawaban atas ujaran kebencian yang disebarkan. Ditambah lagi, algoritma media sosial semakin memperkuat fenomena ini dengan menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna, menciptakan filter bubble dan echo chamber—lingkungan digital tertutup yang hanya memperkuat sudut pandang tertentu tanpa ruang untuk perspektif yang berbeda. Akibatnya, ujaran kebencian bukan hanya tersebar lebih cepat, tetapi juga semakin mengakar dalam kelompok-kelompok yang merasa didukung oleh sistem ini.
Kata Simon, media sosial seringkali menjadi sumber berita utama bagi banyak orang, namun seringkali sulit untuk memverifikasi kebenaran informasi yang disebarkan di platform tersebut. Hal ini kata Simon dapat menyebabkan penyebaran ujaran kebencian atau informasi palsu tanpa adanya filter atau pengecekan yang memadai. Komunitas daring dengan kepentingan dan pandangan yang serupa dapat menjadi tempat di mana ujaran kebencian diterima, diperkuat, dan disebarkan lebih jauh, tandasnya.
Penyebaran ujaran kebencian lanjut Simon, merupakan tindakan dengan sengaja menyebarluaskan sentimen permusuhan dan permusuhan terhadap individu atau kelompok berdasarkan keanggotaannya dalam kategori tertentu yang dilindungi dalam kerangka SARA, yaitu afiliasi suku, agama, ras, dan antarkelompok.
“Sesuai dengan kerangka hukum, ujaran kebencian mencakup ekspresi verbal, perilaku, materi tertulis, atau presentasi publik yang secara tegas dilarang karena berpotensi memicu tindakan kekerasan dan diskriminasi, sehingga berdampak pada keduanya,” urainya.
Bentuk ujaran kebencian di masyarakat hadir dalam berbagai manifestasi, mulai dari penyebaran stereotip negatif hingga kampanye sistematis yang mengarah pada eksklusi sosial. Dalam beberapa kasus, ujaran kebencian bukan hanya sekadar ungkapan kebencian semata, tetapi juga mampu membentuk persepsi publik yang menciptakan lingkungan yang semakin permisif terhadap diskriminasi dan intoleransi. Ketika stereotip negatif diperkuat secara terus-menerus, hal ini dapat membentuk persepsi sosial yang merugikan kelompok tertentu, membuat mereka semakin rentan terhadap marginalisasi dan perlakuan tidak adil.
“Dampak dari ujaran kebencian tidak hanya bersifat individual tetapi juga kolektif. Komunitas yang menjadi sasaran ujaran kebencian sering kali mengalami eksklusi sosial, baik dalam interaksi keseharian maupun dalam akses terhadap hak-hak mereka sebagai warga negara. Jika tidak dikendalikan, ujaran kebencian dapat memperparah polarisasi sosial dan memicu konflik yang lebih besar di masyarakat.,” ungkapnya.
Kata Simon, dalam perspektif teori keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, penegakan hukum berfungsi sebagai instrumen utama dalam menciptakan masyarakat yang adil, aman, dan beradab. Lebih dari sekadar menindak pelanggaran hukum, penegakan hukum juga harus memastikan bahwa nilai-nilai keadilan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif teori keadilan, hukum memiliki peran sentral dalam mendistribusikan sumber daya, hak, dan kebebasan secara adil di masyarakat. Penegakan hukum yang adil akan mencegah ketimpangan serta memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya tanpa diskriminasi.
Sedangkan dalam perspektif perlindungan hak asasi manusia, hukum yang efektif harus mampu melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan, baik oleh sesama warga negara, kelompok tertentu, maupun oleh negara. Ketiadaan penegakan hukum yang efektif berpotensi menciptakan ketidakadilan, memperburuk ketimpangan sosial, dan melemahkan perlindungan hak-hak dasar setiap individu.
Kata Simon, melalui penegakan hukum yang tegas dan adil, masyarakat dapat dilindungi dari berbagai bentuk kejahatan, baik yang bersifat konvensional maupun yang lebih kompleks dan terorganisir. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak sekadar menerapkan aturan, tetapi juga berperan dalam menjaga integritas, keadilan, dan keamanan sosial. Dengan sistem hukum yang transparan dan berkeadilan, masyarakat dapat berkembang dalam lingkungan yang kondusif, di mana hak dan kebebasan setiap individu tetap dihormati dan dilindungi.
“Ini memungkinkan masyarakat untuk berkembang secara positif dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua anggotanya dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia, memang penegakan hukum menjadi fokus utama sejak reformasi sampai saat ini, namun dalam kenyataannya penegakan hukum masih sangat lemah,” ungkapnya.
Dalam perkembangan Simon Simare Mare melihat, kecenderungan penggunaan Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik semakin meningkat diterapkan dalam memidanakan pelaku ujaran kebencian.












