MJ. Jakarta – Jakarta Utara kerap dipandang sebelah mata dalam peta pembangunan Ibu Kota. Di balik kilau pusat bisnis dan kawasan elite di sudut-sudut lain Jakarta, wilayah pesisir ini justru menyimpan ironi: kemiskinan struktural, konflik agraria (Pertanahan-red), ketimpangan layanan dasar, hingga praktik hukum yang seringkali tidak berpihak pada warga kecil. Di tengah lanskap sosial yang kompleks ini, organisasi kemasyarakatan (ormas) hadir sebagai kekuatan sipil yang berperan ganda: sebagai pengawal transisi demokrasi sekaligus penjaga kepastian hukum di akar rumput.
Wilayah seperti Cilincing, Koja, Tanjung Priok, dan Penjaringan bukan hanya identik dengan kawasan industri dan pelabuhan, tetapi juga dengan padatnya pemukiman informal yang rentan terhadap penggusuran dan bencana lingkungan. Di sisi lain, daerah seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Pluit menggambarkan wajah Jakarta yang lain-mewah, modern, dan terakses oleh layanan kota.
Kesenjangan yang begitu tajam ini melahirkan tantangan serius dalam pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar soal pemilu yang berlangsung lima tahun sekali. Lebih dari itu, demokrasi harus diwujudkan dalam bentuk keterlibatan warga dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik, perlindungan atas hak-hak dasar, serta jaminan hukum yang adil bagi semua.
Namun, kenyataannya, warga di wilayah marjinal kerap tidak memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasinya. Di sinilah ormas hadir sebagai perpanjangan tangan masyarakat sipil untuk mengisi kekosongan partisipasi dan akses terhadap keadilan.
Ormas, baik berbasis agama, budaya, profesi, maupun kepemudaan, memiliki peran strategis sebagai penghubung antara masyarakat dan negara. Dalam konteks Jakarta Utara, ormas lokal telah lama menjadi agen penggerak perubahan sosial. Mereka turun langsung ke masyarakat, membuka ruang-ruang diskusi warga, mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran hak, hingga mengawal pelaksanaan program pemerintah agar tepat sasaran.
Dalam proses transisi demokrasi-yakni pergeseran dari model pemerintahan yang sentralistis menuju tata kelola yang lebih partisipatif-keberadaan ormas sangat penting. Mereka tidak hanya mengedukasi warga soal hak-hak konstitusionalnya, tetapi juga melatih masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan, mulai dari skala RT hingga musrenbang kelurahan.
Lebih jauh lagi, ormas juga memainkan peran dalam pengawasan terhadap kebijakan publik. Dalam beberapa kasus, ormas-ormas di Jakarta Utara berhasil menggugah perhatian publik terhadap isu-isu penting seperti penggusuran paksa, pencemaran lingkungan, atau pembangunan tanpa analisis dampak sosial yang memadai.
Kepastian hukum menjadi masalah besar bagi masyarakat akar rumput di Jakarta Utara. Banyak warga yang tidak memiliki dokumen kepemilikan lahan atau tempat tinggal yang sah, sehingga menjadi rentan terhadap penggusuran. Praktik penegakan hukum juga masih sering dipengaruhi oleh kekuasaan dan modal.
Ormas menjadi benteng perlindungan awal bagi warga yang berhadapan dengan ketidakadilan hukum. Banyak ormas yang menjalin kerja sama dengan lembaga bantuan hukum, advokat, dan akademisi untuk memberikan pendampingan hukum gratis kepada warga. Tak sedikit pula yang terlibat dalam penyusunan dan advokasi kebijakan lokal yang lebih berpihak pada masyarakat kecil.
Contohnya, dalam kasus penggusuran Kampung Bayam atau konflik reklamasi di kawasan pesisir, peran ormas sangat terasa. Mereka mengorganisasi warga untuk menyuarakan keberatannya, menyediakan jalur komunikasi dengan media dan pemerintah, serta mendorong dialog yang adil antara warga dan pihak pengembang.
Jakarta Utara dikenal sebagai wilayah dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Keberagaman ini menciptakan kekayaan budaya dan interaksi sosial yang dinamis, namun juga menyimpan potensi konflik jika tidak dikelola dengan baik.
Ormas memiliki peran penting sebagai penjaga kerukunan antar kelompok. Dalam banyak kasus, ketegangan yang terjadi akibat isu SARA atau politik identitas berhasil diredam oleh pendekatan ormas yang mengedepankan musyawarah dan nilai-nilai kebersamaan. Ormas keagamaan, adat, hingga komunitas warga telah terbukti mampu menjadi penengah yang efektif, karena mereka hadir langsung dan dikenal di tingkat komunitas.
Meski demikian, tidak semua ormas berfungsi secara ideal. Ada pula yang justru terseret dalam pusaran politik praktis atau digunakan sebagai alat kepentingan tertentu. Di sinilah pentingnya peningkatan kapasitas dan pengawasan terhadap ormas agar tidak menyimpang dari perannya sebagai kekuatan sipil yang otonom dan berpihak pada rakyat.
Pemerintah juga harus memiliki pendekatan yang bijak terhadap ormas. Alih-alih hanya mengawasi dan membatasi, negara seharusnya membuka ruang dialog, memberikan pelatihan manajemen organisasi, serta memfasilitasi kolaborasi ormas dengan lembaga-lembaga negara dan swasta untuk mendorong program-program pemberdayaan masyarakat.
Transisi demokrasi sejati tidak ditentukan oleh pidato pejabat atau perubahan regulasi di atas kertas. Demokrasi tumbuh dan berakar dari bawah-dari lorong-lorong kota di Jakarta Utara, dari komunitas nelayan, dari kampung padat, dari suara-suara kecil yang selama ini sering diabaikan.
Ormas adalah wajah dari demokrasi yang hidup. Mereka adalah pengawal hak-hak rakyat, penyambung lidah komunitas marjinal, dan penjaga nilai-nilai hukum yang adil. Maka, memperkuat peran ormas berarti memperkuat demokrasi itu sendiri.
Dalam bayang-bayang ketimpangan, ormas di Jakarta Utara tetap berdiri. Mereka tidak hanya bertahan, tapi terus bergerak, menjadi penjaga harapan akan demokrasi yang lebih bermartabat dan hukum yang berpihak pada semua, tanpa kecuali.