MJ. Kota Cirebon – Sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Kelas 1B Cirebon pada Senin, 14 Oktober 2024, ditunda hingga 18 Oktober 2024 karena ketidakhadiran Kapolri Cq Kapolda Jabar Cq Kapolres Kota Cirebon sebagai termohon. Penundaan ini terjadi di tengah dinamika hukum yang semakin memanas, terutama setelah terbongkarnya kasus tragis Vina di Cirebon, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai peradilan sesat.
Gugatan praperadilan ini dilayangkan terhadap Kapolri Cq Kapolda Jabar Cq Kapolresta Cirebon atas dugaan pelanggaran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) oleh penyidik. Kasus ini bermula dari laporan dugaan pencabulan yang disebut-sebut tidak didukung oleh cukup bukti, meski sudah berbulan-bulan diproses.
Dalam perkembangan yang kontroversial, pelapor melalui akun Instagramnya mengungkapkan bahwa ia diminta oleh penyidik untuk menciptakan barang bukti, berupa surat pernyataan pengakuan bersalah dan permohonan maaf dari terlapor. Barang bukti ini diduga digunakan untuk melengkapi unsur bukti yang sebelumnya tidak mencukupi, meskipun telah hampir enam bulan sejak laporan tersebut masuk, termasuk bukti visum et repertum yang masih dipertanyakan.
Tersangka akhirnya ditetapkan setelah kasusnya menjadi viral di media sosial, salah satunya melalui siaran Uya Kuya, yang menuduh tersangka sebagai pelaku biadab. Namun, keterangan pelapor dan kuasa hukumnya mengenai luka-luka yang dialami korban memunculkan keraguan publik. Luka yang disebut terjadi pada jam 6, 9, dan 12 di bagian tubuh korban, kemudian diralat oleh pelapor melalui media sosial, menyatakan bahwa selaput dara anaknya masih utuh. Informasi ini dilansir dari Sinarsuryanews.com.
Perbedaan pengakuan dari pelapor dalam dua kali pengaduan mencerminkan adanya indikasi keterangan palsu yang disampaikannya. Hal ini semakin menimbulkan kecurigaan terhadap keabsahan laporan yang dibuat, mengingat adanya perubahan informasi yang signifikan.
Sidang perdana dengan No. Perkara 02/Pid.Pra/2024/PN.Cbn yang digelar pada Senin lalu bertujuan untuk memeriksa kelengkapan administrasi beracara para pendamping hukum pemohon. Jumlah pendamping hukum yang signifikan, yakni 20 orang, menandatangani surat permohonan praperadilan tertanggal 2 Oktober 2024 di Cirebon. Sidang tersebut dipimpin oleh hakim tunggal, Ria Ayu Rosalina, S.H.
Para kuasa hukum yang menandatangani permohonan tersebut antara lain: DR. H. M. FARHAT ABBAS, S.H., M.H., AGUS PRAYOGA, S.H., WILLIAM ALBERT ZAI, S.H., RISWANTO, S.H., M.H.C.La., NOVI RATNA JUWITA, S.H., M.H., M. RIZALDI HENDRIAWAN, S.H., INDAH SAFIRA, S.H., MILAH KARMILAH, S.H., M.H., YASIN HASAN, S.H., Rd. DADAN MARYANA, S.H., M.PC, IMAS KHAERIYAH PRIMASARI, S.H., M.H., MARLINA, S.H., MOH. ADI GUNARTO, S.H., MOHAMMAD AQIL ALI, S.H., M.H., MOHAMMAD SUHARTONO, S.H., RANGGA DALU S., S.H., EKA YUDA MP, S.H., AMSAR AMDANI, S.H., SAFRUDIN, S.H., M.H., dan ENGKOS SYARKOSI, S.H. Mereka merupakan advokat dari Kantor Hukum DR. H. M. FARHAT ABBAS, S.H., M.H. & Partners di Jakarta Selatan, serta LAW FIRM AYO Center di Cirebon.
Menurut Deddi Bulak, salah seorang pengunjung sidang yang merupakan kerabat pemohon, banyaknya advokat pendamping hukum ini mencerminkan trauma masyarakat terhadap tragedi Vina. Pada kasus sebelumnya, pendamping hukum tidak dapat berbuat banyak untuk membela para tersangka yang akhirnya menerima vonis berat.
Namun, kali ini dengan bantuan tim advokat kolosal yang sebagian besar berasal dari Jakarta dan memiliki reputasi profesional, Deddi yakin kebenaran akan terungkap.
Deddi juga menambahkan bahwa dugaan penyiksaan terhadap pemohon, baik secara fisik maupun mental, akan terbongkar dalam sidang ini. Pemohon disebut telah mengalami penyiksaan fisik yang parah hingga harus menjalani tiga kali operasi akibat cedera serius pada ususnya.
Deddi menyatakan bahwa tindakan tersebut tak pantas dilakukan, bahkan oleh dokter ahli bedah sekalipun. Ia menutup dengan keyakinan bahwa keadilan akan berpihak pada kebenaran.
Dalam materi permohonan Praperadilan, terdapat hal menarik terkait dengan sejumlah dokumen penyidikan yang menjadi dasar kasus ini. Beberapa dokumen tersebut antara lain:
A. Surat Perintah Penyidikan (SP):
– SP No. SP. Sidik/94/VII/RES.1.24/2023/ Reskrim tertanggal 25 Juli 2023;
– SP No. Sp.Sidik/94.a/XI/RES.1.24/2023/ Reskrim tertanggal 3 November 2023;
– SP No. Sp.Sidik/94.b/II/RES.1.24/2024/ Reskrim tertanggal 22 Februari 2024;
– SP No. Sp.Sidik/94.c/VI/RES.1.24/2024/ Reskrim tertanggal 19 Juni 2024.
B. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP):
– SPDP No. SPDP/105/VII/RES.1.24/2023/ Reskrim tertanggal 28 Juli 2023;
– SPDP No. SPDP/105.a/XI/RES.1.24/2023/ Reskrim tertanggal 7 November 2023;
– SPDP No. SPDP/105.b/II/RES.1.24/2024/ Reskrim tertanggal 26 Februari 2024;
– SPDP No. SPDP/105.c/VI/RES.1.24/2024/ Reskrim tertanggal 24 Juni 2024.
C. Surat Pengembalian SPDP:
– Surat No. B-2917/m.2.11/EKU.1/11/2023 tertanggal 2 November 2023;
– Surat No. B.439/M.2.11/EKU.1/02/2024 tertanggal 19 Februari 2024;
– Surat No. B-1280/M.2.11/Eku.1/05/2024 tertanggal 30 Mei 2024.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang tersaji di atas, penetapan pemohon sebagai tersangka dianggap tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 angka 2 dan Pasal 14 KUHAP. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai sahnya proses penyidikan yang dilakukan.
Menurut Eddy OS Hiariej, istilah “bukti permulaan” dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP tidak hanya mencakup alat bukti sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga meliputi barang bukti fisik atau Physical Evidence yang dikenal dalam konteks pembuktian hukum universal sebagai Real Evidence. Untuk menentukan bukti permulaan yang cukup, perlu dilihat juga pasal yang disangkakan kepada tersangka.
Dalam permohonan Praperadilan yang disampaikan, termuat pada halaman 16 dari 22, disebutkan bahwa proses perkara pidana telah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan apakah penyidikan dapat dilakukan.
Pemohon dengan tegas menyatakan bahwa “penetapan tersangka terhadap diri mereka tidak sah karena tidak terdapat cukup bukti dan tidak berdasarkan hukum,” sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2019, serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Oleh sebab itu, menurut Pemohon, proses penyidikan yang didasarkan pada Laporan Polisi Nomor: LP/B/290/VI/2023/POLRES CIREBON KOTA/POLDA JABAR tanggal 11 Juni 2023 harus dibatalkan dan dinyatakan tidak dapat dilanjutkan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP.
Selain itu, Pemohon juga menyatakan adanya Surat Daftar Pencarian Orang (DPO) atas diri mereka, yang muncul setelah penetapan tersangka yang didasarkan pada Surat Keputusan Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/09/II/RES.1.24/2024/Reskrim tanggal 28 Februari 2024.
Pemanggilan pertama terhadap Pemohon sebagai tersangka dilakukan pada tanggal 8 Maret 2024, sesuai dengan Surat Panggilan Tersangka No. S.Pgl/30/III/ RES.1.24/2024/Reskrim tertanggal 4 Maret 2024. Namun, melalui penasihat hukumnya, Sofyana Pamudya, S.H., Pemohon memberitahukan bahwa dirinya tidak dapat hadir pada pemanggilan tersebut karena sakit, sesuai dengan Surat Keterangan Sakit yang dikeluarkan oleh dr. Maman Sulandjana pada tanggal 8 Maret 2024.
Selanjutnya, Pemohon dipanggil kembali sebagai tersangka pada tanggal 25 Maret 2024, sebagaimana tertuang dalam Surat Panggilan Tersangka No. S.Pgl/34/III/ RES.1.24/2024/Reskrim tertanggal 21 Maret 2024.
Namun, Pemohon kembali mengajukan permohonan penundaan pemeriksaan melalui anaknya, Rama Krisna Shyfaul Muadz, yang secara langsung menyerahkan Surat Permohonan Penundaan Pemeriksaan tertanggal 25 Maret 2024, yang diterima oleh Briptu Ibnu Akbari, S.H.
Mengenai obsesi besar Deddi Bulak dan nafas permohonan Praperadilan di atas, tampaknya menghadapi jalan yang terjal dan terkendala oleh kekompakan serta kepiawaian “Trio APH” Cirebon Kota (Ciko). Ketidakhadiran Termohon dalam kasus ini bukanlah tanpa alasan atau strategi yang matang.
Hal ini terlihat dari langkah taktis yang terjadi pada 11 Oktober 2024, ketika Pengadilan Negeri Cirebon menerbitkan Surat Penetapan Nomor 85/Pid.Sus/2024/PN Cbn, yang memutuskan untuk menggelar sidang pada hari Kamis, 17 Oktober 2024, pukul 10.00 WIB. Surat tersebut ditandatangani oleh Hakim Ketua, Rizqa Yunia, S.H.
Surat Penetapan ini didasarkan pada pelimpahan perkara dari Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Kota Cirebon dengan Nomor 85/2024 tanggal 11 Oktober 2024 terkait kasus Sutriyono.
Hal yang patut dicatat oleh Hawasda PT. Bandung adalah adanya ketidakwajaran, di mana penetapan sidang dibuat pada hari yang sama dengan pelimpahan perkara dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang juga baru menerima berkas dari penyidik. Di sisi lain, Pengadilan Negeri yang sama telah menetapkan akan menggelar sidang Praperadilan atas kasus yang terkait pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Ini berarti, sidang Praperadilan tersebut berpotensi “gugur” karena perkara pokok telah lebih dahulu digelar sehari sebelumnya. Kondisi ini membuka peluang bahwa proses hukum akan berjalan panjang dan berlarut-larut, bahkan bisa mencapai tahap grasi. Jika pihak-pihak yang terlibat lebih fokus pada pembenaran daripada menemukan kebenaran, maka proses ini akan semakin kompleks dan berliku.