Di sebuah sudut Bandung utara, cuaca sejuk seperti biasa menyambut pagi. Angin lembut berhembus dari pegunungan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar. Di teras sebuah rumah tua bergaya kolonial, Pak Arman duduk termenung. Secangkir kopi hitam mengepul di tangannya, matanya memandang ke arah caldera yang membentang jauh di bawah, menyaksikan hiruk pikuk kota yang terus berkembang. Bandung, Paris Van Java, tak pernah tidur.
Setiap sudutnya menyimpan cerita. Lapangan Saparua, tempat legendaris itu, masih menjadi saksi bisu keramaian kota. Sejak dulu, berbagai komunitas berkumpul di sana. Ada yang berolahraga, bermain musik, hingga sekadar berbagi tawa. Bahkan kelompok lansia yang berusia di atas lima puluh tahun menjadikan lapangan ini tempat rutin untuk bercengkerama, menari poco-poco, atau sekadar bernostalgia.
Namun, kota yang penuh kehangatan ini tak hanya soal keramahan. Ada pula dinamika yang membuatnya istimewa. Bandung dikenal dengan keberagaman kuliner, tempat wisata, dan penduduknya yang someah-sikap ramah yang selalu mengundang senyum. Di sini, pendatang dan penduduk asli hidup berdampingan, saling melengkapi. Tapi, seperti apa yang selalu dibicarakan, Bandung hanya benar-benar sepi saat hari raya Idul Fitri, saat sebagian besar penduduknya mudik meninggalkan kota.
Pak Arman menghela napas panjang. Matanya tertuju pada Sungai Citarum yang membelah kota. Sungai itu, saksi bisu sejarah sejak abad ke-16 di era Bupati Wiranata Kusumah, kini menjadi momok. Banjir yang tak pernah reda seolah menjadi proyek abadi. Meski triliunan rupiah sudah digelontorkan melalui program Citarum Harum, hasilnya masih jauh dari harapan. Pak Arman teringat aksi para aktivis yang pernah memadati Gedung Sate pada 2022, menuntut kejelasan progres proyek ini. Sayangnya, gubernur saat itu, Ridwan Kamil, sedang di luar negeri. Kehilangan tragis putranya di Sungai Rhein menambah luka bagi keluarga itu, sekaligus menjadi pengingat betapa rapuhnya hidup.
Bandung memang penuh kontradiksi. Di satu sisi, kota ini identik dengan perempuan-perempuannya yang cantik, ramah, dan berprestasi. Raden Dewi Sartika, pelopor pendidikan bagi perempuan, adalah buktinya. Lalu ada Inggit Garnasih, perempuan sederhana yang menjadi pendamping Bung Karno dalam masa perjuangannya. Di era modern, nama-nama seperti Nicky Astria, Mel Shandy, dan Nike Ardila menambah daftar panjang perempuan Bandung yang mengukir sejarah.
Namun, di sisi lain, Bandung juga punya wajah suram. Trotoar-trotoarnya yang rusak membuat warga malas berjalan kaki, memperparah kemacetan. Kritik yang dilayangkan hanya berujung pada saling lempar tanggung jawab. “Bandung Kota Kembang,” sebutan itu sering terasa ironis, karena bunga di kotanya sendiri semakin jarang terlihat.
Pak Arman menyeruput kopinya, mencoba mengabaikan hiruk pikuk kendaraan yang kini mulai memenuhi jalan. Ia tahu, Bandung bukan sekadar kota. Bandung adalah rumah bagi begitu banyak cerita, bagi begitu banyak hati. Seperti dirinya, banyak orang yang jatuh cinta pada kehangatan kota ini, meski tak jarang rasa frustrasi menghampiri.
“Ah, Bandung,” gumamnya pelan. “Selalu penuh paradoks. Tapi di sinilah aku ingin tetap tinggal, meski hanya untuk duduk di teras ini, memandangmu dari kejauhan.”
Di sebuah rumah bernuansa klasik di Bandung utara, Heida sedang duduk di ruang kerjanya yang minimalis. Perempuan asli Sunda ini adalah sosok yang berbeda dari kebanyakan perempuan sukses lainnya. Lahir di Bandung, Heida menempuh pendidikan ekonomi di Universitas Padjadjaran, dan kini menjadi seorang pengusaha dengan 99 karyawan yang setia bekerja di bawah kepemimpinannya. Namun, meski sukses dan memiliki penghasilan fantastis, nama Heida tidak pernah menghiasi headline berita atau menjadi perbincangan di sosial media.
Heida memiliki kehidupan yang sederhana meskipun dikelilingi oleh kemewahan. Sebagai istri yang taat kepada suami dan anak yang berbakti kepada orang tua, Heida jarang keluar rumah tanpa izin. Bahkan smartphone yang dimilikinya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat—membaca berita, menonton resep masakan, atau memantau kebijakan ekonomi. Sosoknya tidak pernah over ekspos di dunia maya. Akun sosial medianya sepi dari potret wajah cantik, tubuh elegan, atau momen kehidupan keluarganya yang penuh prestasi.
“Bu Heida itu luar biasa,” kata salah satu karyawannya, Dedi, dalam obrolan di pantry kantor. “Jarang ada bos yang kaya raya tapi nggak pernah pamer. Beliau cuma fokus kerja dan peduli sama kita semua.”
Meski kaya raya, Heida tidak pernah memanfaatkan media sosialnya untuk pamer gaya hidup. Tak ada unggahan selfie di dalam Range Rover miliknya, tak ada unjuk gigi menggunakan gadget terbaru, apalagi postingan tentang kehidupan keluarganya yang bahagia. Berbeda dengan banyak perempuan lainnya yang menjadikan sosial media sebagai ajang eksistensi, Heida memilih menjaga keheningan.
Heida menyadari bahaya Tabarruj, istilah yang mengacu pada sikap berlebihan dalam menampilkan diri demi perhatian orang lain. Sebagai pendengar setia radio KLCBS, Heida sering merenungkan makna kehidupan yang lebih dalam, jauh dari sekadar validasi sosial. Dia percaya bahwa penghormatan dan keberhasilan sejati berasal dari kesederhanaan dan tanggung jawab, bukan dari pujian atau perhatian semu.
Dalam kesehariannya, Heida kerap memberi nasihat kepada para perempuan di sekitarnya. “Hati-hati dengan sosial media,” katanya suatu hari kepada seorang teman yang curhat soal keinginannya untuk lebih dikenal. “Itu seperti membuka pintu tanpa kunci. Bukan hanya pujian yang masuk, tapi juga godaan yang bisa berbahaya.”
Namun, tidak semua perempuan bisa menerima nasihat itu. Banyak yang menganggapnya iri atau terlalu kuno. “Ini kan era kebebasan, Heida. Kita punya hak untuk berekspresi,” balas seorang teman dengan nada keras. Heida hanya tersenyum, memahami bahwa kebenaran sering kali sulit diterima di tengah gempuran propaganda tentang hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Heida adalah representasi dari perempuan yang memahami makna sesungguhnya dari menjadi seorang “independen woman.” Bukan tentang kebebasan tanpa batas, melainkan tentang kendali diri dan tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhannya.
Ketika malam tiba dan keheningan menyelimuti kota, Heida sering duduk di balkon rumahnya, menatap langit Bandung yang dipenuhi bintang. Dia tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada perhatian orang lain, tetapi pada rasa syukur dan kedamaian dalam menjalani hidup sesuai prinsip yang diyakini.
“Di balik segala godaan dunia, kesederhanaan adalah kemewahan sejati,” gumamnya pelan. Heida, wanita di balik keheningan, adalah sosok yang membuktikan bahwa kesuksesan tidak harus bersuara nyaring untuk membuat perbedaan.
Bersambung…