DEPOKPOS – Artikel ini meninjau literatur psikologis mengenai konsep kebahagiaan dalam tasawuf, sebuah cabang dari spiritualitas Islam. Tujuan utama dari tinjauan ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis pandangan-pandangan utama yang muncul dalam literatur, serta mengeksplorasi bagaimana konsep kebahagiaan dalam tasawuf dapat diaplikasikan dalam konteks psikologis modern. Melalui analisis mendalam terhadap berbagai sumber, artikel ini berusaha memberikan kontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif mengenai hubungan antara spiritualitas dan kebahagiaan psikologis.
Tasawuf, atau sufisme, merupakan aspek mistis dari Islam yang menekankan pencapaian hubungan langsung dengan Tuhan melalui praktik-praktik spiritual. Salah satu konsep kunci dalam tasawuf adalah kebahagiaan, yang sering kali dikaitkan dengan kedamaian batin, kesejahteraan spiritual, dan pencapaian makna hidup. Dalam konteks psikologi, kebahagiaan sering kali diukur melalui kesejahteraan subjektif dan kepuasan hidup. Artikel ini bertujuan untuk menjembatani konsep-konsep ini dan mengeksplorasi implikasi psikologis dari kebahagiaan dalam tasawuf.
Penelitian ini menggunakan metode tinjauan literatur dengan mengumpulkan dan menganalisis artikel-artikel akademik, buku, dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan topik. Referensi yang digunakan minimal berjumlah 15 sumber utama, yang dipilih berdasarkan relevansi dan kontribusinya terhadap pemahaman konsep kebahagiaan dalam tasawuf dari perspektif psikologis.
Tinjauan Literatur
Definisi Kebahagiaan dalam Tasawuf: Kebahagiaan dalam tasawuf sering diartikan sebagai keadaan keselarasan batin dan kedekatan dengan Tuhan (Rumi, 1995; Al-Ghazali, 2002).
Aspek Psikologis dari Kebahagiaan Tasawuf: Penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik sufistik seperti dzikir, meditasi, dan kontemplasi dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan mengurangi stres (Smith & Jones, 2010; Abdullah, 2018).
Kebahagiaan Subjektif dan Objektif: Kajian membandingkan kebahagiaan subjektif (perasaan pribadi tentang kebahagiaan) dengan kebahagiaan objektif (indikator eksternal seperti status sosial dan kesehatan) dalam konteks tasawuf (Nasr, 1987; Schimmel, 1975).
Intervensi Psikologis Berbasis Tasawuf: Studi menunjukkan bahwa intervensi berbasis tasawuf dapat digunakan dalam terapi psikologis untuk meningkatkan kesejahteraan mental (Hamed, 2016; Azam, 2019).
Konsep kebahagiaan dalam tasawuf mencakup dimensi-dimensi spiritual yang sering kali diabaikan dalam pendekatan psikologis konvensional. Praktik-praktik sufistik yang menekankan introspeksi dan hubungan dengan Tuhan dapat memberikan perspektif baru dalam memahami dan mengukur kebahagiaan. Selain itu, pendekatan sufistik dapat memberikan alat-alat baru bagi psikolog untuk mengatasi masalah-masalah mental seperti depresi dan kecemasan.
Dalam Wahyudi (2020), kebahagiaan dianggap sebagai hasil dari pencapaian spiritual yang mendalam dan hubungan yang erat dengan Tuhan. Para penganut tasawuf meyakini bahwa kebahagiaan sejati tidak semata-mata bersifat lahiriah, melainkan juga batiniah. Hal ini terwujud melalui kesadaran diri yang mendalam serta pencapaian keberadaan yang lebih tinggi secara spiritual. Dengan mengejar kehidupan rohani yang dalam dan menerapkan nilai-nilai seperti ketulusan, kesabaran, dan cinta kasih dalam setiap aspek kehidupan, mereka memperoleh kebahagiaan yang abadi dan memenuhi jiwa mereka dengan kedamaian yang sejati.
Para praktisi tasawuf mengintegrasikan prinsip-prinsip psikologi dalam upaya mereka untuk mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Meditasi, dzikir, dan refleksi mendalam dalam tasawuf sering kali dipandang sebagai alat untuk mengatasi ego dan mengeksplorasi dimensi-dimensi batiniah manusia. Psikologisnya, praktik-praktik ini dapat memperdalam pengalaman subjektif individu, membantu mereka mengelola stres, dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Dalam konteks tasawuf, kebahagiaan tidak hanya dipahami sebagai keadaan emosional yang positif, tetapi juga sebagai pencapaian spiritual yang menghasilkan kedamaian batin dan pemahaman yang lebih dalam tentang eksistensi manusia. Dengan menumbuhkan hubungan intim dengan Tuhan, praktisi tasawuf percaya bahwa mereka dapat mencapai kebahagiaan yang abadi yang melampaui kepuasan sementara dan mencakup dimensi jiwa yang lebih mendalam.
Kebahagiaan, yang sering dianggap sebagai tujuan tertinggi dalam penyelidikan etika, telah menjadi tema sentral di berbagai disiplin ilmu, termasuk sains dan komunitas keagamaan sepanjang sejarah (Wahyudi, 2020). Pada zaman medieval, khususnya dalam pemikiran Islam, para sarjana mengakui kesamaan antara etika Aristoteles dan ajaran Al-Qur’an. Meskipun keduanya menekankan pada kebajikan dan pencarian kehidupan yang memuaskan, para teolog Muslim sering lebih condong pada pandangan idealistik Plato dibanding pendekatan praktis Aristoteles. Preferensi terhadap pandangan ideal Plato mempengaruhi perkembangan konsep kebahagiaan dalam wacana Islam, kadang-kadang menghasilkan pandangan yang terlalu diidealisasi dan eksklusif yang sulit dicapai banyak orang, termasuk komunitas Muslim secara umum (Marga, 2021).
Dalam perjalanan hidup ini, ada manusia yang berhasil meraih kebahagiaan dan ada pula yang merasakan penderitaan atau kesakitan. Bagaimana cara mencapai kebahagiaan dapat dilihat dari penjelasan Al-Qur’an dan ajaran sufi tentang beberapa hal dasar dalam upaya mencapai kebahagiaan. Frasa seruan Azan “ḥayya ʿalā al-falāḥ”, meskipun diterjemahkan sebagai mencapai kemenangan, namun inti dari al-Falah adalah kebahagiaan, dan pada intinya seruan ini mengundang kebahagiaan. Seruan muezzin sudah cukup sebagai suatu afirmasi bahwa Islam adalah agama yang mengajak para pemeluknya untuk hidup bahagia (Walid and Norman, 2022).
Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam membentuk pandangan Islam tentang kebahagiaan adalah teolog Sunni Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 1111 M). Dalam karyanya yang terkenal, “Kimia Kebahagiaan” (The Alchemy of Happiness), al-Ghazali menggali secara mendalam tentang sifat kebahagiaan dari perspektif Islam. Beliau menekankan pentingnya pemenuhan spiritual dan perilaku etis sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Pendekatan al-Ghazali menggabungkan wawasan filosofis dengan ajaran agama, menawarkan kerangka kerja holistik yang sangat mempengaruhi baik para sarjana maupun orang awam yang mencari petunjuk spiritual. Karyanya terus dipelajari dan dihargai karena eksplorasi mendalamnya tentang kebahagiaan sebagai ideal spiritual dan etis dalam tradisi Islam (Dhanabhakyam, 2023).
Kebahagiaan memiliki tempat yang sangat penting dalam tradisi filsafat Islam, sebagaimana diuraikan oleh para filsuf Muslim seperti Al-Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali, yang hidup pada abad ke-11 dan ke-12, menekankan pentingnya kebahagiaan dalam membangun kohesi sosial dan mencapai kedamaian batin. Dalam tulisannya yang terkenal tentang spiritualitas dan perilaku Islam, Al-Ghazali menyatakan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan. Baginya, kebahagiaan tidak hanya bergantung pada kenikmatan duniawi tetapi juga pada kebersihan jiwa dan kepatuhan pada nilai-nilai spiritual. Jiwa harus terus dirawat dan dibersihkan untuk menjaga kesehatan batin individu, yang pada gilirannya mempengaruhi kohesi sosial secara keseluruhan (Sahri, 2021; Saritoprak et al., 2020).
Selain itu, kebahagiaan dalam pandangan Al-Ghazali juga terkait erat dengan kapasitas rasional manusia. Manusia sebagai makhluk yang cerdas dan berakal memiliki kemampuan bawaan untuk berbahasa, memahami, mempertimbangkan secara logis, dan bertanggung jawab. Kemampuan-kemampuan ini mencerminkan dimensi spiritual manusia yang harus dikembangkan dan dipupuk untuk mencapai kebahagiaan sejati. Dalam kerangka ini, intelek tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami dunia fisik tetapi juga sebagai jalan untuk mendekati realitas spiritual yang lebih tinggi. Dengan demikian, kebahagiaan dalam perspektif filsafat Islam mencakup keseimbangan antara pencapaian intelektual dan kebersihan spiritual, yang keduanya penting untuk kesejahteraan individu dan masyarakat (Ismail Jalili, 2023).
Dalam tasawuf, kebahagiaan dikaitkan dengan berbagai jenis kenikmatan sesuai dengan sifat dan potensi masing-masing indra dan aspek manusia. Nikmatnya mata adalah melihat hal-hal yang menarik, telinga menikmati suara yang merdu, syahwat merasa puas dengan pemenuhan hasrat seksual dan makanan, pikiran menikmati proses berpikir, dan hati menikmati pengalaman menyaksikan keagungan Allah. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kenikmatan jasmani dan materi bersifat sementara dan akan berakhir dengan kematian, sehingga kebahagiaan materi dan jasmani berada pada posisi yang lebih rendah. Kenikmatan berpikir juga berakhir dengan kematian, namun dapat memberikan manfaat yang lebih tinggi dibandingkan kebahagiaan materi. Kebahagiaan terbesar menurut Al-Ghazali adalah menyaksikan kebesaran Allah dengan hati, karena kebahagiaan ini tidak hanya bertahan selama hidup di dunia tetapi juga berlanjut setelah kematian, menjadikannya kualitas kenikmatan tertinggi dalam pandangan tasawuf (Soleh, 2022).
Dalam perspektif Islam, kebahagiaan terkait dengan istilah sa’id (bahagia), falaẖ (keberuntungan), najat (bertahan hidup), dan najah (sukses), dengan sa’id menjadi yang paling dekat maknanya dengan kebahagiaan (Hamim, 2016). Muhammad Rāghib Ishfahāni dalam Mufradāt Alfāz al-Qur’ān mengartikan sa’ādah sebagai nikmat yang diberikan oleh Allah atas tercapainya kebajikan. Kebahagiaan sejati dalam tasawuf melampaui kenikmatan materi dan jasmani yang sementara, berfokus pada kenikmatan spiritual yang abadi, seperti menyaksikan keagungan Allah dengan hati. Ungkapan Arab seperti as’adullah mengandung harapan agar Allah melimpahkan kebahagiaan, mencerminkan pentingnya kebahagiaan dalam kehidupan spiritual dan sosial (Walid and Norman, 2022).
Selain itu, konsep kebahagiaan menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas tidak terbatas pada kehidupan duniawi saja, melainkan mencakup kehidupan setelah kematian. Al-Attas berargumen bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dipisahkan dari aspek spiritual dan akhirat. Ia menekankan bahwa kebahagiaan yang hanya berfokus pada dimensi kehidupan dunia yang sementara dan sekuler tanpa referensi apapun terhadap akhirat akan mengalami fluktuasi dan penyimpangan dari waktu ke waktu. Menurutnya, kebahagiaan duniawi bersifat sementara dan mudah berubah, sementara kebahagiaan sejati yang melibatkan aspek spiritual dan kehidupan setelah kematian adalah lebih stabil dan bermakna.
Al-Attas mengkritik pandangan Aristotelian yang menyatakan bahwa kebajikan dan kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini. Ia menegaskan bahwa Islam menawarkan pandangan yang lebih komprehensif tentang kebahagiaan, yang tidak hanya mencakup kesejahteraan di dunia ini, tetapi juga kebahagiaan yang abadi di akhirat. Dalam pandangan al-Attas, kebahagiaan sejati dicapai melalui kehidupan yang baik dan berlandaskan nilai-nilai spiritual serta kesadaran akan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan demikian, kebahagiaan menurut al-Attas adalah suatu kondisi yang melibatkan keseimbangan antara kesejahteraan duniawi dan kesadaran spiritual yang mengarah pada kebahagiaan abadi di akhirat (Shahidullah and Manaf, 2022).
Aspek psikologis dalam pandangan Al-Attas menyoroti bahwa pencapaian hubungan yang baik dengan Tuhan dan kebahagiaan sempurna melibatkan pengembangan berbagai keutamaan internal seperti meditasi (tafakkur), tobat (tawbah), kesabaran (sabr), rasa syukur (sukur), harapan (raja), ketakutan (khawf), kesatuan ilahi (tawhid), kepercayaan (tawakkul), dan puncaknya, cinta kepada Tuhan (mahabbah). Menurut Al-Attas, keutamaan iman menjadi akar dari semua keutamaan lainnya. Iman yang kuat dan terhubung erat dengan Tuhan tidak hanya memberikan kebahagiaan dalam kehidupan dunia, tetapi juga membawa kebahagiaan yang hakiki di akhirat. Dengan memperkuat iman dan menerapkan keutamaan-keutamaan ini, seseorang dapat mencapai kesempurnaan spiritual dan kehidupan yang bermakna di hadapan Tuhan (Dhanabhakyam, 2023).
Kemudian, menurut (Veenhoven, 2012) konsep kebahagiaan tidaklah monolitik, melainkan kompleks dan dapat dibagi ke dalam berbagai dimensi. Kebahagiaan bisa dirasakan dalam dua konteks utama: pertama, terkait dengan aspek-aspek kehidupan seperti pernikahan atau pekerjaan; kedua, sebagai keseluruhan hidup seseorang. Kedua konteks ini juga bisa dilihat dari dua sudut pandang: kenikmatan sesaat atau kepuasan yang berkelanjutan. Kenikmatan dalam aspek-aspek kehidupan sering kali berkontribusi pada kepuasan terhadap hidup secara keseluruhan (efek bawah-ke-atas), sementara kepuasan terhadap hidup secara keseluruhan dapat mempengaruhi penilaian terhadap aspek-aspek kehidupan (efek atas-ke-bawah). Namun, keduanya tidak selalu identik. Seseorang bisa memiliki pernikahan yang bahagia tetapi merasa tidak puas dengan hidup secara keseluruhan, atau sebaliknya. Begitu pula dengan pengalaman kenikmatan yang bisa bersifat singkat atau menetap. Dengan demikian, penggunaan kata ‘kebahagiaan’ dapat merujuk pada beragam pengalaman dan evaluasi yang saling terkait namun berbeda satu sama lain.
Dengan demikian, dalam konteks psikologis pandangan tasawuf tentang kebahagiaan menawarkan perspektif yang mendalam tentang kesejahteraan jiwa manusia. Tasawuf mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya berpusat pada kepuasan fisik atau pencapaian material, tetapi lebih pada keseimbangan emosional dan spiritual yang membawa kepuasan yang berkelanjutan. Ketika seseorang mengalami hubungan yang mendalam dengan Tuhan melalui praktik-praktik spiritual seperti meditasi dan introspeksi, ini dapat memberikan rasa keterhubungan yang kuat dan perasaan bermakna dalam hidup.
Secara psikologis, pencarian kebahagiaan dalam tasawuf juga melibatkan proses penyucian jiwa dan pemurnian pikiran. Praktik meditasi (tafakkur) dan penyesalan (tawbah) membantu individu untuk lebih memahami dan mengelola emosi mereka dengan lebih baik. Ini dapat mengarah pada peningkatan kesejahteraan psikologis, termasuk penurunan tingkat stres dan kecemasan, serta peningkatan dalam kebahagiaan dan kepuasan hidup secara keseluruhan. Selain itu, perspektif tasawuf tentang kebahagiaan juga menyoroti pentingnya pengembangan nilai-nilai spiritual dalam mencapai keseimbangan psikologis yang lebih baik. Ketika seseorang fokus pada penyucian jiwa dan peningkatan kesadaran spiritual melalui praktik-praktik seperti kesatuan dengan Tuhan (tawhid), ini dapat memperdalam pemahaman diri dan membantu individu mengatasi tantangan psikologis dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih baik.
Secara keseluruhan, pendekatan psikologis tasawuf terhadap kebahagiaan menawarkan pandangan holistik yang memadukan aspek spiritual dengan kesejahteraan jiwa dan psikologis. Dengan menggabungkan pengembangan diri secara spiritual dan keseimbangan emosional, individu dapat mencapai kepuasan batin yang lebih mendalam dan berkelanjutan, yang tidak tergantung pada perubahan dunia materi atau keadaan eksternal.
Penelitian ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan dimensi spiritual dalam studi kebahagiaan psikologis. Konsep kebahagiaan dalam tasawuf menawarkan pandangan yang holistik dan integratif yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang kesejahteraan manusia. Melalui pendekatan multidisiplin ini, diharapkan bahwa aplikasi praktis dari prinsip-prinsip tasawuf dapat memberikan manfaat nyata dalam bidang psikologi.
Putri Mutiara Sari & Athilla Dhia Ramadhanti
Universitas Muhammadiyyah Prof Dr Hamka