KPK, Pertahankan atau Bubarkan?

KPK, Pertahankan atau Bubarkan?

MJ. Jakarta – Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) 2024 menggelar Seminar Nasional bertajuk “KPK, Pertahankan atau Bubarkan? (Quo Vadis KPK)”, Kamis (5/12/2024) di Auditorium Graha William Soeryadjaya, Gedung Kampus UKI, Cawang, Jakarta.

Hadir dalam seminar sebagai narasumber diantaranya Abdul Fikar Hadjar,SH.,MH Akademisi Universitas Trisakti, Dr. Fernando Silalahi, ST, SH, MH, C.L.A, Akademisi UKI, Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch, Dr. Nofli, BC.I.P,, S.H., M.Si, Plt. Deputi Bidang Koordinasi Hukum Kementerian Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan.

Diketahui Bersama dimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan pimpinan dan dewan pengawas atau cadewas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 melalui rapat paripurna hari ini Kamis, 5 Desember 2024. Ada masing-masing lima pimpinan dan dewas yang disahkan dalam sidang, dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani. Adapun lima pimpinan KPK terpilih dengan suara terbanyak adalah Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, dan Agus Joko Pramono. Dari kelima.

Nama pimpinan terpilih itu, Setyo Budiyanto ditunjuk sebagai ketua KPK. Setyo mendapatkan perolehan suara tertinggi, yakni 46 suara. Sementara itu, lima dewas KPK terpilih untuk periode masa jabatan 2024-2029 antara lain Benny Jozua Mamoto, Chisca Mirawati, Wisnu Baroto, Gusrizal, dan Sumpeno. Benny dan Chisca sama-sama mendapatkan suara terbanyak, yakni 46 suara.

“Dengan adanya penetepan jajaran pimpinan KPK yang baru, berarti KPK masih diperlukan menurut pemerintah, tapi bagaimana pandangan secara empirik dan filosofis keberadaan KPK oleh masyarakat, “ujar Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch.

Sugeng meragukan independensi jajaran pimpinan KPK, terlebih susunan Dewan pengawas yang terpilih periode 2024-2029, tidak ada perwakilan dari civil society.

“Penyadapan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) itu hantu gentayangan, tapi sekarang OTT harus lapor ke dewas ya bocor lah, apalagi dewas yang sekarang ini tidak ada dari civil society, yang ada adalah dari Aparatur Sipil Negara, polisi, jaksa, BPK, kemudian 2 mantan jaksa,“ beber Sugeng.

Sejak didirikan pada tahun 2002 melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, KPK lahir sebagai lembaga ad hoc yang bertugas untuk memerangi korupsi di Indonesia. Lembaga ini mendapat sambutan positif pada awal berdirinya karena dianggap menjadi harapan baru dalam memperbaiki sistem hukum yang terjangkit korupsi.

Namun, seiring berjalannya waktu, KPK menghadapi banyak tantangan internal dan eksternal, salah satunya adalah konflik dengan Polri dalam kasus terkenal “Cicak vs Buaya”.

“Dulu, Abraham Samad berani menyeret jenderal bintang dua. Kalo semua ini (Pimpinan baru KPK-red) ASN, ada hirarki diantara mereka saling menghormati, “Sesama metromini dilarang saling menyalip”, ujar Dr. Fernando Silalahi, ST, SH, MH, C.L.A, Akademisi UKI.

“Disaat KPK dipimpin sipil mereka berani menyeret politikus, dibandingkan dengan Firli Bahuri, malah mencoreng KPK dan dipanggil Polisi malah bilang sakit,” tambah Dr. Fernando.
Salah satu gejolak terbesar yang dialami KPK adalah konflik dengan lembaga penegak hukum lainnya, terutama Polri dan Kejaksaan.

Meskipun KPK berhasil menyelamatkan berbagai kasus besar, banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas lembaga ini mengingat pembatasan kewenangan yang terus diberikan, terutama setelah adanya Dewan Pengawas (Dewas) pada tahun 2019.

Revisi UU KPK yang membentuk Dewas membatasi kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin, yang dianggap oleh banyak kalangan membuat KPK semakin lemah.

“Sekarang dengan adanya dewas, penegak hukum, polisi tidak ada takutnya sama KPK. Dulu saya jadi pengacara, kita mendekati KPK saja HP kita matiin karena takut disadap hp kita. Tapi sekarang kita tidak takut, karena KPK sekarang tidak bisa menyadap tanpa seijin Dewas,” ujar Dr. Fernando Silalahi.

Di sisi lain, penguatan Kejaksaan Agung yang semakin signifikan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menambah beban bagi KPK. Fernado menilai bahwa keberadaan KPK harus dipertimbangkan kembali.

“Buat apa kita mempertahankan anggaran 1,6 trilyun (Untuk KPK-red) apabila yang duduk disana tidak punya nyali. Lagi-lagia pemilihn komisiopner KPK dilakukan oleh Legislatif, dan ada permainan dari penguasa yang lama, “ungkapnya.

Menurut Transparency International Indonesia (TII), Indonesia mengalami penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi, yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah dan lembaga terkait, seakan terbengkalai akibat adanya perdebatan mengenai keberadaan dan kewenangan KPK. Independensi para jajaran pimpinan KPK yang baru terpilih diragukan oleh banyak pihak, dan terkesan tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi.

“KPK sekarang dipimpin oleh 2 jaksa, 2 polisi dan 1 hakim, jadi pikiran independennya terganggu karena dalam pikirannya pasti ada struktur pimpinan dan bawahan.,” ujar Abdul Fikar Hadjar,SH.,MH., Akademisi Universitas Trisakti.

Putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan Perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 memperkuat komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi. Selain sesuai dengan program kerja pemberantasan korupsi, putusan itu juga memberikan kepercayaan diri bagi KPK untuk mengusut kasus yang berkaitan dengan instansi militer. Meskipun begitu, Abdul Fikar Hadjar juga senada meragukan independensi KPK, apalagi terkait dengan kasus korupsi yang terjadi di Lembaga militer.

“KPK sekarang sudah tidak independen meskipun sudah ada putusan MK Nomor 87/PUUXXI/2023, yang menyatakan bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersamasama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum tegas Abdul Fikar.

Wewenang KPK yang semakin luas ini menjadi awal mula keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Sebelumnya, MK menegaskan bahwa KPK berwenang mengusut kasus korupsi di ranah militer hingga adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah), sepanjang kasus tersebut dimulai pertama kali oleh KPK.

“Korupsi merupakan extra ordinary crime, Kementerian Hukum dan Ham terus melakukan evaluasi dengan melihat dan monitor langsung dilapangan, kemudia evaluasi itu telah memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR terkait tindak pidana korupsi., “ ujar Dr. Nofli, BC.I.P,, S.H., M.Si, Plt. Deputi Bidang Koordinasi Hukum Kementerian Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan.

Seminar ini menjadi ajang diskusi terbuka yang menggugah banyak pemikiran. Apakah KPK masih perlu dipertahankan dengan kewenangan yang terbatas? Atau, sudah saatnya bagi Indonesia untuk memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi?

“Diharapkan dari seminar ini, muncul kesimpulan yang komprehensif mengenai masa depan KPK. Serta mencari solusi terbaik untuk mengatasi stagnasi pemberantasan korupsi di Indonesia,” tutup Nofli.

Penulis: LianEditor: Red