MJ. Pasangkayu, Sulawesi Barat â Praktik mafia tanah masih terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat. Kasus ini melibatkan konflik agraria serta perambahan kawasan hutan oleh oknum-oknum yang melanggar peraturan dan merusak lingkungan.
Keberadaan mafia tanah di wilayah ini semakin jelas dengan berbagai aksi perambahan lahan oleh korporasi yang diduga melampaui batas Hak Guna Usaha (HGU) dan menimbulkan dampak lingkungan serius.
Dedi Lasadindi, seorang tokoh masyarakat dan aktivis dari Aliansi Masyarakat Penjaga Alam, mengungkapkan bahwa praktik mafia tanah di Pasangkayu berlangsung dengan cara memanipulasi batas dan ukuran tanah serta melakukan kolusi dengan sejumlah oknum pejabat setempat.
Menurutnya, hal ini telah berlangsung cukup lama namun masih minim penindakan oleh aparat penegak hukum (APH). “Salah satu cara mafia tanah bekerja adalah dengan merekayasa batas dan ukuran tanah serta berkolusi dengan pejabat. Ini sudah jelas terjadi di Pasangkayu, namun belum ada aparat yang berani menindaknya,” ujarnya. (27/10/24)
Menurut Dedi, lemahnya pengawasan dan ketegasan dari perangkat daerah menjadi faktor yang memperparah masalah ini. Aliansi Masyarakat Penjaga Alam mendesak pemerintah daerah Kabupaten Pasangkayu untuk memperkuat pengawasan di kawasan hutan dan segera menindaklanjuti setiap laporan terkait pelanggaran batas HGU oleh korporasi.
“Situasi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dari pihak pemerintah daerah di Pasangkayu. Jika dibiarkan, perambahan dan penguasaan ilegal lahan akan terus terjadi,” tambahnya.
Tidak hanya itu, ada dugaan kuat bahwa sejumlah oknum aparat penegak hukum di wilayah tersebut turut berkolusi dengan pelaku mafia tanah. Hal ini menciptakan kondisi yang semakin sulit bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan atas kasus-kasus perampasan tanah yang mereka hadapi.
“Semua dimanipulasi oleh mafia tanah. Misalnya, rencana yang akan dilepaskan dan yang telah dilepaskan itu sudah berbeda luasnya, serta peta kerja di lapangan berbeda dengan luas Hak Guna Usaha,” terang Dedi Lasadindi, aktivis sekaligus inisiator PEOPLES LETTER.
Lebih lanjut, Dedi menjelaskan bahwa praktik mafia tanah di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat ini telah ia telusuri selama beberapa tahun terakhir melalui investigasi mendalam. Berdasarkan data dan temuan lapangan, ia menemukan kejanggalan signifikan antara data resmi dan kondisi di lapangan.
Temuan-temuan tersebut menunjukkan adanya perbedaan mencolok yang diduga kuat sebagai bentuk manipulasi sistematis dalam pengaturan lahan oleh oknum mafia tanah.
Di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat, konflik agraria terus berlangsung sejak tahun 1990-an hingga 2024 tanpa ada penyelesaian serius dari Perangkat Daerah Kabupaten Pasangkayu. Bahkan, ada korporasi yang mengklaim sedang mengurus Hak Guna Usaha (HGU) sebagai bentuk kepatuhan terhadap aturan, padahal tanaman kelapa sawit di lahan tersebut sudah lebih dari dua dekade tertanam.
Anehnya, Perangkat Daerah Kabupaten Pasangkayu terlihat menganggap hal ini sebagai hal yang biasa saja, terbukti dari tidak adanya tindakan atau sanksi tegas yang diberikan terhadap perusahaan tersebut.
Banyak perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Pasangkayu yang terus berkonflik dengan masyarakat sekitar. Bahkan, salah satu perusahaan tersebut dilaporkan ke Parlemen Eropa.
Seharusnya, kasus ini menjadi pelajaran bagi pihak korporasi untuk memperbaiki pelanggaran mereka, misalnya dengan mengembalikan lahan yang dikuasai di luar HGU kepada masyarakat, serta membangun kebun plasma untuk kesejahteraan warga sekitar yang berada di dalam HGU.
“Kami dari organisasi dan media mengutuk keras adanya temuan serta keterangan yang menunjukkan praktik mafia tanah di Bumi Pasangkayu, Sulawesi Barat. Kami meminta Pemerintah Pusat melalui lembaga terkait untuk memeriksa dan menindak perusahaan-perusahaan yang melanggar konstitusi, melakukan kejahatan lingkungan, merampas lahan melebihi batas HGU, serta mengkriminalisasi para pejuang lingkungan,” tegas Dedi Lasadindi, aktivis dari PEOPLES LETTER.