MJ. Bogor – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Pers, Ozzy Sulaiman Sudiro, menegaskan bahwa pendalaman profesi kejurnalistikan harus berlandaskan pada kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ia menekankan pentingnya menjaga konsistensi dalam menjunjung tinggi standar etika tersebut sebagai pedoman yang tidak bisa ditawar-menawar dalam dunia pers.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara edukasi dan pemaparan terkait pendalaman profesi kejurnalistikan yang diadakan oleh Forum Wartawan Jaya (FWJ) Indonesia di Wisma Arga Muncar, Bogor, pada hari Jumat hingga Sabtu (4-5 Oktober 2024). Acara ini bertujuan untuk memperkuat kompetensi dan integritas wartawan dalam menjalankan profesi kejurnalistikan yang bermartabat.
Persoalan sengketa pers telah terjadi sejak era Orde Baru hingga pasca reformasi, meskipun secara teori sengketa pers seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers, kenyataannya banyak kasus yang terabaikan dan tidak menemukan solusinya. Sering kali sengketa pers diartikan sebagai ‘rule and the games’.
“Kita bicara faktanya saja, selama ini banyak teman-teman jurnalis dikriminalisasi hingga di meja hijaukan. Persoalan itu muncul karena dewan pers tidak mampu mengakomodir aspek pers. Pedoman kode etik jurnalistik dan UU Pers kerap hanya sebagai simbol, mereka berpedoman pada UU Siber dan UU ITE. Itu hal yang fatal dalam kemerdekan pers sehingga penyekatan dan diskriminatif terhadap umat Pers terus berlangsung. “Ujar Ozzy.
Majelis Pers menaruh harapan besar terhadap dewan pers saat ini. Sosok Ninik yang memiliki control value diyakini dapat merubah tatanan yang telah mengakar selama ini.
“Kami yakin ketua dewan pers saat ini dapat melihat dan memahami fungsinya sehingga keberadaan dewan pers tidak lagi menjadi monster yang menyeramkan bagi umat pers seperti yang terjadi sebelum – sebelumnya.
“Ketegasan, kepiawaian Ninik dalam mengakomodir aspek pers sangat mampu mengembalikan marwah Pers Indonesia jika dia berpegang teguh pada 2 hal, yakni kode etik jurnalistik dan Undang Undang Pers, serta melihat proses paska reformasi dibentuknya kembali dewan pers independent oleh Majelis Pers. “Harap Ozzy.
Disini lanjut Ozzy, keterkaitan Majelis Pers dalam proses sejarah pers paska reformasi tidak bisa dikaburkan atau dihilangkan. Ozzy menjelaskan terbentuknya Majelis Pers atas dorongan dari berbagai pihak agar terciptanya dan terjaganya marwah Pers Indonesia kedepan.
“Majelis Pers wujud dari rasa empati terhadap perkembangan pers di Indonesia. Atas kesepakatan 26 organisasi kewartawanan saat itu, tepatnya paska reformasi tahun 1998. Disitu lah para organisasi yang diakomodir Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) menarik simpul pentingnya pers Indonesia memiliki Undang Undang, Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers yang Independent. Kami sepakat 3 hal itu untuk diperjuangkan oleh Majelis Pers. “Ucap Ozzy.
Namun kata dia, sepanjang waktu sejak tahun 1999 hingga peralihan sebelum diketuai Ninik, dewan pers menjadi lembaga penganut kekuasaan sehingga tidak ubahnya seperti dewan pers sebelumnya yang telah dibubarkan jaman orde baru. Bahkan Ozzy melihat lebih terpuruk karena banyaknya penyangkalan, pengaburan dan pembenaran yang dilakukan dewan pers saat ini.
“Waktu itu kita sepakat akan dibentuknya kembali dewan pers independent, namun berjalannya waktu, disinilah letak ketidakpatutan dewan pers independent, sehingga publik dipertontonkan pada sebuah lembaga hebat dan full power. Muatannya begini. Ketika ada aduan sebuah karya jurnalistik, disinilah letak ketidak independen dewan pers. Pengadu dan teradu tidak pernah dipertemukan dalam menyelesaikan sengketanya. Bahkan terlihat dewan pers terkesan memberikan sanksi karya jurnalis melanggar kode etik pers, pedoman media siber dan tanpa adanya hak jawab maupun hak koreksi sebelum digali fakta-faktanya, sehingga terkesan adanya keberpihakan, hingga akhirnya teradu terjerat KUHP. “Bebernya.
Persoalan lainnya lanjut Ozzy, dewan pers melupakan dan atau menomor lima kan fungsinya yang tertuang di UU Pers itu sendiri, karena lembaga itu di era digitalisasi kerap mengedepankan pedoman Media Siber yang bukan Undang Undang Pokok Pers.
“Di era digitalisasi, media online yang memiliki legalitas hukum itu bukan media siber, akan tetapi ranah spesifikasinya adalah media massa. Jadi tidak tepat jika dewan pers menggunakan pedoman media siber. Itu harus dipahami oleh ketua dewan pers saat ini dan semua pihak, termasuk kepolisian, karena pedoman media siber adalah jebakan keranah UU ITE. “Ungkapnya.
Doktrinasi yang tidak baik terhadap pemahaman UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik akan terus mengakar jika tidak dibendung. Lanjut dia, dimana dewan pers harus mampu mengembalikan marwah Pers Indonesia tanpa harus mengeluarkan Peraturan Pelaksana (PP) dewan pers. Hal itu akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan Pers di Indonesia.
“Yang perlu dikaji dan dipahami adalah begini. UU Pers memiliki kekuatan tunggal dan tidak ada aturan dari produk manapun termasuk dewan pers. Karena UU Pers bersifat tunggal yang belum memiliki Peraturan Pelaksananya (PP). Jadi peraturan pelaksana yang dibuat dewan pers harus dipertanyakan dan dikaji ulang sebagai landasan hukumnya termasuk bentukan verifikasi, UKW dan lain sebagainya. “Singgung dia.
Sementara itu ditempat yang sama, Ketua Umum FWJ Indonesia, Mustofa Hadi Karya atau yang biasa disapa Opan sebagai pelaksana kegiatan Pendalaman Profesi Kejurnalistikan serta memahami Kode Etik Jurnalistik, pembedahan UU Pers dan UU ITE yang digelar selama 2 hari di Wisma Arga Muncar Bogor mengatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan pers saat ini.
“Kami bukan hanya mengupas sejarah Pers yang dilakukan Majelis Pers saat itu, akan tetapi kami juga memberikan pemantapan kejurnalistikan kekinian berupa Mobile jurnalisem, tata cara pendalaman penulisan, pemahaman kode etik jurnalistik sampai kepada payung hukum pers dan bentuk korelasi UU ITE terhadap karya jurnalistik. “Ulas Opan.
Dia juga menjelaskan para pendidik dan pembicara yang hadir merupakan mereka yang sudah memiliki keahliannya dalam pembedahan kejurnalistikan dan hukum.
“Sengaja kami hadirkan langsung sekjen Majelis Pers, Praktisi hukum sekaligus pengamat hukum dan politik Damai Hari Lubis, Bunayya Saifuddin (Eks Harian Pelita dan eks Konsultan Antara TV News), Ismet Noviandi (eks Metro TV), M Sunu Probo Baskoro (eks LKBN Antara TV dan Eks Berita Satu), Drs. Joko Irianto (eks Jawa Pos), Richard William (Gapta Firma), Puguh Kribo, dan Jaenal Abidin (Pengamat Jurnalis masyarakat). “Paparnya.
Opan juga menyebut kegiatan – kegiatan sperti ini akan terus dilakukannya dan menjadi program rutinitas pertiga bulanan dengan tema dan pengajar serta pembicara yang disesuaikan dengan pengalaman dan keahliannya.
“Ini akan menjadi agenda kerja kami pertiga bulan di FWJ Indonesia, dan tentunya dengan pengajar serta pembicara yang profesional, berani, berkeahlian di bidangnya agar next generasi jurnalis memiliki panduan dan kemampuan mumpuni dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik dan amanah profesi yang berkonstitusi. “Pungkasnya.