MJ. Jakarta â Pada hari Kamis, 10 Oktober 2024 bertempat di Kantor Camat Cipayung pukul 14.00 WIB, diadakan audiensi dan mediasi terkait sengketa lahan antara pihak Sumber Daya Air (SDA) dan ahli waris tanah yang diwakili oleh keluarga Kuin Bin Niun. Camat Cipayung, Bapak Ritonga, memimpin pertemuan tersebut, mengingat sengketa lahan tersebut terjadi di wilayahnya.
Turut hadir dalam pertemuan ini adalah Lurah Bambu Apus, kuasa hukum ahli waris Dian Wibowo, SH, serta Ketua Umum P.A.P.I, Bunda Titin, yang mendampingi ahli waris. Pertemuan ini bertujuan untuk mencari titik terang dan menyelesaikan permasalahan sengketa lahan yang hingga kini belum terselesaikan.
Kuasa hukum ahli waris, Dian Wibowo, dalam audiensi tersebut menyoroti ketidakjelasan duduk perkara sengketa lahan tersebut. Menurutnya, klaim dari pihak SDA yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan aset negara belum memiliki dasar hukum yang kuat.
SDA mengklaim bahwa mereka hanya bertugas mengamankan lahan yang diklaim sebagai aset negara, namun tidak menjelaskan secara rinci dasar klaim tersebut.
Salah satu pertanyaan besar yang muncul dalam pertemuan tersebut diajukan oleh Ketua Umum P.A.P.I, Bunda Titin. Ia mempertanyakan dasar hukum yang digunakan oleh SDA untuk mengklaim tanah tersebut sebagai milik negara, mengingat bahwa ahli waris, yakni keluarga Kuin Bin Niun, masih memiliki hak atas tanah tersebut.
“Atas dasar dan landasan hukum apa pihak SDA mengklaim bahwa tanah tersebut milik negara? Apakah ada bukti kuat yang dapat menjelaskan hal ini?” tanya Bunda Titin.
Kuin Bin Niun, yang sudah meninggal dunia pada tahun 1960, masih tercatat sebagai pemilik lahan tersebut. Namun yang menjadi kejanggalan adalah terbitnya sertifikat baru atas nama Kuin Bin Niun pada tahun 1989, hampir 29 tahun setelah ia meninggal dunia.
Pertanyaan muncul, apakah hal ini wajar dan sah secara hukum? “Apakah lazim seseorang yang sudah meninggal selama 29 tahun bisa bangkit kembali untuk menandatangani sertifikat tanah pada tahun 1989?” tambah Bunda Titin.
Ahli waris juga menyatakan bahwa mereka tidak pernah menjual lahan warisan tersebut kepada pihak manapun, sehingga klaim dari SDA semakin dipertanyakan. Dalam mediasi tersebut, jawaban dari pihak SDA dianggap tidak memadai, karena tidak menjawab pokok-pokok pertanyaan yang diajukan, terutama mengenai keabsahan sertifikat yang diterbitkan setelah ahli waris meninggal.
Pertanyaan besar yang masih mengganjal bagi ahli waris dan para pendukungnya adalah apakah keadilan akan berpihak pada mereka.
“Apakah rakyat kecil seperti kami, yang memiliki bukti resmi sebagai pemilik lahan, masih bisa mendapatkan hak kami? Masih adakah keadilan untuk kami?” ungkap salah satu ahli waris di akhir pertemuan.
Mediasi ini belum menemukan titik temu, dan pihak ahli waris berharap adanya tindak lanjut yang lebih jelas dan transparan untuk memastikan bahwa hak mereka sebagai pemilik tanah tetap diakui sesuai dengan hukum yang berlaku.