Oleh: Syamsul Yakin, Penulis Buku “Milir”
Di mata orang Betawi frasa “orang gede” sama artinya dengan “orang gedean”. Artinya orang besar. Orang gede tidak merujuk pada fisik yang besar. Tapi lebih kepada orang kaya dan berpangkat. Selain itu, di mata orang Betawi, orang gede tidak merujuk pada ilmu, seperti ilmu agama. Sebab orang yang memiliki ilmu agama sering dipanggil ustadz atau lebih tinggi lagi mualim.
Orang gede adalah orang kaya. Utamanya kaya harta. Sebab kalau kaya banda, seperti tanah dan kebun, sebagian orang Betawi juga punya. Kaya harta dalam konteks ini memiliki uang banyak di bank, emas, kendaraan dan rumah gedong bertingkat. Di mata orang Betawi, orang gedean rumahnya bertingkat, berkendara mobil, pakaiannya necis, dan berbicaranya menggunakan bahasa intelek yang susah dimengerti.
Di samping itu, dalam pandangan orang Betawi, orang gedean adalah orang pangkat. Definisi orang pangkat searti dengan pejabat. Padahal pangkat dan jabatan sejatinya tidak sama. Pada level bawah, kepala desa dianggap sebagai orang gedean oleh orang Betawi. Apalagi camat dan Bupati atau Walikota. Di mata orang Betawi, orang kaya dan pangkat hidupnya senang dan makannya enak-enak.
Umumnya orang Betawi menaruh rasa hormat kepada orang kaya dan pangkat. Sebab mereka orang gedean. Apalagi ketika mereka turun dari mobil atau dikawal oleh semacam opas. Biasanya yang jadi buah bibir orang Betawi adalah fisik dan gaya bahasa mereka, model rambut, dan busana. Selain hormat, saat menghadapi mereka, orang Betawi sering gugup dan bahkan takut, serta tersipu saat disapa, sebab malu dan lugu.
Mungkin terinspirasi dari orang gedean, banyak orang Betawi yang bercita-cita agar anaknya jadi orang gedean. Menurut mereka orang gedean kerjanya di kantor. Mereka mengatakannya orang kantoran. Istilah lainnya adalah orang dines yang berpakaian rapi dan memakai dasi. Mereka tidak mau tahu orang gedean itu kerja di kantor pemerintah atau swasta.
Untuk merealisasikan cita-cita mereka, orang Betawi merelakan menjual tanah untuk ongkos anak-anak mereka sekolah sampai jadi sarjana. Walaupun tidak sedikit yang tidak mau melakukannya. Ada yang menganggap sekolah seperlunya saja. Asal bisa membaca dan menulis. Umumnya, anak Betawi yang tidak sekolah tinggi, mereka menjadi petani bagi yang masih memiliki sawah. Ada juga yang berdagang buah yang diambil dari kebun sendiri, ketika kebun masih luas. Ada juga yang jadi tengkulak.
Umumnya orang Betawi tidak mau berpisah dari keluarga mereka. Kendati sudah sarjana, para orangtua tetap mengharapkan anak mereka bisa bekerja di Jakarta atau kota satelit seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi. Itu pun harus pulang hari. Tidak boleh tugur atau indekos. Inilah pemeo yang kerap dipanggul oleh mereka, “makan tidak makan asal kumpul”. Orang Betawi cenderung hidup menetap dan berkelompok.
Itulah mengapa digambarkan di dalam sinema elektronik (sinetron), “Si Doel Anak Sekolahan (SDAS)” Babeh Sabeni melarang Si Doel bekerja di Kepulauan Natuna. Di sebuah anjungan minyak di tengah laut. Padahal diceritakan bahwa Si Doel bekerja pada bagian mesin, kerja kantoran, gajinya gede. Keputusan Babeh Sabeni tidak dapat diganggu gugat, kendati Si Doel menjelaskan bahwa bekerja di Kepulauan Natuna untuk sementara.
Akhirnya, saking jengkelnya, surat panggilan bekerja itu disobek-sobek oleh Babeh Sabeni di depan Si Doel dan Mak Nyak. Alasan Babeh Sabeni adalah alasan primordial. Sebagai anak Betawi si Doel harus bekerja dan menetap di Jakarta. Dalam konteks ini terlihat orang Betawi ingin anaknya jadi orang gedean di tempat tinggalnya sendiri. Kendati SDAS hanyalah film, tapi film adalah cermin budaya.
Namun hari ini banyak anak Betawi yang jadi orang gede atau orang gedean. Mereka mengisi jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tak jarang anak Betawi hari ini yang jadi profesional. Bekerja di gedung-gedung tinggi. Tidak hanya di Jakarta. Tapi di berbagai kota besar di Indonesia. Tak jarang juga anak Betawi bekerja sebagai diaspora di mancanegara. Inilah perubahan budaya dan sosial yang positif yang menerpa orang Betawi.
Tak jarang ditemui profesional seperti dokter, dosen, pengacara ternyata fasih berbahasa Betawi. Setelah ditanya, ternyata meraka lahir dan besar di Kebayoran, Mampang, Condet, Ciputat, Depok, atau Bekasi. Ayah dan ibu mereka adalah orang Betawi asli. Namun mereka berhasil menjadi “pemberontak” dan keluar dari sandra budaya masyarakat Betawi.
Inilah transformasi besar-besaran yang terus berkembang dalam masyarakat Betawi. Anak dukun beranak jadi bidan. Anak tukang buah jadi dosen. Anak tengkulak jadi pengusaha. Anak tukang sunat jadi dokter anak. Anak makelar jadi anggota legislatif di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan bahkan pusat. Trend positif ini harus dijaga. Harus ada upaya agar momentum ini terus berlangsung.
Oleh karena itu fokus orang Betawi saat ini adalah melanjutkan kesinambungan generasi. Harus dilakukan studi secara kualitatif dan kuantitatif tentang potensi orang Betawi yang akan menjadi orang gedean di masa depan. Harus ada data berapa anak Betawi yang sekolah dan kuliah? Seberapa besar peluang dan tantangan mereka di masa mendatang? Sektor dan sub-sektor apa yang kelak bakal bisa ditempati? Semua ini tentu butuh investasi.
Tampaknya, komunitas Betawi dengan beragam lebel harus bekerjasama dan sama-sama bekerja untuk merumuskan hal ini dan mendaratkanya pada tingkat praksis. Kalau perlu dibuat Konferensi Masyarakat Betawi. Isu-isu mutakhir dibedah oleh para pakar dari Betawi. Diikutsertakan juga siswa dan mahasiswa Betawi sebagai ahli waris budaya positif Betawi. Ujungnya dibuat road maps yang harus dilalui oleh anak Betawi agar menjadi orang gede.*