MJ. Jakarta – Belanja aspirasi warga Jakarta, khususnya masyarakat Betawi di akar rumput, adalah proses yang membutuhkan lebih dari sekadar kunjungan fisik atau menghadiri keramaian. Aspirasi mereka tidak selalu bisa disampaikan dengan jelas melalui kata-kata atau data statistik semata. Aspirasi harus dirasakan, difahami, dan digali dengan hati nurani yang peka.
Kebutuhan mereka? Sebenarnya sederhana, tetapi sering kali terabaikan. Belanja aspirasi bisa dilakukan bukan hanya dengan berdialog, tetapi juga dengan menyelami kegelisahan dan harapan mereka.
Ini bukan soal masuk ke gorong-gorong atau pamer tindakan populis. Ini soal menjadi manusia yang mampu merasakan dengan tulus apa yang dirasakan oleh masyarakat, memahami apa yang menjadi keresahan di kehidupan sehari-hari.
Menjadi manusia sempurna, atau insan kamil, berarti kita harus mampu merasa dan merespon dengan bijak. Penelitian dan data memang penting, tetapi terkadang data-data statistik saja tidak bisa menjelaskan dengan gamblang perasaan atau aspirasi yang nyata di lapangan.
Apa yang menjadi kegelisahan mereka? Tentu kita semua sudah tahu jawabannya.
Di tengah hiruk pikuk pembangunan kota, kegelisahan itu bukan hanya soal pembangunan fisik atau infrastruktur yang megah, melainkan tentang kesejahteraan manusia yang tinggal di dalamnya. Membangun kota bukan sekadar menciptakan ruang yang bersih, manusiawi, dan berwibawa.
Lebih dari itu, membangun kota adalah membangun peradaban yang hidup di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Alexander Agung saat mendirikan Alexandria.
Alexander membangun Alexandria bukan hanya dengan tatanan fisik, tetapi dengan menjadikannya pusat kebudayaan yang berdaya saing dengan Yunani. Salah satu simbol peradaban terbesar yang dia ciptakan adalah perpustakaan besar Alexandria, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masanya.
Hal ini mirip dengan falsafah Betawi yang memiliki korelasi kuat, yaitu Sekolah, Sholat, dan Silat—atau dikenal dengan konsep 3S. Kenapa harus sekolah dulu yang menjadi prioritas pertama? Karena segala sesuatunya, termasuk ibadah sekalipun, harus didasarkan pada ilmu. Tanpa ilmu, ibadah tidak sah dan kehidupan pun tidak akan mencapai kemajuan yang diharapkan.
Setelah itu, barulah sholat, yang mencerminkan kecerdasan spiritual, dan silat, yang menjadi lambang soft skills, datang sebagai penyeimbang.
Kecerdasan emosional (EQ) memang penting, tetapi tidak cukup tanpa kecerdasan spiritual yang kuat. Alexander Agung memahami ini dengan baik, karena selain membangun kekuatan fisik dan ekonomi kotanya, ia juga mengutamakan pendidikan dan kebudayaan. Hasilnya, Alexandria tidak hanya menjadi kota megah, tetapi juga pusat peradaban dunia pada masanya.
Lantas, bagaimana dengan Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang kini bertransformasi menjadi kota global? Tantangannya tentu semakin berat, terutama bagi masyarakat yang berada di garis bawah. Kelompok ini, termasuk warga Betawi, kerap dicitrakan negatif—disebut malas, tukang kawin, dan gede ambek, bahkan dianggap sebagai duri dalam daging di tengah modernisasi kota.
Data dari BKKBN melalui program Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) mencatat bahwa sekitar 2,5 juta penduduk Jakarta hidup dalam kemiskinan. Mirisnya, sebagian besar dari mereka adalah penduduk asli Jakarta, termasuk warga Betawi, yang seharusnya menjadi penerima utama manfaat dari perubahan fisik dan sosial-ekonomi kota. Namun, faktanya mereka justru terpinggirkan.
Menurut laporan The Global Cities Report 2023, Jakarta berada di peringkat ke-74 dari 156 negara yang dianalisis, sebuah posisi yang cukup rendah di Asia Tenggara, bahkan kalah dari Kuala Lumpur yang menempati posisi ke-72. Jakarta, yang semakin mendekati status kota global, tentunya membuka peluang kerja sama lintas negara di berbagai sektor.
Infrastruktur, transportasi canggih, smart telekomunikasi, dan energi berkelanjutan kini menjadi prioritas. Namun, Jakarta juga menjadi melting pot budaya global yang semakin kompleks, menciptakan tantangan tersendiri bagi masyarakat lokal, terutama yang terjebak di lapisan ekonomi bawah.
Di tengah persaingan kota global ini, kegelisahan masyarakat akar rumput semakin nyata. Mereka bertanya, bagaimana cara menjadi manusia yang bersih, manusiawi, dan berwibawa di kota yang terus berubah ini? Bersih atau sehat secara fisik, manusiawi dalam berkarakter sesuai adat ketimuran dan ideologi Pancasila, serta berwibawa secara finansial.
Pertanyaannya, apakah mereka bisa bersaing di panggung global, atau malah sengaja ditinggalkan seperti anak ayam yang kehilangan induk?
Tentu jawabannya tidak. Ada beberapa produk hukum yang menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat lokal, seperti Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi dan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta yang mencakup pengakuan terhadap Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi.
Tantangan yang ada sekarang adalah bagaimana mengimplementasikan regulasi tersebut dengan serius agar masyarakat Betawi dan warga lokal lainnya benar-benar mendapatkan manfaat dari transformasi Jakarta menjadi kota global.
Dan kemudian, untuk menjawab kegelisahan tersebut, kita harus membentuk perangkat atau program yang berfokus pada pembangunan manusia. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan, potensi, dan kesejahteraan secara menyeluruh, sebagaimana Alexander Agung membangun Alexandria melalui pendidikan dan kebudayaan yang vital pada masanya.
Memang, beda zaman, tapi kini semua perangkat sudah tersedia dan lebih mudah diakses dibandingkan dengan era Alexander. Yang kita perlukan hanyalah implementasi yang tepat dan keberpihakan yang jelas.
Aspirasi ini tersedia secara cuma-cuma, namun kita seringkali terjebak dalam pola hidup konsumtif—terlalu banyak “belanja” hingga ada hal-hal yang tidak terpakai dan akhirnya sia-sia. Tentunya kita tidak ingin hal tersebut terjadi pada aspirasi masyarakat, karena dalam demokrasi, aspirasi bebas diambil dan diolah dari mana saja, asalkan diarahkan dengan bijak dan efektif.
Kini saatnya kita membangun Betawi yang berkelanjutan, tidak hanya dari sisi infrastruktur, tetapi juga dari sisi manusianya. Pembangunan manusia ini harus komprehensif, agar masyarakat Betawi dapat merasakan dampak positif dari perubahan fisik dan sosial ekonomi yang terjadi di sekeliling mereka.
Namun yang paling mendasar, apakah ada dari ketiga calon yang sedang bersaing dalam kontestasi ini yang benar-benar serius dan berkomitmen penuh untuk membangun Betawi secara utuh? Apakah mereka siap berkolaborasi dan menghadapi tantangan-tantangan besar dalam membangun manusia dan lingkungan Betawi di tengah perubahan kota global? Ini pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka yang berani berdiri bersama masyarakat, tidak hanya dalam retorika, tetapi juga dalam aksi nyata.
FBR.tv