Breaking News
Danrem 052/Wkr Pimpin Pam VVIP Kunjungan Kerja Wapres RI di Pulau Pramuka Audiensi Komisi Percepatan Reformasi Polri Serap Masukan Masyarakat Sipil Terkait Penguatan Pengawasan dan Pembenahan Sistem Audiensi Komisi Percepatan Reformasi Polri Dengan Organisasi Kelompok Masyarakat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung bergerak cepat menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil. Kapolri diketahui telah menggelar rapat bersama seluruh pejabat utama pada Senin (17/11), dan salah satu keputusan pentingnya ialah pembentukan tim Kelompok Kerja (Pokja) untuk mengkaji detail putusan tersebut. Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan tim Pokja akan berisi perwakilan dari Divisi Hukum hingga As SDM Polri untuk menyusun kajian cepat dan mendalam. “Polri membentuk tim Pokja yang bisa membuat kajian cepat terkait putusan MK tersebut,” ujar Irjen Sandi di Mabes Polri. Menurut Sandi, Polri tidak akan bekerja sendirian. Tim Pokja akan berkoordinasi dengan Kemenpan RB, BKN, Kemenkum HAM, Kemenkeu hingga MK untuk menyamakan persepsi dan mencegah multitafsir terhadap putusan tersebut. “Ini menyangkut banyak kementerian dan lembaga, jadi persepsi harus sama untuk menghindari multitafsir,” jelasnya. Sandi menegaskan, Polri menghormati sepenuhnya putusan MK dan akan menjalankannya sesuai amanat undang-undang. Isi Putusan MK MK sebelumnya mengabulkan sepenuhnya permohonan uji materi Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang diajukan dua pemohon. Dalam putusannya, MK menegaskan anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan ketentuan tersebut sudah tegas dan tidak boleh dimaknai lain. “Mengundurkan diri atau pensiun adalah syarat mutlak bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar kepolisian,” tegas Ridwan. Dengan putusan ini, seluruh penugasan anggota Polri aktif ke jabatan sipil tidak lagi dapat dilakukan tanpa pemenuhan syarat tersebut. Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional. Laksamana Sukardi

Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional. Laksamana Sukardi

Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional. Laksamana Sukardi

MJ. Jakarta — Menurut akademisi Halbwachs (1950) dan Assmann (2011), kepahlawanan bersifat selektif dan periodik.

Karena itu, gelar pahlawan menonjolkan fase tertentu dari kehidupan seseorang, bukan keseluruhan perjalanan hidupnya.

Inilah alasan mengapa:

George Washington dipuji sebagai pendiri Amerika, meskipun memiliki budak.

Nelson Mandela dihargai atas perjuangan anti-apartheid, bukan periode militannya.

Sementara itu teori: “Nation-building” Benedict Anderson (1983) menyatakan bahwa tokoh pahlawan dipilih untuk menstabilkan identitas nasional—bukan karena hidupnya sepenuhnya bermoral.

Dengan demikian, pertanyaannya bukan “Apakah dia sempurna secara moral?” tetapi “Apakah ia berguna secara simbolik bagi negara hari ini?”

Pertanyaan tersebut juga berlaku bagi Soekarno dan Soeharto.

Semua tradisi akademik menyimpulkan hal yang sama: Gelar Pahlawan Nasional Bersifat politik, selektif, dan episodik.

Artinya, seorang pahlawan boleh memiliki masa hidup yang heroik dan juga mengalami fase yang tidak heroik, bahkan melakukan tindakan yang kelam, namun tetap dihargai atas kontribusi tertentu.

Individu yang kompleks tetap dapat dianggap pahlawan, karena yang dihargai adalah kontribusi tertentu.

KEGAGALAN REFORMASI

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto secara tidak langsung didukung dan dipengaruhi oleh kegagalan Reformasi.

Walaupun Reformasi di Indonesia berhasil secara politik, tetapi rapuh secara naratif.

Reformasi berhasil membongkar institusi otoriter, tetapi gagal menciptakan narasi ideologis pemersatu yang dapat menggantikan “gema pembangunan” Orde Baru, bahkan kekuatan gerakan Reformasi di Indonesia langsung terfragmentasi setelah tujuan awal tercapai yaitu lengsernya Soeharto dan terciptanya kebebasan politik.

Fragmentasi yang terjadi sangat jelas yaitu adanya kelompok nasionalis yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, kelompok Islam Poros Tengah (Amien Rais), kelompok pengaruh Orde Baru (Golkar dan ABRI) kelompok Islam nasionalis dipimpin Gus Dur.

Mereka terpecah belah sejak dimulai Sidang Umum MPRRI hasil pemilu 1999.

Kondisi ini menciptakan kevakuman, padahal politik, seperti alam, tidak pernah mentoleransi kevakuman, sehingga narasi Orde Baru (ketertiban, stabilitas, dan pembangunan) tetap menjadi satu-satunya cerita besar yang koheren. Apalagi Gerakan Reformasi tidak pernah menghasilkan alternatif yang sama kuat dan menarik.

Bagi banyak warga, terutama kelompok mayoritas yang kurang melek politik “kebebasan” dan “demokrasi” terasa abstrak, sedangkan kegagalan (biaya hidup tinggi dan korupsi) bersifat konkret.

Walaupun Reformasi memperluas kebebasan, tetapi kenyataannya sangat mengecewakan karena menghasilkan “Kartel Politik” dagang sapi, bagi-bagi rezeki dan jabatan, sehingga menciptakan korupsi yang tidak berbeda dengan zaman orde baru bahkan pada zaman Reformasi, korupsi telah menjadi pola hidup (way of life).

Sebaliknya, nostalgia Orde Baru yang menawarkan narasi sederhana (stabilitas, pembangunan, kemakmuran) muncul kembali ke permukaan merindukan mitos kepemimpinan kuat yang melahirkan kemajuan.

Sementara itu para pemimpin reformasi gagal menghasilkan:

Karya budaya ikonik; Simbol-simbol yang mudah diingat; Storytelling yang utuh tentang perjuangan demokrasi.

Oleh karena para pemimpin hasil Reformasi tidak memiliki memori kolektif yang membanggakan, maka narasi Orde Baru kembali mengkolonisasi kesadaran publik dan mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Pasca-1998, koalisi reformis—yang dulu didukung mahasiswa, LSM, intelektual, dan buruh, mengalami fragmentasi, karena sebagian terkooptasi masuk ke dalam jaringan patronase dan kenikmatan kekuasaan. Bahkan menciptakan feodalisme baru.

Sebagai akibat dari kondisi tersebut, maka dukungan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak mendapat perlawanan yang berarti kecuali dari PDIP dan Megawati yang selalu mengandalkan narasi ikonik masa lalu Presiden Soekarno.

Dampaknya: citra Soeharto membaik, lalu kembali ke pusat imajinasi politik.

Disamping itu, faktor penting yang membuat kekecewaan adalah Reformasi gagal melahirkan penerus yang dapat mewujudkan elan perjuangan. Mereka bahkan lebih cenderung memilih keluarga sebagai penerus kepemimpinan.

Reformasi tidak pernah melahirkan figur karismatik dan pemersatu seperti Soekarno atau bahkan Soeharto yang kepemimpinannya tidak diperoleh karena keturunan.

Sebaliknya, reformasi justru membangun mitos haus akan kekuasaan dengan menciptakan kartel kekuasaan dan lebih memilih jalur autokrasi, akibatnya membuat Soeharto terkesan lebih baik.

PEMIMPIN KEDALUWARSA

Munculnya dukungan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga disebabkan oleh para pemimpin Reformasi yang menjadi kedaluwarsa dimata generasi baru Indonesia.

Menurut teori Generational Replacement — Ronald Inglehart: Nilai dan aspirasi masyarakat berubah ketika generasi tua digantikan oleh generasi baru dengan preferensi politik, orientasi nilai dan identitas sosial yang berbeda.

Pemimpin yang berkuasa terlalu lama sering gagal menyesuaikan diri dengan pergeseran nilai antargenerasi, sehingga generasi muda melihat pemimpin Reformasi sebagai tidak relevan, disconnected, atau “masa lalu.”

Selain itu Samuel P Huntington dalam “Theory of Political Decay”berpendapat bahwa institusi politik yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial akan mengalami political decay (pembusukan politik).

Pemimpin Partai Politik yang berkuasa terlalu lama sering gagal mengikuti transformasi nilai, aspirasi kelas menengah, dan teknologi komunikasi, sehingga respon politik mereka menjadi tidak memadai; legitimasi melemah; kepemimpinan terlihat usang bagi generasi baru.

Menurut teori “Iron Law of Oligarchy” — Robert Michels:

Organisasi (Partai Politik) yang dikuasai terlalu lama oleh satu kelompok pemimpin (dinasti politik) akan menjadi: kaku, tidak responsif, dan mempertahankan kekuasaan demi diri sendiri.

Akibatnya, generasi baru tidak lagi beresonansi dengan narasi lama dan nostalgia politik pembangunan Soeharto muncul ke permukaan.

KESIMPULAN

Menurut berbagai teori sosial politik yang telah dijelaskan, pemimpin reformasi yang berkuasa terlalu lama cenderung mengalami keusangan politik (political obsolescence) karena kehilangan kemampuan adaptasi terhadap perubahan sosial, nilai, dan aspirasi generasi baru.

Reformasi juga telah dinilai tidak mampu menciptakan narasi ikonik yang mendapat tempat dalam sanubari kehidupan rakyat.

Fenomena “pemimpin kedaluwarsa” bukan hanya soal usia biologis, tetapi tentang ketidakmampuan membaca ZEITGEIST atau “semangat zaman” yang mewakili tren, suasana hati, dan pandangan kolektif masyarakat pada periode waktu tertentu.

Sewajarnya bangsa Indonesia bersatu dan tidak mengekploitasi kesalahan-kesalahan para pemimpin masa lalu yang bergelar pahlawan nasional, tetapi belajar dari segi kebaikan mereka.

Pahlawan nasional bukan malaikat yang tidak berdosa, sebagaimana layaknya manusia, mereka memiliki kehidupan yang tidak sempurna.

Dalam konteks kepahlawanan, Ibaratnya sebuah gelas yang setengahnya berisi air, kita lebih baik mengatakan gelas tersebut setengah penuh (half full) ketimbang mengatakan setengah kosong (half empty) walaupun kedua dua nya benar tetapi yang satu dirasakan penuh optimisme dan yang satu lagi bernuansa sinisme.@

17 Nopember 2025

Kebayoran Baru, Jakarta