MJ. Jakarta – Awalnya, hanya sebuah santapan sederhana: ketan dan santan. Pilihan yang tidak bijak bagi pemilik asam lambung. Namun, siapa sangka, kesalahan kecil itu membawa akibat besar. Tubuh ini ambruk, terjebak dalam panas dingin, rasa mriyang, begag, dan ketidaknyamanan yang merambat hingga ke ujung-ujung saraf. Dalam kondisi lemah, pikiranku berkelana, memikirkan rasa sakit yang tidak hanya ada di tubuh, tetapi juga di luar sana.
Sambil terbaring, aku melafalkan sepenggal lagu Chrisye, “Damai Bersamamu”: “Sabdamu bagai air yang mengalir, basahi panas terik di hatiku, menerangi semua jalanku, kurasakan tenteramnya hatiku.” Namun, tenteram itu terasa seperti ilusi di negeri ini. Negeri yang disebut syorga agama, tapi kehilangan pemeluknya yang teguh.
Di Indonesia, agama dan pendidikan berdiri sebagai simbol moralitas, tetapi sering kali hanya menjadi rutinitas tanpa makna. Mereka mengajarkan bahaya utang dan investasi asing, menyebutnya sebagai wajah baru neokolonialisme. Namun, para elite negeri ini justru berlomba-lomba memeluk “penjajahan” itu. Utang dan investasi yang dianggap najis oleh teori, Sambil menahan sakit, aku bertanya: apakah ini semua akan terus menjadi kemubaziran?
Mari berseru lantang, wahai para elite Indonesia: “Jika cara kalian mengurus negara hanya demi mencari bridging fee dan komisi dari investasi serta utang luar negeri, maka jangan heran jika rakyat ini remuk, hancur, dan tenggelam dalam kemiskinan. Segera hentikan langkah ini, dan bertobatlah sebelum malaikat mencabut nyawa kalian.”
Jika kalian tak kunjung bertobat, yang lahir hanyalah “anak haram” dari persetubuhan antara oligarki kebohongan dengan konglomerat delusi. Hasilnya adalah replika zaman kalabendu—zaman gila di mana kebodohan, kelicikan, dan kelainan jiwa menyebar lebih cepat dari yang pernah kita duga.
Kini, komunitas epistemik yang didirikan oleh para pemuja uang telah bergerak dari istana, menyusup ke kesadaran rakyat, menciptakan ilusi zaman kalasuba—zaman di mana manusia tak lagi menyembah kebenaran, tetapi hanya mengunyah dan menyembah uang.
Soal uang ini, para alim telah mengingatkan, “Uang adalah akar segala kejahatan.” Banyak orang baik berubah menjadi buruk, banyak pembela kebenaran berubah menjadi pembela angkara murka, hanya karena mengkonsumsi uang haram dan kekuasaan hitam. Ini bukan sekadar teori, tetapi fakta yang kita saksikan di lapangan: zaman kegelapan di mana ribuan tokoh telah menjadi korban sekaligus pelaku.
Di republik uang ini, semakin sedikit orang yang menjaga harga diri, sementara semakin banyak yang rela menjual diri. Mereka yang menjual diri tak akan pernah sadar bahwa musuh sejati umat manusia adalah oligarki. Mereka adalah spesies yang hidup oleh, untuk, dan demi uang, dengan cara-cara rakus dan tanpa sedikit pun rasa kemanusiaan.
Mereka, dengan penuh kegembiraan, menciptakan apa yang disebut sebagai “ekopol simulakra.” Istilah ini berasal dari bahasa Latin: simulācrum, dari akar kata similō yang berarti “serupa.” Simulakra merujuk pada sesuatu yang tampak nyata, tetapi tak memiliki dasar realitas yang sejati. Bayangan semu yang hiperrealitas, absurd, dan tanpa substansi. Semua yang diucapkan hanya sebatas retorika kosong tanpa niat untuk diwujudkan. Pengkhianatan, penipuan, kemunafikan, dan perselingkuhan menjadi wajah dominannya.
Akhirnya, negeri ini perlahan berubah. Dari sebuah republik yang dibangun atas dasar kebersamaan dan kedaulatan rakyat, menjadi negara swasta. Di negara swasta Indonesia, setiap tindakan harus mendatangkan keuntungan. Tak ada lagi ruang untuk misi sosial, spiritual, apalagi intelektual. Tak ada warga negara yang dihormati, tak ada hukum yang ditegakkan, dan tak ada Pancasila yang menjadi pedoman. Pemerintah dan elitnya menjadi bisu, tuli, dan buta terhadap penderitaan rakyat.
Ironisnya, pada awalnya negeri ini didirikan oleh para pribumi pemilik Pancasila. Mereka adalah pemilik sah negara sekaligus penguasanya. Namun, karena konflik internal (paregreg), bencana alam, invasi asing (triumvirat asing-aseng-asong), serta strategi devide et impera, kini pribumi hanya menjadi tamu—bahkan budak—di tanah air mereka sendiri.
Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: Akankah bangunan negara swasta ini semakin kokoh atau justru bisa segera dirobohkan? Sejarah akan menjadi saksi jawabannya. Kita sudah melihat indikasi nyata dari proyek raksasa penjajahan baru: PSN (Proyek Strategis Nasional), PKP (Proyek Kawasan Prioritas), PKT (Proyek Kawasan Terpadu), KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), PIK (Pantai Indah Kapuk), dan KIK (Kawasan Industri Khusus).
Di balik proyek-proyek ini, terlihat jelas bagaimana kejahatan, kebohongan, korupsi, dan oligarki keluarga bertumpuk tanpa henti. Semua ini terlalu terang benderang untuk diabaikan.
Sambil menikmati sakit di tubuh ini, aku duduk di rumah sederhana. Menikmati hujan dan purnama. Menunggu kabar tentang kedaulatan Indonesia yang seakan hilang. Mendengar suara katak dan kucing yang lebih jujur daripada keparat di panggung politik. Masih ada harapan kecil untuk mendengar kisah tentang Indonesia sebagai mercusuar dunia, bukan sekadar negara yang dipandang sebelah mata.
Meski politik negara semakin menjadi permainan hina, dan rakyat semakin tersisih, aku masih ingin terus berusaha dan berdoa.










