Kepastian Hukum Tanah Adat Adanya Undang – undang NO. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Kepastian Hukum Tanah Adat Adanya Undang – undang NO. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

MJ. Jakarta – Bagi mayoritas masyarakat Indonesia, tanah bukan sekadar aset fisik semata. Ia merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tanah menjadi sumber penghidupan utama, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Lebih dari itu, tanah juga menjadi tempat membangun rumah sebagai tempat tinggal bagi diri sendiri maupun anak cucu kelak.

Dalam praktiknya, hasil olahan dari tanah menjadi penopang utama kehidupan masyarakat. Karena itu, tidak berlebihan jika tanah dianggap sebagai kebutuhan primer yang sangat vital. Pandangan ini telah mengakar sejak zaman nenek moyang, jauh sebelum Indonesia merdeka, dan tetap relevan hingga saat ini.

Hukum Tanah Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan

Sebelum Indonesia merdeka, pengaturan mengenai tanah dilakukan secara lokal melalui hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Hukum adat ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai serta norma yang hidup dalam masyarakat setempat. Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda menerapkan hukum perdata barat untuk mengatur pertanahan, terutama yang menyangkut kepentingan kolonial dan masyarakat Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.

Keberadaan dua sistem hukum yang berjalan berdampingan—yakni hukum adat dan hukum perdata Belanda – sering kali menimbulkan kebingungan dan ketimpangan dalam praktiknya. Hal ini menjadi salah satu alasan mendesaknya pembaruan hukum pertanahan setelah Indonesia merdeka.

Sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut, pada tanggal 24 September 1960, Presiden Soekarno mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA ini menandai babak baru dalam sistem hukum pertanahan nasional, di mana hukum pertanahan Indonesia berlandaskan pada hukum nasional yang bersumber pada nilai-nilai adat dan prinsip keadilan sosial, sekaligus menghapuskan dualisme hukum warisan kolonial.

Urgensi Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak dalam Kerangka UUPA

Sebagai negara hukum (rechstaat), Indonesia memiliki kewajiban untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negaranya. Kepastian hukum ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas tanah. Dalam konteks inilah, pendaftaran tanah dan konversi hak atas tanah menjadi hal yang sangat fundamental.

Hukum sebagai Instrumen Kepastian

Filsuf hukum Jerman, Gustav Radbruch, mengemukakan bahwa hukum harus berpijak pada tiga nilai utama: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiga nilai ini menjadi landasan dalam membentuk dan menjalankan sistem hukum yang adil bagi seluruh rakyat.

Senada dengan itu, Roscoe Pound, seorang ahli hukum asal Amerika Serikat, memperkenalkan konsep bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Dalam konteks ini, hukum tidak hanya menjadi aturan normatif, tetapi juga berfungsi untuk mengatur dan mengarahkan hubungan sosial secara teratur dan adil.

Negara bertanggung jawab untuk mengatur hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya maupun dengan badan hukum. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan karena kekosongan hukum atau ketidakjelasan aturan.

Pendaftaran Tanah sebagai Wujud Kepastian Hukum

Salah satu bentuk konkret pelaksanaan prinsip kepastian hukum dalam konteks pertanahan adalah melalui pendaftaran tanah. Hal ini telah diamanatkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan:

“Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Menindaklanjuti ketentuan ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. PP ini menjabarkan definisi pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan administratif yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan oleh pemerintah, mencakup:

– Pengumpulan dan pengolahan data fisik dan yuridis;

– Pembukuan dan penyajian data;

– Penerbitan tanda bukti hak atas tanah dan satuan rumah susun.

Objek dan Tujuan Pendaftaran Tanah

PP No. 24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa objek pendaftaran tanah meliputi:

– Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai;
– Tanah hak pengelolaan;
– Tanah wakaf;
– Hak milik atas satuan rumah susun;
– Hak tanggungan;
– Tanah negara.

Dalam Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, disebutkan bahwa tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah harus dibukukan dalam daftar tanah. Proses pendaftaran ini merupakan bagian penting dari pengaturan tanah negara dalam sistem hukum pertanahan Indonesia. Pembukuan tanah negara dalam daftar tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum mengenai status tanah tersebut, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Dengan adanya pendaftaran, masyarakat dan pihak terkait dapat mengetahui dengan jelas status dan klaim atas tanah negara, sehingga menghindari potensi sengketa atau klaim yang tidak sah.

Tujuan utama dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi hak atas tanah tersebut. Tanpa adanya pendaftaran yang sah dan jelas, status kepemilikan atau penguasaan tanah tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pengelola dan penanggung jawab utama dalam pengaturan pertanahan memiliki kewajiban untuk mengatur dan menjalankan pendaftaran tanah dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemegang Hak Tanah

Selain pendaftaran tanah negara, pendaftaran juga berlaku untuk hak-hak atas tanah lainnya, seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Hal ini diatur dalam berbagai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 UUPA, yang mengatur tentang hak-hak pertanahan dan kewajiban untuk mendaftarkan hak-hak tersebut.

1. Pasal 23 Ayat (1) UUPA mengatur bahwa hak milik, serta setiap peralihan, penghapusan, dan pembebanan hak milik dengan hak lainnya, harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19. Proses pendaftaran ini tidak hanya sekadar administratif, tetapi juga menjadi alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan atau pembebanan hak atas tanah. Pasal 23 Ayat (2) lebih lanjut menegaskan bahwa pendaftaran ini berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai keabsahan peralihan hak milik serta pembebanannya.

2. Pasal 32 Ayat (1) UUPA mengatur tentang hak guna usaha, yang meliputi pemberian syarat-syarat pemberian hak tersebut serta peralihan dan penghapusan hak guna usaha. Semua perubahan tersebut harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19. Pasal 32 Ayat (2) menjelaskan bahwa pendaftaran ini merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan atau penghapusan hak guna usaha, kecuali jika hak tersebut berakhir karena jangka waktu yang telah ditentukan.

3. Pasal 38 Ayat (1) UUPA mengatur tentang hak guna bangunan dan ketentuan pemberiannya, serta peralihan atau penghapusan hak tersebut. Seperti halnya hak-hak lainnya, hak guna bangunan juga harus didaftarkan sesuai dengan Pasal 19 UUPA. Pasal 38 Ayat (2) menegaskan bahwa pendaftaran ini juga berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan atau hapusnya hak guna bangunan, dengan pengecualian apabila hak tersebut berakhir karena jangka waktu yang telah ditentukan.

Konversi Hak Atas Tanah dalam Sistem Hukum UUPA: Upaya Penyesuaian Menuju Kesatuan Hukum Agraria Nasional

Salah satu aspek penting dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah ketentuan konversi hak-hak atas tanah yang telah ada sebelum UUPA diberlakukan. Menurut A.P. Parlindungan (1990:1), konversi adalah pengaturan kembali hak-hak atas tanah lama agar dapat masuk ke dalam sistem hukum baru yang dibangun oleh UUPA. Konversi ini bertujuan untuk menyatukan beragam sistem hak tanah yang bersumber dari hukum adat dan kolonial ke dalam sistem hukum nasional yang lebih seragam, modern, dan menjamin kepastian hukum.

Ketentuan Konversi dalam UUPA

Ketentuan mengenai konversi tertuang dalam Ketentuan-Ketentuan Konversi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari UUPA. Berikut uraian pokok-pokok pentingnya:

Pasal II: Konversi Menjadi Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunan

Pasal II Ayat (1) menjelaskan bahwa sejumlah hak atas tanah yang sebelumnya ada, baik yang berasal dari sistem hukum adat maupun warisan kolonial, secara otomatis dikonversi menjadi hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA. Beberapa di antaranya adalah:

Hak agrarisch eigendom

Milik adat (milik), yayasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini

Grant Sultan, Landrente-bezitrecht, altijddurende erfpacht, serta

Hak usaha atas bekas tanah partikelir, dan

Hak-hak lain yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria

Namun demikian, konversi ini dikecualikan bagi pemilik hak yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek pemegang hak milik menurut Pasal 21 UUPA.

Pasal II Ayat (2) menyatakan bahwa apabila hak-hak tersebut dimiliki oleh:

Orang asing, atau

Warga negara Indonesia yang memiliki kewarganegaraan ganda, atau

Badan hukum yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik menurut Pasal 21 ayat (2),

maka hak-haknya akan dikonversi menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan, sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagaimana akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Pasal VI: Konversi Menjadi Hak Pakai

Pasal VI mengatur bahwa hak-hak atas tanah yang memberi wewenang serupa dengan hak pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), akan dikonversi menjadi hak pakai. Hak-hak yang dimaksud antara lain:

Vruchtgebruik,
Gebruik,
Grant controleur,
Bruikleen,
Ganggam bauntuik,
Anggaduh,
Bengkok,
Lungguh,
Pituwas, dan

Hak-hak lain dengan nama apapun yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Hak-hak ini akan diberikan wewenang dan kewajiban sebagaimana yang berlaku sebelumnya, selama tidak bertentangan dengan semangat dan ketentuan UUPA.

Pasal VII: Konversi Hak Gogolan, Pekulen, dan Sanggan

Pasal VII memberikan ketentuan khusus untuk hak-hak yang dikenal dalam praktik hukum adat seperti gogolan, pekulen, atau sanggan:

Ayat (1): Jika hak tersebut bersifat tetap, maka dikonversi menjadi hak milik sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1).

Ayat (2): Jika tidak bersifat tetap, maka dikonversi menjadi hak pakai sebagaimana dalam Pasal 41 ayat (1).

Ayat (3): Apabila terdapat keraguan mengenai apakah suatu hak bersifat tetap atau tidak, maka keputusan berada di tangan Menteri Agraria.

Konversi Hak Gogolan, Pekulen, dan Sanggan dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional

Salah satu aspek krusial dalam pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah penyesuaian atau konversi hak-hak tanah lama ke dalam sistem hak-hak atas tanah yang diatur dalam hukum nasional. Dalam konteks ini, hak-hak seperti gogolan, pekulen, dan sanggan merupakan hak-hak atas tanah yang hidup dan berkembang dalam sistem hukum adat sebelum diberlakukannya UUPA. Agar hak-hak tersebut dapat memperoleh pengakuan hukum yang pasti dan formal, maka diperlukan proses konversi sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan pelaksana UUPA.

1. Pengaturan Konversi Hak Gogolan, Pekulen, dan Sanggan

Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 memberikan pedoman tentang konversi hak-hak tradisional tersebut:

1. Konversi hak-hak gogolan, pekulen, atau sanggan yang bersifat tetap menjadi hak milik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal VII ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA, dilakukan melalui Surat Keputusan Penegasan oleh Kepala Inspeksi Agraria yang berwenang.

2. Hak-hak tersebut dianggap bersifat tetap jika penguasaan atas tanah dilakukan secara terus menerus oleh gogol yang sama, dan apabila yang bersangkutan meninggal dunia, maka hak itu beralih kepada ahli waris tertentu.

3. Penilaian sifat tetap atau tidak tetap dilakukan oleh Kepala Inspeksi Agraria dengan memperhatikan fakta-fakta konkret di lapangan.

4. Apabila terdapat perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria, Bupati/Kepala Daerah, atau Pemerintah Desa, maka persoalan tersebut diajukan kepada Menteri Agraria untuk mendapatkan keputusan final.

2. Penegasan Hak atas Tanah Adat yang Tidak Tercantum dalam Surat Hak

Hak-hak atas tanah yang tidak memiliki bukti surat hak formal tetap bisa memperoleh pengakuan melalui mekanisme penegasan hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962. Dalam proses ini, pihak yang mengklaim hak atas tanah harus menyertakan:

1. Bukti pembayaran pajak (contoh: verponding atau pajak hasil bumi),

2. Surat pemberian hak oleh instansi berwenang (jika ada),

3. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Camat, yang menerangkan:

– Kebenaran bukti hak,

– Status peruntukan tanah (pertanian/perumahan),

– Identitas pemilik serta bukti jual beli jika ada,

4. Bukti kewarganegaraan Indonesia dari pemegang hak.

Jika tidak tersedia bukti tertulis sebagaimana di atas, maka Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa pengakuan hak dapat diberikan atas dasar hasil pemeriksaan Panitia Pemeriksaan Tanah A, sepanjang diumumkan selama 2 bulan berturut-turut di kantor desa, kecamatan, dan agraria setempat, dan tidak ada keberatan dari pihak mana pun.

Ayat (2): Pengakuan hak ini diberikan oleh Kepala Inspeksi Agraria, atau instansi yang lebih rendah jika ditentukan oleh peraturan.

Ayat (3): Surat keputusan pengakuan hak tersebut kemudian akan menyebutkan jenis hak yang dikonversi, apakah menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai.

Pengakuan tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Tanah dan akan memperoleh sertifikat atau sertifikat sementara sebagaimana diatur dalam PP No. 10 Tahun 1961, dengan biaya sesuai ketentuan.

3. Pembuktian Hak Konversi Menurut PP No. 24 Tahun 1997

Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juga memberikan dasar pembuktian hak atas tanah konversi:

Ayat (1): Hak atas tanah dari konversi dapat didaftarkan berdasarkan:

– Bukti tertulis,

– Keterangan saksi,

– Pernyataan pemohon yang dianggap cukup oleh Panitia Ajudikasi (sistematik) atau Kepala Kantor Pertanahan (sporadik).

Ayat (2): Jika alat bukti tidak tersedia secara lengkap, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan:

– Penguasaan fisik tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon dan pendahulunya,

– Penguasaan dilakukan secara terbuka, terus-menerus, dan dengan itikad baik,

– Tidak ada sengketa atau keberatan dari masyarakat hukum adat, desa, atau pihak lain.

4. Negara Hukum dan Kepastian Hak Atas Tanah

Seluruh mekanisme konversi dan penegasan hak atas tanah sebagaimana dijelaskan di atas merupakan bentuk implementasi dari prinsip negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara Indonesia sebagai negara hukum menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak warga negara atas tanah, termasuk yang bersumber dari hak adat atau hak lama lainnya.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami proses legalisasi hak atas tanahnya melalui mekanisme yang telah ditetapkan pemerintah, guna memperoleh pengakuan formal dan jaminan hukum yang kuat, sesuai dengan sistem hukum pertanahan nasional.

Kesimpulan Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal Terkait Kepastian Hukum Tanah Adat dalam Sistem Pertanahan Nasional

Berdasarkan uraian di atas, Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal, sebagai organisasi yang berfokus pada kebijakan publik di bidang pertanahan, menyampaikan beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:

1. Kepastian hukum terhadap tanah adat yang eksis sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah diakomodasi dalam ketentuan konversi UUPA dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan-ketentuan ini menjadi dasar hukum yang sah untuk mengintegrasikan hak-hak tanah adat ke dalam sistem hukum pertanahan nasional.

2. Tanah-tanah adat yang belum terdaftar secara formal dalam sistem pertanahan negara wajib dikonversi terlebih dahulu sesuai amanat UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997. Konversi ini merupakan syarat untuk memperoleh pengakuan hukum dan status hak atas tanah sesuai klasifikasi hak dalam hukum nasional (hak milik, HGU, HGB, atau hak pakai).

3. Proses konversi dilakukan melalui dua pendekatan utama:
– Penegasan hak, bagi tanah adat yang disertai bukti-bukti tertulis, seperti surat jual beli, bukti pajak, atau keterangan resmi dari kepala desa yang diperkuat camat. Proses ini dilakukan oleh Panitia Ajudikasi Pendaftaran Tanah atas nama Kepala Kantor Pertanahan.

– Pengakuan hak, bagi tanah adat yang tidak memiliki bukti tertulis, tetapi telah dikuasai secara nyata, terus-menerus, terbuka, dan dengan itikad baik selama minimal 20 tahun, tanpa ada sengketa atau keberatan dari masyarakat hukum adat atau pihak lain.

Dengan demikian, mekanisme konversi dan pendaftaran hak atas tanah adat merupakan bagian dari upaya negara dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi seluruh warga negara, selaras dengan prinsip negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Referensi :

* Buku : Ali, Achmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Cetakan ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor.
* Peraturan Perundang-undangan:
* Undang-Undang Dasar 1945.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
* Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
* Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah.

Penulis: Arthur Noija S.HEditor: Red