MJ. Surabaya – Pada 10 November 1945, rakyat Indonesia mencatatkan salah satu babak heroik dalam sejarah perjuangan bangsa, yang kini kita kenang sebagai Hari Pahlawan. Peristiwa bersejarah ini terjadi di Surabaya, Jawa Timur, dan menjadi simbol perlawanan gigih rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Pertempuran di Surabaya dipicu oleh tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, seorang komandan pasukan Inggris yang gugur di tengah situasi peperangan. Mallaby tewas dalam sebuah insiden tragis; mobil yang ditumpanginya terbakar akibat ledakan granat di depan Gedung Internatio.
Kematian Mallaby memicu kemarahan besar pihak Inggris, yang menganggap insiden tersebut sebagai suatu pembunuhan kejam. Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia, Jenderal Christison, lantas mengeluarkan ancaman balas dendam, khususnya terhadap rakyat Surabaya, yang dianggap bertanggung jawab atas kematian tersebut.
Meskipun ancaman itu ditujukan untuk membuat rakyat gentar, hal itu justru membangkitkan semangat perjuangan yang lebih tinggi. Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), yang dikenal pula dengan julukan Bung Kecil, dengan tegas menyatakan bahwa rakyat Indonesia tak gentar sedikit pun dengan ancaman dari pihak Inggris. Ia menyatakan bahwa ancaman tersebut hanya akan memperkuat tekad rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan mereka.
Ancaman Inggris juga mengingatkan Bung Tomo akan taktik serupa yang pernah diterapkan oleh Jepang saat menyerang China pada 1931. Dalam peristiwa tersebut, Jepang berambisi menguasai Mansuria dan menggunakan kematian seorang opsirnya, Nippon Nakamura, sebagai alasan untuk memicu amarah publik dan melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah itu. Dengan alasan ‘pembalasan dendam’, Jepang mengerahkan seluruh kekuatan militernya untuk mencaplok Mansuria.
Kematian seorang serdadu Jepang di Mansuria pada 1931 menjadi dalih bagi Jepang untuk mencaplok seluruh wilayah itu, dan Bung Tomo khawatir strategi serupa akan diterapkan oleh Belanda melalui Inggris di Surabaya. Ketika Brigadir Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran di Surabaya, Bung Tomo menduga Belanda akan memanfaatkan kesempatan ini untuk memperkuat kekuasaan mereka, sebagaimana Jepang mencaplok Mansuria dengan alasan “pembalasan dendam.”
Kekhawatiran Bung Tomo segera terbukti. Inggris, atas nama Belanda, mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah Indonesia yang baru berdiri, mendesak agar mereka menyerah dengan cara meletakkan senjata dan mengangkat tangan tinggi-tinggi. Penghinaan ini tercetak dalam selebaran yang disebarkan dari udara oleh Komandan Angkatan Perang Inggris di Jawa Timur, Mayor Jenderal Mansergh. Dalam selebaran itu, Inggris menuntut agar seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya, para pemuda, polisi, dan bahkan kepala Radio Surabaya, menyerahkan diri di Bataviaweg (Jalan Batavia) pada 9 November 1945.
Ancaman dan penghinaan yang teramat besar ini membakar hati para pejuang kemerdekaan. Sebagai tanggapan, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) bergerak cepat memberikan pelatihan perang gerilya yang intensif kepada para pemuda. Mereka dilatih menggunakan senjata rampasan dari pasukan Jepang yang sebelumnya menguasai Indonesia.
Namun, banyak pejuang yang belum paham cara menggunakan senjata tersebut, sehingga tidak jarang senjata-senjata itu justru melukai pengguna yang tidak terlatih dan menghambat perjuangan.
Untuk mengatasi hal ini, para pemuda yang sudah terlatih kemudian meneruskan ilmu mereka kepada rekan-rekan yang lain, membangun jaringan pelatihan berantai yang efektif. Dengan semangat berkorban, mereka mempersiapkan diri menghadapi segala ancaman yang datang, menjadikan Surabaya sebagai simbol keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan kemerdekaan.
Para pejuang yang turun dalam pertempuran di Surabaya pada November 1945 dikenal dengan sebutan “pasukan berani mati.” Mereka bukan hanya warga Surabaya, tetapi juga datang dari berbagai penjuru Indonesia — dari Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Bali, hingga para kiai dan alim ulama dari berbagai pelosok Pulau Jawa. Dalam barisan ini, tidak hanya ada pemuda, tetapi juga anak-anak, kaum ibu, dan orang tua. Semua bersatu dan siap mengorbankan jiwa demi mempertahankan kemerdekaan.
Di tengah situasi yang semakin genting, Gubernur Jawa Timur, Suryo, mencoba menenangkan rakyat lewat siaran radio. Beliau meminta rakyat bersabar menunggu keputusan dari pemerintah pusat di Jakarta terkait ultimatum Inggris yang ditujukan kepada Republik yang baru berdiri. Namun, pemerintah pusat akhirnya menyerahkan keputusan kepada pemerintah daerah dan rakyat di Surabaya.
Mendapat kepercayaan penuh itu, Gubernur Suryo kembali berpidato, menyerukan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Pada 10 November pagi, rakyat Surabaya dan para pejuang dari berbagai daerah telah bersiap siaga, menunggu detik-detik pertempuran yang tidak terelakkan.
Hingga sekitar pukul 09.00 WIB, kabar yang ditunggu tiba — seorang pemuda melaporkan bahwa pasukan Inggris telah memulai penembakan. Saat itu, setiap pasukan pemuda segera bergerak ke pos-pos dan pangkalan yang sudah disiapkan. Pertempuran hebat pun pecah di Surabaya, dengan moncong senjata yang memuntahkan peluru tanpa henti. Di tengah desing peluru, rakyat dan pasukan pemuda bertarung bahu-membahu tanpa memandang latar belakang, agama, atau status.
Pada saat itulah, makna persatuan bangsa benar-benar terlihat. Ketika satu Indonesia terancam, seluruh bangsa Indonesia bersatu mempertahankannya. Inilah inti dari peristiwa heroik 10 November 1945, ketika seluruh rakyat Indonesia berdiri sebagai satu kesatuan, melupakan semua perbedaan, demi satu tujuan: membela dan mempertahankan Republik Indonesia.