“Membedah Konsep: Apa yang Membedakan Prinsip Hukum dari Asas Hukum?”

“Membedah Konsep: Apa yang Membedakan Prinsip Hukum dari Asas Hukum?”

MJ. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Jakarta berpendapat bahwa dalam mempelajari ilmu hukum, istilah prinsip hukum dan asas hukum sering kali muncul sebagai hal yang mendasar. Prinsip dan asas hukum memiliki peran fundamental karena menjadi landasan dalam memahami serta mengaplikasikan hukum.

Pentingnya pemahaman terhadap prinsip dan asas hukum ini bahkan menimbulkan pendapat bahwa siapa pun yang menguasainya akan mampu menjawab setiap permasalahan hukum yang muncul.

Prinsip dan asas hukum juga menjadi pegangan ketika terjadi pertentangan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam situasi tersebut, pengkajian ulang terhadap asas hukum dapat membantu meluruskan serta memberikan solusi yang sesuai dengan tujuan hukum yang sebenarnya.

Selain itu, tidak jarang pula kita menemukan buku yang membahas secara khusus tentang prinsip-prinsip maupun asas-asas hukum, yang semakin mempertegas kedudukannya sebagai pilar dalam studi hukum.

Hal ini tentunya menyebabkan kedua istilah tersebut seringkali dipadankan atau dipersamakan. Namun, benarkah demikian? Kerumitan dalam memahami perbedaan keduanya semakin bertambah manakala referensi yang membahas persamaan atau perbedaan antara asas hukum dan prinsip hukum dalam perspektif ilmu hukum sulit ditemukan. Situasi ini tentu saja muncul karena kedua konsep tersebut sering dianggap memiliki makna yang sama.

Berangkat dari keterbatasan akses informasi tersebut, penulis merasa perlu untuk memberikan alternatif pemikiran mengenai pertanyaan penting ini: Apakah asas hukum dan prinsip hukum benar-benar memiliki makna yang sama, ataukah terdapat perbedaan yang mendasar di antara keduanya?

Terlebih dahulu, kita harus memahami konsep tentang unsur-unsur yang terdapat dalam hukum itu sendiri, yang memiliki hierarki sebagai berikut:

1. Nilai-nilai hukum.

2. Asas hukum.

3. Norma hukum.

4. Peraturan hukum konkret.

Dalam memaknai unsur-unsur hukum tersebut, kita harus melakukannya secara gradual. Semakin ke atas dalam hierarki, unsur-unsur tersebut semakin abstrak, sedangkan semakin ke bawah, unsur-unsur tersebut semakin konkret.

1. Nilai-nilai hukum.

Nilai (value) adalah sebuah konsep (concept) yang, seperti halnya konsep lainnya, tidak muncul dalam pengalaman yang dapat dilihat secara langsung, melainkan ada dalam pikiran manusia. Kata “nilai” ini merujuk pada sifat-sifat (hal-hal) yang penting dan berguna bagi kemanusiaan dan masyarakat.

Nilai dapat diartikan sebagai kualitas atau harga dari sesuatu yang diterapkan dalam konteks pengalaman manusia. Ia mencerminkan akal budi dan nurani manusia yang memungkinkan individu untuk membedakan antara baik dan buruk, adil dan tidak adil, serta manusiawi dan tidak manusiawi. Oleh karena itu, nilai-nilai hukum bersifat sangat abstrak dan mendasari seluruh sistem hukum yang ada.

Terkadang, nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat satu dengan masyarakat lainnya dapat berbeda. Contohnya, di Bali, menggunakan pakaian bikini merupakan hal yang lazim dan diterima secara sosial.

Sebaliknya, di Papua, penggunaan koteka adalah hal yang dianggap normal. Namun, di Aceh dan beberapa daerah lain di Indonesia, kedua hal tersebut mungkin dianggap tidak pantas bahkan melanggar etika.

2. Asas hukum.

Asas hukum merupakan turunan dari nilai-nilai hukum yang berfungsi sebagai pikiran dasar yang menjiwai norma dan/atau perundang-undangan, termasuk dalam putusan-putusan hakim. Berbeda dengan nilai-nilai hukum yang sangat abstrak, asas hukum lebih konkret dan sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya adalah asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan orang tersebut bersalah.

Asas nebis in idem, yang lengkapnya disebut “bis de eadem re ne sit action,” bermakna bahwa seseorang tidak dapat dipidana untuk kedua kalinya terhadap perkara yang sama. Asas ini penting dalam menjaga keadilan dan mencegah terjadinya pengulangan proses hukum yang dapat merugikan individu.

Selain itu, terdapat asas persamaan di depan hukum (equality before the law) yang menegaskan bahwa semua orang berhak mendapatkan hak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi. Asas ini merupakan fondasi penting bagi keadilan sosial dalam masyarakat.

Ada juga asas audi alteram partem, yang berarti bahwa setiap pihak yang berperkara berhak mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama. Asas ini menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam proses peradilan, memastikan bahwa setiap suara didengar dan dipertimbangkan.

3. Norma hukum.

Norma hukum merupakan bentuk konkret dari asas-asas hukum. Norma ini dapat berupa kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan dianggap benar oleh masyarakat. Ketika norma dilanggar, pelanggar akan mendapatkan sanksi. Singkatnya, norma hukum berisi perintah dan larangan yang bersifat mengikat.

Norma hukum dapat dikatakan sebagai serangkaian aturan yang tidak tertulis. Dalam realitasnya, norma hukum sering ditemukan dalam masyarakat adat yang masih eksis, seperti di Suku Kajang di Sulawesi Selatan, Suku Badui di Banten, dan suku-suku lainnya di Indonesia.

4. Peraturan hukum konkret

Peraturan hukum konkret mencakup peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. Berbeda dengan norma hukum yang bersifat tidak tertulis, peraturan hukum konkret memiliki wujud yang jelas karena berbentuk tertulis. Peraturan ini berisi aturan-aturan, perintah, dan larangan yang sifatnya mengikat.

Suatu peraturan hukum tertulis dikatakan baik jika seluruh unsur-unsur hukum—seperti nilai, asas, dan norma—terkandung di dalamnya. Hal ini penting untuk memastikan penerimaan masyarakat terhadap peraturan hukum tersebut.

Namun, salah satu problematika yang dihadapi oleh pembentuk undang-undang, akademisi, dan praktisi hukum saat ini adalah ketidakmampuan untuk mengkonkretkan nilai, asas, atau norma ke dalam suatu peraturan hukum konkret.

Seringkali, mereka hanya mencaplok secara mentah-mentah ide-ide tersebut ke dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, sejatinya, mereka harus mampu membuat konkretisasi yang jelas dan bermakna sesuai dengan nilai, asas, dan norma yang dianut.

Kembali kepada unsur-unsur dalam hukum, kita perlu mencari pembeda antara asas hukum dan prinsip hukum. Lantas, di manakah letak prinsip-prinsip hukum? Ada yang berpandangan bahwa prinsip hukum merupakan serapan dari bahasa Inggris, yaitu “principle,” yang kemudian diindonesiakan menjadi “prinsip.”

Jika kita menerjemahkan kata “asas” atau “prinsip” ke dalam bahasa Inggris, hasilnya pasti adalah “principle.” Logika ini memang ada benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, penting untuk diingat bahwa bahasa Inggris sering kali tidak mampu menyediakan kosa kata yang setara dengan bahasa Indonesia, dan sebaliknya.

Contoh yang familiar kita dengar saat ini adalah ketika Rocky Gerung membahas kata “freedom” dan “liberty.” Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kedua kata tersebut berarti “kebebasan.” Namun, menurutnya, keduanya memiliki makna kebebasan yang berbeda. “Liberty” lebih mengarah pada kebebasan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang melekat pada diri individu, sedangkan “freedom” merupakan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Apabila kita melihat pengertian “asas” dan “prinsip” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akan terlihat perbedaan yang jelas. Etimologi “asas” merujuk pada sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, sedangkan “prinsip” diartikan sebagai kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sebenarnya membedakan keduanya dengan cukup tegas.

Dari kedua pengertian tersebut, kita dapat meletakkan hipotesis bahwa prinsip merupakan unsur yang menguatkan asas karena di dalamnya terkandung kebenaran. Berkaitan dengan hal ini, letak prinsip-prinsip hukum dalam unsur-unsur pembentuk hukum adalah di tengah-tengah antara nilai dan asas. Prinsip hukum berfungsi untuk memperkuat agar nilai-nilai hukum terkandung dalam asas-asas hukum sehingga dapat diterima oleh masyarakat.

Bentuk prinsip-prinsip hukum yang sering kita jumpai meliputi prinsip keadilan, prinsip ketuhanan, prinsip kemanusiaan, dan sebagainya, yang bersifat umum. Semua orang umumnya sepakat bahwa prinsip-prinsip ini harus tercermin dalam setiap perbuatan manusia.

Dalam kaitannya untuk membedakan dengan asas-asas hukum, kita dapat melihat contoh asas-asas hukum di bidang pidana seperti asas praduga tak bersalah, asas persamaan di depan hukum, dan asas ne bis in idem. Ketiganya merupakan turunan dari prinsip keadilan. Begitu juga di bidang perdata, terdapat asas audi alteram partem yang menunjukkan prinsip keadilan dalam konteks penyelesaian sengketa.

Selain itu, untuk memahami perbedaan antara asas dan prinsip, kita juga dapat melihat bahwa Pancasila merupakan hasil dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia. Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, tetapi juga mencerminkan prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh setiap individu dalam bertindak dan berperilaku.

Sila-sila dalam Pancasila merupakan prinsip-prinsip yang bersifat umum yang membentuk asas-asas hukum di Indonesia, dan kemudian menjiwai norma hukum serta peraturan hukum konkret. Dengan demikian, prinsip hukum dan asas hukum memiliki perbedaan yang mendasar, namun tidak dapat dipisahkan, layaknya ruh yang menjiwai tubuh manusia.

Ketika prinsip hukum memasuki bidang-bidang ilmu tertentu, bentuknya akan lebih konkret dan disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari bidang ilmu yang menggunakannya. Ada pandangan yang menyatakan bahwa perbedaan antara keduanya tidak bersifat prinsipil, melainkan lebih bersifat gradual; pandangan ini pun dapat diterima.

Namun demikian, alternatif pemikiran ini kiranya bermanfaat dan layak untuk dipelajari bagi mereka yang menilainya penting. Sebaliknya, bagi yang menganggapnya tidak penting, tidak ada paksaan untuk mempelajarinya. Seperti yang dikatakan, “Law is the art of interpretation.” Hukum adalah seni dalam berinterpretasi, yang mengajak kita untuk memahami konteks dan makna di balik setiap prinsip dan asas yang ada.

Penulis: Arthur Noija S.HEditor: Red