MJ. Jakarta – Ketika para pendiri negeri ini membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka tidak hanya melalui proses yang sederhana. Pendirian negara ini tak sekadar berkaitan dengan urusan duniawi, tetapi juga melibatkan perenungan mendalam terhadap nilai-nilai batiniah.
Bagi mereka, membangun negeri ini bukanlah semata soal sandang, pangan, dan pendidikan, melainkan juga upaya untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan batiniah yang menjadi jalan menuju kebahagiaan yang sejati.
Oleh karena itu, dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemikiran ini lahir dari kesadaran spiritual yang mendalam, diperkaya oleh pengalaman hidup serta kebijaksanaan yang digali dari kekayaan budaya bangsa. Negara ini lahir berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menjadi landasan kuat bagi bangsa Indonesia dalam merajut harmoni antara kehidupan duniawi dan keimanan yang luhur.
Kebudayaan Indonesia mencerminkan perkembangan aliran pemikiran yang berlandaskan cita-cita persatuan hidup, yaitu kesatuan antara dunia lahir dan dunia batin. Manusia Indonesia hidup dalam keharmonisan dengan seluruh alam semesta, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan ia pun sebagai makhluk-Nya merasakan keterikatan dengan alam dan segala isi dunia ini.
Semangat kebatinan yang dimiliki bangsa Indonesia menciptakan struktur kerohanian yang bercita-cita pada persatuan hidup; yakni, kehidupan yang seimbang antara aspek lahiriah dan batiniah, yang mengantarkan pada ketenangan, ketenteraman, dan keselarasan.
Dalam masyarakat dan tatanan negara asli Indonesia, tercermin jiwa kolektivitas yang penuh kekompakan dan persatuan, di mana rasa hormat-menghormati serta harga-menghargai dipegang teguh dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini terlihat dalam struktur kehidupan desa, baik di Jawa, Sumatera, maupun di kepulauan lain, di mana masyarakat hidup bersama dalam harmoni sebagai satu kesatuan kolektif.
Keseimbangan ini tidak hanya membuat manusia Indonesia hidup rukun dengan sesama, tetapi juga mewujudkan persatuan dengan seluruh golongan makhluk, sehingga tercipta masyarakat yang saling berpengaruh, saling terkait, dan saling mendukung dalam suasana persatuan yang kokoh.
Masyarakat desa hidup dalam suasana persatuan yang erat, baik antara rakyat dengan para pemimpinnya, maupun antara golongan-golongan dalam masyarakat itu sendiri. Seluruh lapisan masyarakat dipersatukan oleh semangat gotong-royong dan jiwa kekeluargaan yang mendalam. Kepala desa atau pemimpin rakyat bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesadaran akan keadilan di antara warganya serta mewujudkan rasa keadilan dan cita-cita yang hidup di hati rakyatnya.
Sebagai pemegang adat, seorang kepala desa senantiasa memperhatikan setiap dinamika dalam masyarakat, dengan selalu berdialog dan bermusyawarah bersama rakyat atau para kepala keluarga di desanya. Hal ini dilakukan untuk menjaga ikatan batin antara pemimpin dan rakyat, sehingga hubungan yang kuat dan saling percaya tetap terpelihara.
Dalam pandangan tata negara asli Indonesia, pejabat negara adalah pemimpin yang jiwa dan semangatnya menyatu dengan rakyatnya. Mereka berkewajiban menjaga persatuan dan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Dengan memegang teguh nilai-nilai kebersamaan ini, para pemimpin menjalankan peran mereka bukan hanya sebagai pelayan publik, tetapi sebagai penjaga keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan masyarakat hidup dalam ketenteraman dan keadilan.
Menurut pandangan ini, negara didirikan bukan untuk menjamin kepentingan satu individu atau golongan tertentu, tetapi untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat sebagai satu kesatuan yang utuh. Negara adalah suatu bentuk masyarakat yang integral, di mana setiap golongan, bagian, dan anggotanya terhubung erat dan saling berkontribusi, membentuk sebuah sistem yang organis dan harmonis.
Yang menjadi esensi dalam konsep negara yang berlandaskan pemikiran integralistik adalah kesejahteraan seluruh bangsa. Negara tidak berpihak pada golongan terkuat atau terbesar, serta tidak menempatkan kepentingan individu sebagai pusat, melainkan berfokus untuk menjaga keselamatan dan kehidupan bangsa dalam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pandangan ini, yang didasarkan pada ide persatuan hidup, pernah diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Spinoza, Adam Müller, dan Hegel di dunia Barat pada abad ke-18 dan ke-19, serta dikenal sebagai teori integralistik.
Dari gagasan-gagasan tersebut serta hasil sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, lahirlah Pembukaan UUD 1945 yang mencantumkan lima asas kehidupan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai Pancasila. Pancasila menjadi fondasi dari negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan kesatuan hidup bangsa.
Namun, setelah amandemen UUD 1945, muncul sistem demokrasi liberal yang memperkenalkan praktik pemilihan langsung seperti Pilpres dan Pilkada dengan model suara mayoritas. Sayangnya, dalam penerapannya, terjadi kompetisi yang sering kali diwarnai oleh hujatan, fitnah, bahkan jual beli suara. Ini menyimpang dari prinsip luhur negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan merusak integritas persatuan yang diharapkan.
Realitas ketimpangan ekonomi semakin memperlihatkan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila, di mana sebagian kecil masyarakat menguasai sebagian besar kekayaan ekonomi dan lahan, bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apakah kita sebagai bangsa akan berdiam diri melihat keadaan ini? Mari kita kembali berjuang untuk mengembalikan tatanan negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera, adil, dan berdaulat dalam persatuan hidup sebagai bangsa.