MJ. Jakarta – “Tak ada negara miskin, yang ada hanya pemerintahan yang memiskinkan rakyatnya.” Inilah ungkapan keras yang sering muncul dalam studi ilmu politik, dan menjadi refleksi mendalam terutama bagi Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya energi. Baik energi fosil maupun energi terbarukan, keduanya tersedia melimpah di negeri ini.
Namun, mengapa rakyat Indonesia belum menikmati energi yang murah? Mengapa kekayaan energi yang melimpah tidak menjadikan rakyat makmur dan berdaulat? Mengapa potensi energi kita justru mengandung paradoks? Mengapa hingga kini kita masih belum mandiri dan berdaulat?
Pertama, penyebabnya terletak pada ketiadaan big data yang akurat. Peta data energi kita masih mengandalkan data lama yang belum dimodernisasi. Kedua, peta jalan menuju ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi belum diperbarui. Padahal, ketahanan energi berarti terjaminnya ketersediaan energi yang sepenuhnya mengoptimalkan potensi sumber daya dalam negeri.
Kemandirian energi, di sisi lain, adalah kemampuan negara untuk memastikan harga energi yang murah dan terjangkau bagi rakyat dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Kedaulatan energi bukan sekadar konsep teknis, melainkan hak seluruh rakyat, bangsa, dan negara untuk menentukan kebijakan energi yang adil, beradab, dan bebas dari intervensi negara lain maupun dominasi jaringan bisnis global yang serakah. Prinsip ini menegaskan bahwa kekayaan energi nasional harus dikelola demi kepentingan bersama, bukan untuk memperkaya segelintir pihak.
Namun, ada sejumlah hambatan yang menghalangi cita-cita ini. Pertama, kebijakan ekonomi ekstraktif yang dipertahankan oleh birokrasi bisnis di Indonesia lebih mementingkan keuntungan jangka pendek tanpa memedulikan dampak lingkungan. Kebijakan semacam ini memperparah kemiskinan, memperlebar ketimpangan, dan menciptakan ilusi kesejahteraan yang jauh dari kenyataan.
Kedua, adanya lingkaran oligarki yang kuat menguasai politik dan ekonomi nasional. Mereka memanfaatkan kekuasaan untuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok. Ketiga, lemahnya pemerintahan dalam menghadapi kekuatan kaum kaya, namun bertindak keras terhadap rakyat kecil, menunjukkan adanya ketimpangan perlakuan yang merusak kepercayaan publik.
Keempat, struktur negara yang kini dibanjiri oleh agen-agen neoliberal, baik dari dalam maupun luar negeri. Para sarjana ini berperan sebagai penjaga kepentingan neokolonial, memastikan Indonesia tetap tunduk pada skema global yang berfokus pada utang dan krisis. Tanpa perlu perang bersenjata, mereka menguasai Indonesia melalui krisis finansial yang dirancang berulang.
Para pelaku ini merupakan “kimunajat” (khianat, munafik, bejat) yang berperan dalam memperparah kerusakan republik Pancasila. Mereka menyebar dalam sembilan lembaga utama: Partai, Ormas, Kampus, TNI-POLRI, BI/Perbankan, Bappenas, Kadin, OJK, dan Kementerian Keuangan.
Tujuan terselubung mereka adalah melemahkan kelas menengah, menempatkan pemimpin boneka, dan menjadikan Indonesia negara yang dikuasai oleh kepentingan swasta, menjauh dari amanat kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.
Menghadapi berbagai masalah yang menghambat kedaulatan energi, kita perlu melakukan rekapitalisasi pada delapan jenis energi yang kita miliki: energi kinetik, potensial, panas, kimia, nuklir, listrik, mekanik, dan cahaya. Selanjutnya, reindustrialisasi harus dilakukan secara serius, fokus, berkelanjutan, dan tetap berwawasan lingkungan.
Proses rekapitalisasi dan reindustrialisasi ini harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila menjadi sumber nilai, pedoman kehidupan bermasyarakat, serta dasar negara yang mencerminkan potensi dan cita-cita masyarakat.
Dus, Prinsip ini menekankan keadilan sosial, hidup berlandaskan konsensus, menjaga persatuan, serta menghadirkan kemanusiaan yang abadi dalam hubungan yang selaras dengan alam.
Singkatnya, kedaulatan energi menjadi bagian esensial dari kedaulatan bangsa, sepanjang dilaksanakan dengan prinsip keadilan bagi semua, keseimbangan, dan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan. Prinsip adil berarti menghargai sesama tanpa memandang perbedaan ras, agama, jabatan, atau ciri lainnya. Hanya manusia yang saling menghargai dan diperlakukan adil yang akan benar-benar memahami nilai keadilan.
Kedaulatan energi juga harus beradab, berlandaskan etika, moral, dan budi pekerti. Hidup berdampingan dengan etika dan adab menciptakan keharmonisan serta memperkuat peradaban. Dengan penerapan adab yang simultan oleh setiap individu, kita akan menuju terciptanya lingkungan yang harmonis, peradaban yang pancasilais, dan alam yang lestari, menjadikan Indonesia sebagai “bumi sorgawi” yang memancarkan nilai-nilai luhur Pancasila.