Pandangan Positivisme Hukum

Hukum positif dianggap sah jika dikeluarkan oleh otoritas yang memegang kedaulatan penuh

Pandangan Positivisme Hukum

MJ. Jakarta – Pandangan Positivisme Hukum sebagai Landasan Penelitian Hukum Normatif

Pandangan positivisme hukum memberikan kontribusi penting dalam penelitian hukum normatif, karena berfokus pada pemahaman hukum sebagai sistem norma yang tertulis dan terstruktur dalam peraturan perundang-undangan. Secara garis besar, pandangan ini memaknai hakikat hukum sebagai norma-norma positif yang bersifat otonom, terpisah dari moralitas, dan didasarkan pada kewenangan yang sah.

Terdapat tiga landasan utama dalam pandangan positivisme hukum, yaitu:

1.Bahwa hukum adalah perintah manusia yang memisahkan hukum dengan moral.

2.Penelitian dilakukan terhadap hukum dipisahkan dari unsur-unsur di luar hukum seperti sejarah, sosiologis dan politik.

3.Sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar dapat dideduksi dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan maksud logis semata.

Pandangan positivisme hukum memiliki kekuatan utama dalam argumentasi yang didasarkan pada penerapan struktur norma positif ke dalam kasus-kasus konkret. Dengan menggunakan pola penalaran deduktif atau top-down, pandangan ini memastikan bahwa hukum diterapkan secara sistematis dan konsisten berdasarkan hierarki norma yang telah ditetapkan.

Istilah “positif” berasal dari kata Latin ponere-posui-positus, yang berarti “meletakkan,” merujuk pada sesuatu yang sudah tersaji atau diberikan (given). Dalam konteks hukum, yang dimaksud dengan “tersaji” adalah sumber hukum positif, yaitu norma-norma hukum yang ditetapkan oleh penguasa politik.

Meskipun pandangan ini sudah berakar sejak era Auguste Comte, positivisme hukum modern memperoleh dasar akademisnya melalui pemikiran para ahli seperti John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart. Pemikiran mereka membentuk landasan paham positivisme modern yang menekankan kepastian hukum sebagai tujuan utamanya.

John Austin dan Hans Kelsen sama-sama menolak gagasan hukum kodrat yang abstrak. Menurut mereka, hukum adalah hasil ciptaan manusia, meskipun cara pandang keduanya berbeda:

Austin mendefinisikan hukum sebagai perintah yang berasal dari kedaulatan penuh, yaitu negara.

Hukum positif dianggap sah jika dikeluarkan oleh otoritas yang memegang kedaulatan penuh.

Kelsen sependapat dengan Austin dalam hal memisahkan hukum dari moralitas. Namun, Kelsen menolak gagasan bahwa hukum adalah perintah, karena perintah mengandung unsur psikologis.

Kelsen memandang hukum sebagai norma murni (pure theory of law), yang merupakan hasil dari sumber terbatas dan membentuk gagasan mengenai bagaimana seseorang harus bertindak.

Dalam pandangan Kelsen, norma hukum dipisahkan secara tegas dari norma-norma lainnya, seperti moral atau agama.

Pandangan positivisme hukum bertujuan menciptakan kepastian hukum. Dalam pendekatan ini, penyelesaian masalah dilakukan melalui logika sistematis di mana norma hukum hanya dapat diuji dengan norma hukum lainnya. Validitas hukum tidak bergantung pada kesesuaiannya dengan moralitas, melainkan pada konsistensinya dengan aturan sistematis dalam ilmu hukum (the rule systematizing logic of legal science).

Kelsen juga memperkenalkan konsep Grundnorm atau norma dasar, yang menjadi dasar abstraksi tertinggi dalam struktur norma hukum. Hirarki norma hukum dibentuk berdasarkan tingkat abstraksinya, di mana norma pada tingkat tertinggi berada di perbatasan antara hukum dan moral. Konsep ini mencerminkan keterbatasan hukum untuk benar-benar memisahkan dirinya dari nilai-nilai moral pada tingkat yang paling mendasar.

Pola argumentasi yang cenderung kaku dan sistem logika tertutup dalam positivisme hukum akhirnya tergoyahkan pada puncaknya, terutama ketika harus menerima adanya hubungan antara hukum dengan moral. Hal ini menjadi salah satu kelemahan dari pandangan Hans Kelsen, yang awalnya berupaya memisahkan hukum dari pengaruh moralitas secara tegas.

Pemikiran John Austin dan Hans Kelsen dilandasi oleh keinginan menjadikan hukum sebagai ilmu yang diakui oleh komunitas ilmiah. Oleh karena itu, metode yang mereka kembangkan diarahkan untuk menjadikan hukum sebagai ilmu dogmatika, dengan pendekatan yang menyerupai ilmu-ilmu pasti. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip dasar positivisme hukum yang menekankan pada logika dan sistematika hukum.

Dalam diskusi mengenai hukum dari perspektif positivisme, fokusnya tertuju pada hukum positif, yaitu hukum yang berlaku pada waktu dan wilayah tertentu. Oleh karena itu, hukum positif sering disebut sebagai ius constitutum. Namun, keterbatasan pendekatan ini adalah ketidakmampuannya menjangkau aspek penegakan hukum. Positivisme hukum, sebagaimana terlihat dalam pemikiran Austin, lebih berfokus pada pembentukan hukum semata.

Perkembangan Pemikiran Positivisme: Kontribusi H.L.A. Hart

H.L.A. Hart mencoba menggabungkan pandangan Austin dan Kelsen, tetapi dengan sejumlah modifikasi. Menurut Hart, hukum adalah perintah manusia yang memiliki kekuasaan dan wajib ditaati, bukan semata karena adanya sanksi, tetapi karena adanya pola perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.

Hart membagi peraturan hukum menjadi dua jenis utama:

1. Peraturan Primer (Primary Rules)

Mengatur hak dan kewajiban masyarakat.

Peraturan ini hanya dapat diterapkan pada masyarakat sederhana, di mana aturan-aturan dasar cukup untuk menjaga ketertiban.

2. Peraturan Sekunder (Secondary Rules)

Berkaitan dengan proses penafsiran, penerapan, pengubahan, dan pembentukan peraturan primer.

Peraturan sekunder menjadi elemen penting dalam sistem hukum yang lebih kompleks, karena memungkinkan adaptasi terhadap perubahan sosial.

Hart berpendapat bahwa peraturan sekunder didasarkan pada peraturan primer, tetapi norma hukum tertinggi bukanlah Grundnorm seperti yang dikemukakan Kelsen. Sebagai gantinya, Hart memperkenalkan konsep the ultimate rule of recognition, yaitu aturan pengakuan tertinggi yang didasarkan pada realitas sosial dan praktik hukum yang diakui.

Hart juga mengkritik pandangan Austin yang menyatakan bahwa hukum adalah perintah dan sanksi yang bersifat memaksa. Hart mencontohkan bahwa perintah dari kelompok bersenjata, meskipun memaksa, bukanlah bagian dari hukum karena tidak memenuhi kriteria norma hukum yang diakui dalam sistem hukum formal.

Melalui kontribusi Hart, positivisme hukum mengalami penyempurnaan dengan memperluas fokusnya, tidak hanya pada pembentukan hukum, tetapi juga pada penerapan dan pengakuan hukum dalam konteks sosial yang dinamis. Hal ini menjadikan pandangan Hart sebagai salah satu tonggak penting dalam perkembangan teori positivisme hukum modern.

Penulis: Arthur George Hendiriezon Leonard Noija S.HEditor: Red