Penyelundupan hukum (fraus legis) dalam konteks Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Penyelundupan hukum (fraus legis) dalam konteks Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

MJ. Simalungun – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal Jakarta berpandangan bahwa penyelundupan hukum (fraus legis) dalam konteks Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan tindakan yang disengaja untuk menghindari ketentuan hukum yang berlaku atau untuk mencapai tujuan tertentu yang sebenarnya tidak dapat dicapai melalui jalur hukum yang sah.

Praktik ini sering terjadi ketika individu atau badan hukum perdata berupaya menempuh cara-cara yang melanggar norma atau prosedur hukum yang berlaku demi memperoleh keuntungan tertentu atau menghindari tanggung jawab hukum. Dalam ranah sengketa Tata Usaha Negara, fraus legis dapat mengaburkan tujuan keadilan substansial dan merusak sendi-sendi kepastian hukum.

Salah satu kebijakan yang kerap menjadi objek manipulasi atau penyelundupan hukum adalah program redistribusi tanah kepada petani. Program ini dijalankan melalui penerbitan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria, atau yang lebih dikenal sebagai SK-Kinag. Instrumen ini memegang peranan vital dalam kerangka kebijakan landreform nasional.

Redistribusi tanah bukan semata-mata agenda teknokratik, tetapi merupakan bentuk konkret kehadiran negara dalam memenuhi mandat konstitusional untuk mewujudkan keadilan sosial. Tujuan utamanya adalah pemerataan penguasaan dan kepemilikan tanah di kalangan rakyat Indonesia, khususnya petani kecil yang selama ini berada dalam posisi marjinal.

Penerbitan SK-Kinag oleh Menteri Agraria melalui Kepala Inspeksi Agraria bukan hanya menjadi legalitas formal, tetapi juga mengandung legitimasi substantif atas pemberian hak atas tanah kepada petani. Tanah-tanah yang dialokasikan melalui SK-Kinag dikenal sebagai “tanah Kinag” – yaitu tanah hasil program landreform yang telah melalui tahapan seleksi dan verifikasi ketat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam sistem hukum modern yang menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum, praktik penyelundupan hukum (fraus legis) menjadi ancaman senyap yang menggerogoti fondasi tersebut. Istilah ini merujuk pada tindakan seseorang atau badan hukum yang secara sengaja menghindari ketentuan hukum yang berlaku dengan menyalahgunakan atau mengabaikan aturan demi mencapai tujuan yang tidak sah atau menyimpang dari maksud dan semangat hukum.

Contoh Praktik Penyelundupan Hukum

Penyelundupan hukum dapat hadir dalam berbagai bentuk yang kerap tersamar sebagai tindakan sah secara prosedural, padahal secara substansial bertentangan dengan nilai keadilan. Beberapa contoh di antaranya:

1. Menghindari Jangka Waktu Gugatan Dalam konteks Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), terdapat batas waktu maksimal 90 hari untuk mengajukan gugatan sejak diterbitkannya keputusan tata usaha negara. Penyelundupan hukum terjadi ketika pihak yang berkepentingan dengan sengaja mengulur waktu atau memanipulasi tanggal agar gugatan tetap diterima di luar batas waktu tersebut.

2. Menggunakan Prosedur Hukum yang Salah Dalam beberapa kasus, pihak yang berperkara menggunakan jalur hukum yang tidak sesuai – misalnya, membawa perkara administrasi ke ranah perdata – guna menghindari penerapan norma atau pembuktian yang lebih ketat.

3. Memalsukan atau Memanipulasi Bukti Salah satu bentuk penyelundupan hukum paling berbahaya adalah menyajikan bukti palsu atau memanipulasi dokumen untuk memperkuat posisi hukum yang sebenarnya lemah.

Krisis Legitimasi Sertifikat Hak Milik (SHM)

Penyelundupan hukum tidak hanya merusak keadilan prosedural, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap sistem hukum, khususnya dalam sektor agraria. Dalam teori dan praktik hukum pertanahan Indonesia, Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan puncak dari hierarki bukti kepemilikan tanah. SHM tidak hanya diakui secara yuridis, tetapi juga dihormati sebagai simbol kepastian hukum dan keamanan hak atas tanah.

SHM bahkan memiliki nilai ekonomis karena dapat dijadikan agunan kredit, menjadi rujukan utama dalam transaksi, serta diakui dalam penyelesaian sengketa baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Namun, realitas di lapangan berkata lain.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ditemukan kasus di mana SHM tidak mampu melindungi pemilik sahnya. Gugatan, mafia tanah, hingga konflik administratif membuat SHM kehilangan wibawanya. Tidak sedikit pula kasus di mana SHM yang sah dipatahkan hanya karena praktik manipulatif dan penyelundupan hukum oleh pihak-pihak yang mengincar tanah tersebut.

Di tengah harapan masyarakat akan keadilan dan kepastian hukum, negara seharusnya hadir sebagai pelindung yang tegas dan adil. Namun ironisnya, dalam konteks pertanahan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, negara justru tampak diam dan membisu, bahkan terkesan mengabaikan saat masyarakat berhadapan dengan kekuatan gelap yang dikenal sebagai mafia tanah.

Modus yang Makin Canggih dan Terorganisir

Modus operandi mafia tanah saat ini jauh dari konvensional. Mereka telah berevolusi menjadi entitas yang sistematis dan terstruktur:

Pemalsuan dokumen,

Manipulasi data elektronik dalam sistem pertanahan, hingga

Kolusi dengan oknum aparat penegak hukum, pejabat BPN, notaris, bahkan pejabat daerah.

Mereka tidak bekerja sendiri. Jaringan ini ditopang oleh aktor-aktor yang memiliki akses kekuasaan dan “bersenjata hukum”. Dalam praktiknya, mafia tanah tidak sekadar melakukan pelanggaran administratif, melainkan melakukan perampasan hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi.

Pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ini berarti negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi setiap warganya.

SHM Tak Berdaya di Hadapan Mafia

Temuan Tim Investigasi S3 PPNT (Peduli Nusantara Tunggal) di lapangan, melalui wawancara dengan masyarakat korban mafia tanah dan mafia peradilan, mengungkap realitas yang menyedihkan. Sertifikat Hak Milik (SHM) yang telah diterbitkan secara sah oleh Kantor Wilayah BPN tidak berdaya saat mafia tanah diduga berhasil membobol sistem administrasi pertanahan.

Lebih miris lagi, dalam kasus yang kami pantau, mafia tanah bahkan mampu memaksakan pelaksanaan Putusan Kasasi No. 546 K/TUN/2022 tanpa mengajukan permohonan penetapan eksekusi melalui prosedur TUN yang benar. Ini jelas bentuk penyelundupan hukum yang terstruktur.

Penyelundupan Hukum di PTUN: Bentuk Pengkhianatan terhadap Hukum

Penyelundupan hukum (fraus legis) di PTUN bisa hadir dalam bentuk:

Menggunakan prosedur hukum yang tidak tepat, demi menghindari penerapan aturan yang sebenarnya relevan dan sah;

Memalsukan atau memanipulasi bukti, untuk memperkuat gugatan atau pembelaan yang tidak berdasar.

Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka yang tergerus bukan hanya hak milik warga, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara hukum.

Saatnya Negara Hadir: Bukan Sekadar di Atas Kertas

Mafia tanah tidak mungkin berkembang tanpa keterlibatan oknum aparat negara. Ini bukan semata masalah hukum, tapi juga krisis keadilan, moralitas, dan integritas tata kelola pertanahan.

– Negara tidak boleh hanya hadir di atas kertas. Sudah saatnya:

– Reformasi sistem pertanahan menjadi prioritas nasional,

– Pemberantasan mafia tanah dijadikan agenda utama,

Dan SHM kembali menjadi simbol kehormatan dan jaminan hak, yang tidak bisa diganggu gugat, baik oleh kekuatan berbaju hukum maupun berselimut kuasa.

Penulis: Arthur Noija S.HEditor: Red