Perampasan Aset Urgensi Mengambil Alih Paksa Aset Koruptor di Luar Pengadilan

Perampasan Aset Urgensi Mengambil Alih Paksa Aset Koruptor di Luar Pengadilan

MJ. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal jakarta berpendapat bahwa, dibutuhkan mekanisme hukum yang menjamin recovery pengembalian, kerugian negara dalam waktu yang cepat melalui Undang-Undang tentang Perampasan Aset.

Mekanisme inilah akan memotong birokrasi peradilan biasa, ia akan menjadi jalan pintas penyelamatan aset negara di luar peradilan.

Pemberantasan korupsi baru dirasakan pasca sistem pemerintahan memasuki dekade baru yang disebut “orde reformasi”, meski jauh dua orde sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru) pengaturan mengenai tindak pidana korupsi (tipikor) mulai ditempatkan secara khusus (lex specialis).

Pasca kemerdekaan Indonesia, penindakan kejahatan termasuk tipikor masih diatur dalam satu bentuk undang-undang yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht/WvS) yang diterapkan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda dengan nama WvSNI (WvS Netherland Indie) tahun 1918.

Tahun 1946 WvSNI diganti menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

Dalam KUHP, pengertian korupsi tidak dirumuskan secara tunggal, ia tersebar dalam beberapa ketentuan pasal yang substansinya mengatur tentang perilaku pejabat publik berkaitan dengan kekuasaan yang dipegangnya, antara lain :

*Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 417, Pasal 418, 419, Pasal 420, Pasal 423 dan Pasal 435 KUHP yang pada intinya mengatur penyalahgunaan jabatan publik.

Penyusunan regulasi pemberantasan korupsi secara khusus (lex spesialis) mulai dilakukan sejak tahun 1957/1958, beberapa pengaturannya antara lain :

Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Nomor PRT/PM/08/1957, Nomor PRT/PM/011/1957, Nomor: PRT/PEPERPU/031/1958 atau Nomor 13 Tahun 1958 serta peraturan pelaksananya, Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958, Undang Undang No.24/prp/1960 yang menurut Pasal 96 UUDS 1950 jo Pasal 139 Konstitusi RIS 1949 merupakan perubahan dari Perppu Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam UU Nomor 1 Tahun 1961, UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Perhatian terhadap pengaturan tentang tipikor cukup lama stagnan sejak lahirnya UU Nomor 3 Tahun 1971 dan ini sangat berkaitan dengan era pemerintahan baru (Orde Baru).

Ketika datang era reformasi 1998 yang melahirkan kesadaran bahwa lemahnya pemberantasan korupsi selama ini harus ditangani secara sungguh-sungguh.

Lahirlah UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru. Meski UU Pemberantasan Tipikor sudah dibuat secara khusus (lex Specialis), angka pertumbuhan korupsi terus melaju, sepertinya kesadaran pejabat publik memanfaatkan kewenangannya masih terus terjadi, sehingga dibutuhkan tindakan cepat untuk menyelamatkan harta dan kekayaan negara.

Perampasan aset hasil korupsi harus dilakukan, sehingga dibutuhkan dasar hukum yang memberikan kewenangan pada negara merampas aset hasil korupsi tanpa harus melalui proses penegakan hukum yang panjang.

Kesadaran Anti Korupsi Kesadaran pentingnya penyelamatan harta dan aset negara yang dikembangkan melalui UU Pemberantasan Tipikor melahirkan beberapa institusi baru yang diharapkan dapat mencegah meluasnya tipikor.

Pasca Orde Reformasi lahirlah Ketetapan Majelis Permusywaratan Rakyat No XI/MPR/1998 (TAP MPR) tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN).

Sejalan dengan itu dibentuklah badan-badan baru untuk mendukung upaya pemberantasan tipikor, antara lain :

Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi (TGPPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang kemudian diintegrasikan dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).  

Melalui TAP MPR ditentukan kewajiban pemeriksaan terhadap harta kekayaan penyelenggara negara yang diikuti dengan kelahiran UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN yang mewajibkan pejabat publik melaporkan harta kekayaannya (LHKPN).

Sejalan dengan itu, lahir UU Nomor No. 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor yang mengakomodir perkembangan modus-modus korupsi sekaligus melahirkan lembaga independen yang secara khusus menangani korupsi oleh pejabat publik dan pihak-pihak terkait yaitu KPK melalui UU Nomor 30 Tahun 2002.

Meskipun akhirnya melalui UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, KPK menjadi tidak independen lagi, karena ditempatkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

Kesadaran pembentukan institusi-institusi tipikor baik yang bersifat pencegahan maupun penindakan belum juga menyurutkan “minat” pejabat publik melakukan korupsi.

Fenomena ini terlihat dari laporan KPK tahun 2024 (tahun kerja 2020 s.d. 2024) yang telah menangani 2.730 perkara. Ini artinya rata-rata per tahun 546 perkara atau per bulan 45–46 perkara, belum lagi tipikor yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan.

Artinya upaya pencegahan dan penindakan selama ini belum efektif dalam menurunkan jumlah tipikor.

LHKPN dan Perampasan Aset LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi merupakan bentuk transparansi kepemilikan dan asal-usul harta kekayaan seorang pejabat publik, yang secara langsung dapat diakses masyarakat sebagai wujud pelibatan publik dalam pencegahan tipikor.

Bagaimanakah mengukur kejujuran para penyelenggara negara atau pejabat publik melalui LHKPN, pertanyaan penting bagi terciptanya sebuah pemerintahan yang baik (Good Corporate Government). 

Sejauh manakah efektivitas LHKPN menurunkan angka tipikor, KPK baru menyampaikan apresiasi atas kepatuhan penyampaian LHKPN Kabinet Merah Putih yang mencapai 100%.

Akan tetapi capaian ini belum sepenuhnya menggambarkan kejujuran isinya secara materil, seperti yang dikemukakan Pimpinan KPK periode 2019-2024 bahwa kejujuran secara materil ini menjadi sesuatu yang mengundang senyuman.

Cukup jelas terlihat dari adanya LHKPN yang mencantumkan harga sebuah mobil mewah dengan nilai hanya Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah) saja. Ini artinya di satu sisi formalitas kepatuhan melaporkan LHKPN itu bagus, tetapi derajat kejujuran materi laporannya bisa dipersoalkan.

Fenomena ini dapat terjadi didasarkan pada kemungkinan situasi-situasi yang dihadapi para pejabat publik.

1.Keterlambatan/keengganan para pejabat publik melaporkan LHKPN karena kesibukan sebagai pejabat publik baru yang biasanya berasal dari luar birokrasi pemerintahan lama, sehingga konsentrasi pikiran pada tugas jabatannya dapat menyebabkan kelalaian akan kewajibannya melapor LHKPN.

2.Pejabat publik yang pernah menjabat (incumbent) dan sangat mengerti tetapi merasa kebingungan untuk melaporkan “harta haramnya” dalam pengertian harta yang didapat secara halal, tetapi bertentangan dengan kewajiban profesinya sebagai pejabat publik. Seperti pemberian (gratifikasi) dari sahabat atau teman yang dibantu urusan yang berkaitan dengan jabatan publiknya, sehingga ada keengganan karena adanya kekhawatiran LHKPN yang juga memuat “harta haramnya” justru bisa berakibat dirinya menjadi objek penegakan hukum. Ketiga, pejabat publik yang pernah menjabat sebelumnya dan mengetahui bahwa regulasi kewajiban LHKPN itu tidak mempunyai sanksi karena hanya peringatan dari atasan langsung. Sumber Kewajiban LHKPN

Dari persoalan itu, terlihat kelemahan sistemik dari regulasi LHKPN, dan kelemahan yang paling mencolok adalah tidak ada sanksi yang jelas atas pengabaian kewajiban LHKPN.

Regulasi yang mengurai kewajiban laporan LHKPN ini sebagai berikut :

Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menyatakan:

Seorang Penyelenggara Negara berkewajiban untuk

1. Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatan.
2. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
3. Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.
4. Tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan.
6. Melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab….dst.
7. Bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi dan nepotisme serta dalam perkara lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sedangkan sanksi atas pelanggarannya diatur pada Pasal 20 yaitu (1). Setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan sanksi atas pelanggaran Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan sanksi atas pelanggarannya diatur pada Pasal 20 yaitu :

1. Setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sedangkan sanksi atas pelanggaran Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian peraturan perundang-undangan yang berlaku dikembalikan kepada peraturan yang mengatur tentang disiplin pegawai negeri yang sanksinya minimal peringatan tertulis maksimal pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH). 

Ketentuan yang sedemikian itu menunjukan bahwa regulasi LHKPN mengandung kelemahan sistemik yaitu sanksinya hanya bersifat administratif.

Idealnya sanksi dikaitkan KUHP yang sanksinya sudah standar terhadap semua perbuatan pidana (hukuman mati, penjara seumur hidup atau dua puluh tahun), dan hukuman denda.

Selain sanksi pidana, negara juga berpeluang menuntut kerugian perdata dari kerugian tipikor yaitu kerugian yang timbul dari akibat perbuatan yang dapat dilakukan sekaligus dalam penggabungan penuntutan pidana – perdatanya (Pasal 98 – 101 KUHAP).

Hanya saja seringkali Jaksa Penuntut Umum menitikberatkan pada sanksi pidana, meski dimungkinkan untuk melakukan perampasan aset, pembayaran uang pengganti atau pencabutan hak-hak tertentu sekaligus (Pasal 19 UU Pemberantasan Tipikor).

Demikian juga Pasal 67 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memungkinkan memutuskan harta kekayaan yang disinyalir hasil tipikor.

Artinya, ada proses peradilan yang memberi peluang pada pihak yang dirugikan mengajukan keberatan sebagai proses reguler peradilan pidana (banding, kasasi dan PK). 

Urgensitas Perampasan Aset.    

Tuntutan kerugian perdata seringkali hanya didasarkan pada putusan perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Membutuhkan waktu yang sangat panjang (proses banding, kasasi, dan PK) dan tidak efisien.

Karena itu, memang dibutuhkan suatu mekanisme hukum yang menjamin recovery (pengembalian) kerugian negara dalam waktu yang cepat dan bisa dilakukan melalui mekanisme perampasan aset.

Mekanisme ini akan memotong birokrasi peradilan biasa, ia akan menjadi jalan pintas penyelamatan aset negara di luar peradilan.

Dengan begitu, Undang-Undang tentang Perampasan Aset menjadi conditio cine qua non bagi upaya recovery perekonomian melalui penindakan dan pencegahan korupsi ke depan.
Quo Vadis…Pa Depe-er..

Penulis: Arthur Noija S.HEditor: Red