MJ. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal berpendapat bahwa untuk memahami masalah terjadinya kejahatan, penting terlebih dahulu memahami peran yang dimainkan oleh pihak korban dalam mempengaruhi terjadinya kejahatan.
Pendekatan ini didasarkan pada teori interaksi dan perspektif interaktif, di mana hubungan antar berbagai fenomena yang ada dalam kejahatan harus diperhatikan. Semua elemen tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi, sehingga pemahaman mengenai keterlibatan korban dalam proses kejahatan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam dalam relationship criminology.
a. Pihak korban yang memiliki status sebagai partisipan, baik pasif maupun aktif, memainkan peran yang signifikan dalam mempengaruhi terjadinya suatu kejahatan.
b. Pelaksanaan peran pihak korban dalam suatu kejahatan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh tersebut hasilnya tidak selalu sama pada korban.
a. Peranan korban kejahatan ini antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan pihak korban,bilamana dilakukan sesuatu dan dimana hal tersebut dilakukan.
b. Peranan korban ini mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban serta pihaknya, pihak lain dan lingkungannya.
C. Antara pihak korban dan pihak pelaku terdapat hubungan fungsional bahkan dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak korban dikatakan bertanggung jawab.
d. Tanpa korban tidak mungkin terjadi suatu kejahatan, pihak korban selaku partisipan utama memainkan peranan penting bahkan setelah kejahatan dilakukan.
Masalah penyelesaian konflik dan penentuan hukuman bagi pelaku kejahatan tidak jarang melibatkan situasi di mana pihak korban juga terlibat dalam tindakan yang dianggap sebagai kejahatan.
Hal ini dapat terjadi jika korban merasakan bahwa tindak lanjut dari proses hukum tidak adil atau merugikan mereka. Untuk mencapai keadilan dan memahami masalah kejahatan secara proporsional dan dimensional, perlu dilakukan penyelidikan dan peninjauan yang bersifat interaktif. Mengingat kejahatan adalah hasil dari interaksi antara berbagai pihak, pendekatan ini menjadi sangat penting.
Partisipasi korban dalam kejahatan, dengan berbagai peranan yang mereka mainkan, merupakan aspek yang sangat signifikan untuk diperhatikan. Pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, serta dengan tingkat tanggung jawab yang bervariasi.
Mereka juga dapat terlibat dengan motivasi yang positif maupun negatif. Semua ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi saat kejahatan berlangsung.
1. Situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap pihak korban. Pihak korban sendiri tidak dapat melakukan suatu tindakan, tidak berkemauan atau rela untuk menjadi korban.
2. Situasi atau kondisi yang ada pada dirinya yang merangsang atau mendorong pihak lain melakukan suatu kejahatan karena kerap kali antara pihak pelaku dan korban tidak terdapat hubungan terlebih dahulu. Situasi dan kondisi tersebut antara lain berkaitan dengan kelemahan fisik dan mental pihak korban yang berusia tua atau kanak-kanak, yang cacat tubuh atau jiwa serta pria atau wanita dan lain-lain, yang dapat dimanfaatkan.
3. Situasi dan kondisi yang berkaitan dengan sosial pihak korban, bodoh, golongan lemah, politis, ekonomis, hukum, yang berkedudukan lemah serta tidak mempunyai pelindung dalam masyarakat yang perlu dihapuskan atau dihilangkan karena tidak bermanfaat.
Keadaan di atas kerap kali tidak dapat ditolak karena dimiliki pihak korban sejak lahir atau dilimpahkan pada dirinya akibat perkembangan sosial yang tidak mampu ditolaknya sehingga kemungkinan menjadi korban selalu ada padanya.
a. Pihak korban yang diketahui termasuk golongan lemah mental, fisik, sosial (ekonomi, politis, yuridis) yang tidak dapat atau tidak berani melakukan perlawanan sebagai pembalasan yang memadai, sering dimanfaatkan sesukanya oleh pihak pelaku yang merasa dirinya lebih kuat dan berkuasa pada pihak korban.
b. Pihak korban dalam situasi dan kondisi tertentu dapat juga mengundang pihak pelaku untuk melakukan kejahatan pada dirinya akibat sikap dan tindakannya. Walaupun pihak korban dan pihak pelaku tidak memiliki hubungan sebelumnya.
Contoh :
1. korban bersikap atau bertindak lalai sehingga memberikan kesempatan kepada pelaku untuk melakukan kejahatan.
2. Bisa juga karena korban berada di daerah rawan pada waktu tertentu sehingga memungkinkan dan memudahkan dirinya untuk menjadi sasaran kejahatan.
3. Situasi tertentu selanjutnya adalah apabila pihak korban dan pelaku mungkin sudah pernah ada hubungan sebelumnya. A. Hubungan ini bisa terjadi karena saling mengenal, mempunyai kepentingan bersama, tinggal bersama di suatu tempat atau daerah tertentu. Bisa juga apabila pelaku dan korban mempunyai suatu kegiatan bersama. Situasi dan kondisi dalam hubungan ini yang memudahkan korban menjadi sasaran kejahatan adalah karena adanya suatu kepentingan yang dikehendaki oleh pelaku, sehingga pelaku memanfaatkan pihak korban untuk memenuhi kepentingan dan keinginannya berdasarkan motivasi tertentu.
Menurut Rena Yulia (2010:75), mengemukakan bahwa :
Masalah korban dalam konteks kejahatan sebenarnya bukanlah isu baru; hanya saja, sering kali hal ini kurang diperhatikan atau bahkan diabaikan. Ketika kita mengamati kejahatan secara proporsional dan dimensional, kita tidak bisa mengesampingkan peran korban dalam timbulnya suatu kejahatan.
Chaeruddin dan Syarif Fadillah (2004:10) menyatakan bahwa peran yang dimaksud mencakup sikap dan keadaan individu yang dapat menjadikannya calon korban, serta sikap dan keadaan yang berpotensi memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Pertanyaannya kemudian muncul: mengapa korban yang telah jelas mengalami kerugian, baik secara fisik, mental, maupun sosial, masih dianggap memiliki peran yang dapat memicu kejahatan? Mengapa mereka bahkan dituntut untuk turut memikul tanggung jawab atas tindakan pelaku kejahatan?
Selanjutnya, Rena Yulia (2010:75) mengungkapkan bahwa korban memiliki peran fungsional dalam terjadinya kejahatan. Pada kenyataannya, tidak mungkin suatu kejahatan dapat terjadi tanpa adanya korban, yang menjadi peserta utama dalam proses kejahatan tersebut. Dalam hal ini, kepentingan pelaku sering kali berujung pada penderitaan korban, menunjukkan kompleksitas hubungan antara pelaku dan korban dalam dinamika kejahatan.
Menurut Chaeruddin dan Syarif Fadillah (2004:11), mengemukakan bahwa :
a. Dalam studi tentang kejahatan dapat dikatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa menimbulkan korban. Dengan demikian, korban adalah partisipan utama, meskipun pada sisi lain dikenal pula kejahatan tanpa korban “crime without victim”, akan tetapi harus diartikan kejahatan yang tidak menimbulkan korban di pihak lai, misalnya dalam kasus penyalahgunaan obat terlarang, perjudian, aborsi, di mana korban menyatu sebagai pelaku.
b. Pihak korban yang mempunyai status sebagai partisipan pasif maupun aktif dalam suatu kejahatan, memainkan berbagai macam peranan yang dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan tersebut. Arif Gosita (2009:103) mengemukakan bahwa “Pelaksana peran-peran pihak korban dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu secara langsung atau tidak langsung, pengaruh tersebut hasilnya tidak selalu sama pada korban”.
Menurut Stephen Schafer (Lilik Mulyadi, 2003:123), mengemukakan bahwa : Dalam kajian viktimologi terdapat perspektif dimana korban bukan saja bertanggung jawab dalam kejahatan itu sendiri tetapi juga memiliki keterlibatan dalam terjadinya kejahatan. Apabila ditinjau dari prespektif
Tanggung jawab korban itu sendiri mengenal 10 (sepuluh) bentuk, yakni sebagai berikut:
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban:
2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan
3. korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama,
4. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di Bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus dengan tas plastik sehingga
5. mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini
6. pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku:
7. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggung jawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya:
B. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat:
9. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung jawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan:
10. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
Menurut Ezzat Abdel Fattah (Lilik Mulyadi, 2003:124), mengemukakan bahwa :
Ditinjau dari prespektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka korban dibagi menjadi 5 (lima) tipologi yaitu :
1. Non participating victims adalah mereka yang tidak menyangkal/ menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan,
2. Latent or predisposed victimns adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu,
3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku
lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban,
5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri,
Selain dari prespektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai suatu perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi korban, salah satunya oleh Sellin dan Wolfgang (Dikdik dan Elisatris Gultom, 2006:49), mengemukakan bahwa:
a. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi korbannya
adalah orang perorangan (bukan kelompok):
b. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan hukum:
c. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas,
d. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri,
e. misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika:
f. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa dalam suatu kejahatan terdapat keterlibatan dan tanggung jawab dari pihak korban, yang dapat berkontribusi pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Masalah korban sebenarnya bukanlah hal baru, namun sering kali kurang mendapat perhatian, bahkan diabaikan.
Ketika kita mengamati masalah kejahatan secara proporsional dan dimensional, kita tidak dapat mengesampingkan peran korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban dapat memiliki peran fungsional dalam terjadinya tindak pidana, baik secara sadar maupun tidak sadar, serta secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu latar belakang pemikiran viktimologis adalah pentingnya “pengamatan meluas terpadu.”
Segala sesuatu harus dilihat dari perspektif yang luas dan integral (makro-integral), di samping analisis mikro-klinis, agar kita dapat memahami kenyataan menurut proporsi yang sebenarnya, terutama dalam konteks relevansi suatu isu. Peran korban dapat dilihat sebagai sikap dan keadaan individu yang mungkin menjadi calon korban, serta kondisi yang dapat memicu seseorang untuk melakukan kejahatan.
Namun, muncul pertanyaan: mengapa korban yang jelas-jelas mengalami kerugian—baik secara fisik, mental, maupun sosial—justru harus dianggap memiliki peran dalam terjadinya kejahatan? Mengapa mereka juga dituntut untuk memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara pelaku dan korban dalam fenomena kejahatan, yang memerlukan pemahaman yang lebih mendalam.
Bambang Waluyo (2011:9), mengemukakan bahwa :
Peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah :
a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi:
b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan lebih besar:
C. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku dan si korban,
d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban.
Keterkaitan antara pelaku dan korban kejahatan tampaknya dipengaruhi oleh perkembangan aliran kriminologis modern, yang tidak lagi memandang pelaku kejahatan hanya sebagai pelanggar hukum semata. Pandangan ini juga berlaku bagi korban, yang kini dipahami dalam konteks yang lebih luas.
Menurut Draplin (dalam Rena Yulia, 2009:78), pendekatan kriminologis modern mengakui bahwa baik pelaku maupun korban memiliki peran dan dinamika yang kompleks dalam suatu kejahatan. Aliran ini menekankan pentingnya memahami latar belakang, motivasi, dan interaksi antara keduanya, yang dapat memberikan wawasan lebih dalam mengenai fenomena kejahatan.
Dengan demikian, baik pelaku maupun korban dipandang sebagai individu yang terlibat dalam suatu konteks sosial yang lebih besar, yang mempengaruhi tindakan dan pengalaman mereka dalam proses kejahatan.