MJ. Jakarta – Banyak yang mungkin belum sepenuhnya memahami esensi dari Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara, Indonesia didirikan atas dasar dan desain yang dirumuskan dengan cermat oleh para pendiri bangsa.
Dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia mengembangkan sistem ketatanegaraan yang unik, berbeda dari model negara Barat, baik yang berlandaskan sistem presidensial maupun parlementer. Sistem ini dirancang dengan ukuran dan prinsip yang khas, mencerminkan karakter bangsa yang berdaulat atas dasar Pancasila, sebagai konsensus agung para pendiri negeri.
Namun, tanpa disadari, amandemen terhadap UUD 1945 membawa konsekuensi yang tak sepele—seolah mengaburkan bahkan mengancam keutuhan Negara Proklamasi yang diperjuangkan pada 17 Agustus 1945. Mengapa demikian? Karena para pendiri bangsa telah membentuk negara ini berdasarkan Pancasila, sesuai dengan amanat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi:
“…Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…”
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah salah satu momen paling heroik dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Arek-arek Surabaya berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan negara yang dibentuk pada 18 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kota Surabaya menjadi lautan darah, dengan lebih dari 20.000 rakyat Surabaya yang gugur sebagai syuhada demi tegaknya negeri yang mengibarkan semangat anti-penjajahan di mata dunia.
Dalam pertempuran itu, sekitar 1.600 tentara Inggris tewas, hilang, atau terluka, termasuk Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby, yang tewas dalam baku tembak pada 30 Oktober 1945. Kejadian ini memicu ultimatum dari Inggris, yang pada akhirnya meledakkan Pertempuran 10 November. Perjuangan heroik ini adalah wujud pertahanan terhadap prinsip-prinsip negara yang diproklamasikan, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagaimana yang ditegaskan Bung Karno, hubungan antara Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 adalah “loro-loroning atunggal”—dua hal yang tidak terpisahkan. Bung Karno melukiskan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 adalah pengejawantahan dari jiwa bangsa Indonesia yang terdalam, sebuah “proclamation of independence” dan “declaration of independence” sekaligus.
Proklamasi menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia kepada dunia, sementara UUD 1945 menetapkan prinsip-prinsip negara yang menjadi pegangan hidup bangsa.
Namun, ruh dan prinsip dari negara yang diproklamasikan itu kini terancam oleh amandemen. Sadar atau tidak, amandemen terhadap UUD 1945 telah menggeser dasar negara kita. Prinsip Pancasila menjadi pudar, dengan masuknya individualisme dalam Pasal 28. Prinsip kedaulatan rakyat yang sebelumnya dijalankan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara pun telah digantikan, begitu pula dengan prinsip musyawarah mufakat yang kini bergeser ke sistem voting mayoritas. Bahkan, sistem politik rakyat yang dahulu termaktub dalam GBHN telah hilang.
Pada 10 November 1945, arek-arek Surabaya dengan heroik bertempur demi mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dengan ikhlas, mereka mengorbankan jiwa, mengantarkan sekitar 20.000 pahlawan sebagai syuhada yang berjuang demi tegaknya negara yang dibangun atas dasar Pancasila dan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
Namun kini, setelah begitu besar pengorbanan yang mereka berikan, muncul pertanyaan yang menghujam hati kita semua: apakah kita akan membiarkan negara Proklamasi 17 Agustus 1945 goyah akibat amandemen yang menjauhkan dari prinsip awalnya? Apakah kita bagian dari para pengecut yang tak lagi setia pada cita-cita luhur bangsa ini, atau kita akan kembali berjuang mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 yang murni, demi kelangsungan bangsa dan kemerdekaan sejati?