MJ. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal Jakarta berpendapat bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi pariwisata yang sangat kaya namun belum sepenuhnya dimaksimalkan.
Pariwisata, sebagai salah satu sektor penghasil devisa terbesar, memerlukan berbagai upaya strategis agar peran dan kontribusinya dapat lebih dioptimalkan. Pengembangan potensi ini harus diarahkan pada peningkatan daya saing internasional, yang memerlukan pengaturan hukum yang jelas untuk mendukung pelaksanaannya.
Salah satu daya tarik pariwisata Indonesia adalah keanekaragaman seni dan budaya, yang tidak hanya mengagumkan wisatawan mancanegara, tetapi juga memperkaya destinasi wisata alam serta cagar budayanya. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan seni dan budaya yang luar biasa, yang mencerminkan keanekaragaman etnis, suku bangsa, dan agama.
Kekayaan ini merupakan potensi nasional yang harus dilindungi dan dilestarikan. Selain itu, kekayaan seni dan budaya juga dapat menjadi sumber daya intelektual yang perlu mendapatkan perlindungan hukum, bukan hanya untuk kepentingan seni dan budaya itu sendiri, tetapi juga untuk dimanfaatkan dalam pengembangan sektor perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya.
Dengan perlindungan yang tepat, kekayaan seni dan budaya dapat memberikan kesejahteraan tidak hanya bagi para pelaku seni, tetapi juga bagi bangsa dan negara secara keseluruhan. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikannya sebagai investasi dalam membangun masa depan serta peradaban bangsa, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keberagaman budaya daerah merupakan kekayaan sekaligus identitas bangsa yang sangat penting dalam upaya memajukan kebudayaan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis berupa pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.
Hal ini penting guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, serta berkepribadian dalam budaya.
Saat ini, kebudayaan, termasuk seni tradisional, mulai mendapat perhatian lebih dari pemerintah untuk dipromosikan ke pasar budaya internasional. Namun, dalam praktiknya, seni tradisional masih menghadapi banyak tantangan, terutama dari segi perlindungan hukum. Karya-karya seni tradisional seperti syair, lagu, musik, dongeng, seni tari, dan lainnya belum sepenuhnya dilindungi oleh perangkat hukum yang khusus.
Masyarakat adat memandang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya sebagai warisan komunal yang dimiliki bersama, sehingga seringkali dianggap sebagai domain publik yang terbuka.
Konflik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang mengenai pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional perlu mendapatkan perhatian khusus dalam perjanjian TRIPs (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights).
Negara maju cenderung berpendapat bahwa pengetahuan tradisional harus dianggap sebagai public domain, sehingga dapat diakses oleh siapa pun tanpa batasan. Pandangan ini jelas merugikan negara-negara berkembang, yang memiliki kekayaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya sebagai bagian integral dari warisan nasional mereka.
Sementara itu, negara-negara berkembang berpendapat bahwa rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang ada saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional mereka.
Pengetahuan tradisional bukan hanya sekedar informasi publik, tetapi juga mencakup tata nilai yang mendalam dalam kehidupan masyarakat adat, termasuk dalam praktik-praktik pengobatan tradisional, seni ukir, seni tenun, pemuliaan tanaman, serta kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang diwariskan oleh masyarakat adat perlahan-lahan akan hilang seiring dengan kemajuan zaman dan semakin terpinggirkannya masyarakat adat. Kurangnya kesadaran tentang pentingnya menjaga aset karya intelektual serta tidak terdokumentasikannya pengetahuan adat dengan baik, menjadi faktor utama yang mempercepat proses ini. Di sisi lain, persoalan ini juga terkait erat dengan perlindungan hukum yang belum memadai.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat personal dan komunal. Budaya, sebagai kekayaan bersama, masuk dalam kategori komunal, yang menjadikannya sulit untuk didaftarkan dalam rezim HKI karena sistem paten lebih cocok untuk penemuan individu, merek, dan desain industri.
Jika pun didaftarkan, kekayaan budaya tersebut akan masuk ke dalam kategori hak cipta pribadi, yang memiliki batas waktu tertentu. Hak cipta akan berlaku selama penciptanya hidup dan berlanjut hingga 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Ekspresi budaya tradisional telah menjadi persoalan hukum yang berkembang di tingkat nasional dan internasional. Dalam satu dekade terakhir, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional mulai menjadi sorotan hukum karena belum adanya instrumen hukum yang optimal untuk melindunginya.
Banyak pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual lokal masyarakat Indonesia telah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, bahkan hak kekayaannya telah didaftarkan oleh pihak asing. Contoh yang terkenal adalah pengklaiman alat musik angklung, kesenian Reog Ponorogo, dan lagu “Rasa Sayange” oleh Malaysia, yang digunakan tanpa izin untuk kepentingan komersial, seperti iklan pariwisata.
Menurut Pasal 39 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, negara memiliki hak atas ekspresi budaya tradisional dan bertanggung jawab untuk menginventarisasi, menjaga, dan memelihara kekayaan budaya tersebut.
Namun, hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur secara rinci tentang hak cipta atas ekspresi budaya tradisional yang dipegang oleh negara, sehingga pengetahuan tradisional masyarakat adat tetap rentan untuk dieksploitasi oleh pihak lain.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia belum mendapatkan perlindungan yang memadai terhadap kekayaan intelektual mereka, sebagaimana yang diterapkan di negara-negara maju. Negara-negara maju telah berupaya keras untuk melindungi kekayaan intelektual mereka dari penyalahgunaan, bahkan dengan menekan negara-negara berkembang untuk mengikuti standar perlindungan hak kekayaan intelektual yang mereka tetapkan.
Namun, di sisi lain, negara maju cenderung enggan mengakui dan memberikan perlindungan yang sama terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya dari negara-negara berkembang.
Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana memastikan perlindungan hukum terhadap kesenian tradisional sebagai bagian dari Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang dapat mendukung sektor pariwisata Indonesia.
Di tengah gempuran modernisasi dan pengakuan dari pihak asing, penting untuk memastikan bahwa kekayaan budaya Indonesia tetap dilindungi dan dimanfaatkan untuk kepentingan nasional, terutama dalam meningkatkan daya tarik pariwisata.
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, terutama dalam hal kesenian tradisional, memiliki tanggung jawab untuk melindungi pengetahuan tradisional (PT) dan ekspresi budaya tradisional (EBT) yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Ancaman pengakuan oleh negara lain atau pemanfaatan oleh warga negara asing tanpa izin atau manfaat timbal balik menjadi masalah serius yang harus dihadapi. Bagi masyarakat Indonesia, PT dan EBT bukan sekadar warisan budaya, melainkan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial, dan karenanya memiliki nilai ekonomi dan komunal yang tinggi.
Pengetahuan tradisional (PT) dan ekspresi budaya tradisional (EBT) adalah aset negara yang sangat berharga dan memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Namun, dalam praktiknya, kepemilikan PT dan EBT sering kali diakui atau diklaim oleh pihak asing tanpa adanya mekanisme benefit sharing yang adil. Hal ini menyebabkan konflik kepentingan antara negara-negara maju yang mengakses kekayaan budaya tersebut dan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memilikinya.
Indonesia sendiri masih menghadapi kelemahan dalam hal perlindungan hukum PT dan EBT, seperti kurangnya sistem perlindungan yang tepat, terbatasnya data, dokumentasi, dan informasi terkait PT dan EBT.
Pengetahuan Tradisional (PT) adalah hasil karya intelektual dalam bidang pengetahuan dan teknologi yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Sedangkan, Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) meliputi karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra yang mencerminkan warisan tradisional suatu komunitas.
EBT berakar pada tradisi, budaya, dan ekspresi, yang berarti mengungkapkan ide, perasaan, atau nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Secara umum, budaya dapat didefinisikan sebagai hasil dari pemikiran manusia dan intelek yang berkembang untuk mempertahankan dan memajukan kehidupan mereka di lingkungannya.
EBT mewakili identitas masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia, dan memiliki nilai-nilai penting, baik secara ekonomi, spiritual, maupun komunal.
Oleh karena itu, inventarisasi dan pendokumentasian karya kesenian tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun menjadi tugas penting bagi negara. Melalui upaya ini, pemerintah dapat memastikan perlindungan yang lebih baik terhadap warisan budaya tersebut, sekaligus memperkuat sektor pariwisata yang berpotensi besar mendukung perekonomian nasional.