“Politik Hukum dalam Putusan Hakim: Menemukan Keadilan dalam Proses Peradilan”

“Politik Hukum dalam Putusan Hakim: Menemukan Keadilan dalam Proses Peradilan”

MJ. Jakarta – Pencarian kembali tentang makna cita hukum (rechtsidee) bagi rakyat Indonesia yang bersumber dari Pancasila dalam rumusan UUD 1945 perlu dilakukan. Hal ini diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila oleh kekuasaan kehakiman melalui pelaksananya, yakni hakim.

Fungsi hakim dalam penegakan hukum di Indonesia sangatlah sentral. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, Tim S3 PPNT mencoba menguraikan pandangan mengenai peran hakim dalam pembangunan hukum nasional melalui putusannya, yang ditinjau dari aspek politik hukum.

Selain pendekatan normatif, tulisan ini juga menggunakan pendekatan sosio-legal. Pendekatan ini dianggap penting karena penulis akan menggunakan perspektif ilmu-ilmu sosial untuk mengkaji fungsi peradilan yang diinginkan oleh UUD 1945, dengan tujuan mengungkap latar belakang sosio-historis atau konteks sosiologis yang melatarbelakangi keputusan hakim dalam memutus perkara.

Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa putusan hukum yang dihasilkan oleh hakim tidak lahir dari ruang kosong atau tanpa pengaruh sosial. Sebaliknya, keputusan tersebut dipengaruhi oleh konteks sosial yang melingkupinya. Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis sulit diterima adanya pengadilan yang netral, terlebih lagi dalam negara berdasarkan Pancasila.

Pengadilan di Indonesia memiliki fungsi penting dalam memperjuangkan dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Dengan demikian, pengadilan menjadi tempat yang signifikan dalam mewujudkan keadilan dan moralitas Pancasila. Mewujudkan masyarakat Pancasila tidak cukup hanya melalui undang-undang dan retorika pemerintahan, tetapi harus benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata.

Lembaga legislatif baru menjalankan sebagian dari upaya mewujudkan masyarakat berdasarkan Pancasila, itupun seringkali dalam bahasa yang abstrak dan umum. Namun, melalui putusan pengadilan, segala sesuatunya menjadi lebih jelas dan konkret. Satjipto juga menambahkan bahwa dalam pengadilan terjadi perjuangan untuk mewujudkan ideologi, sehingga pengadilan dan hakim tidak hanya menjalankan undang-undang, tetapi lebih jauh lagi, mereka berperan dalam mewujudkan ideologi menjadi kenyataan.

Dalam konteks ini, hakim juga berpolitik dan menjadi pejuang ideologi, karena melalui putusannya ia menjadikan gagasan ideologis sebagai kenyataan. Kekuasaan kehakiman setelah Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam Bab IX, dengan Pasal 24 Ayat (1) yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,” serta Ayat (2) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta oleh Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan mengenai kemandirian peradilan dijabarkan dalam Pasal 31 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 31 UUKK berbunyi, “Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang,” sedangkan Pasal 33 UUKK berbunyi, “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.”

Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU KK di atas, kebebasan atau kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman – yaitu Mahkamah Agung (MA) beserta badan-badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi – untuk menyelenggarakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Kebebasan institusional tersebut juga tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

Sebagai pejabat yang menjalankan kekuasaan kehakiman (Pasal 31 UUKK), hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 33 UUKK). Kemandirian ini bersifat individual, sehingga seorang ketua pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani suatu perkara. Hal ini menunjukkan bahwa badan-badan peradilan, baik di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, hanya dapat melaksanakan kewenangannya melalui para hakimnya.

Dengan demikian, badan peradilan sebagai institusi dipersonifikasikan oleh hakim sebagai pemegang jabatan, sehingga kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945 juga memberikan kebebasan dan independensi kepada hakim dalam menjalankan tugasnya.

Oleh karena itu, jaminan atas kemandirian peradilan merupakan hak sekaligus kewenangan konstitusional bagi seorang hakim. Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemandirian kekuasaan kehakiman tidak akan terwujud. Sebaliknya, segala bentuk ketergantungan atau keterikatan institusi badan-badan peradilan pasti akan mengurangi kebebasan dan independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Pembahasan

A. Pembangunan Hukum Nasional sebagai Alasan Mengapa Hakim Harus Berpolitik Melalui Putusannya

Sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, hukum positif yang berlaku (ius constitutum) tidak hanya berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif berdasarkan UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945.

Namun, Indonesia juga masih menggunakan peraturan perundang-undangan warisan kolonial Belanda, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada tetap berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1946 jo. UU No. 73 Tahun 1958 juga memperkuat keberadaan hukum warisan kolonial sebagai hukum positif Indonesia.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah Indonesia sudah memiliki hukum nasional? Di kalangan pakar hukum, pendapat mengenai hal ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang berpendapat bahwa Indonesia belum memiliki hukum nasional. Argumennya adalah bahwa hukum nasional baru dapat terwujud apabila seluruh perundang-undangan dibuat oleh lembaga legislatif Indonesia, tanpa ada warisan dari zaman kolonial. Selama masih ada peraturan perundang-undangan kolonial yang berlaku, Indonesia belum sepenuhnya memiliki hukum nasional.

Sebaliknya, ada juga yang berpendapat bahwa Indonesia telah memiliki hukum nasional, meskipun sebagian besar peraturan perundang-undangannya masih berasal dari zaman kolonial. Menurut pandangan ini, hukum nasional tidak harus terbebas sepenuhnya dari warisan kolonial, selama hukum tersebut berlaku sah dan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi bangsa.

Dalam konteks pembangunan hukum nasional, peran hakim menjadi sentral. Hakim tidak hanya bertugas menegakkan undang-undang, tetapi juga berperan aktif dalam proses politik hukum. Melalui putusan-putusan yang dihasilkan, hakim membantu memperjuangkan dan membentuk hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian, hakim, melalui putusannya, secara tidak langsung terlibat dalam politik hukum yang bertujuan membangun tatanan hukum nasional yang lebih sesuai dengan karakter dan kebutuhan bangsa Indonesia.

Putusan hakim sering kali tidak hanya sekadar penafsiran hukum yang ada, tetapi juga menjadi instrumen untuk mengatasi kekosongan hukum atau ketidaksesuaian hukum warisan kolonial dengan nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu, hakim di Indonesia dapat dikatakan “berpolitik” melalui putusannya, dengan mewujudkan nilai-nilai ideologis bangsa dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan hukum nasional. Hakim harus mempertimbangkan dinamika sosial, politik, dan ideologi yang berkembang di masyarakat saat mengambil keputusan, sehingga hukum nasional yang terbangun benar-benar mencerminkan identitas bangsa Indonesia.

– Sifat dari peraturan perundang-undangan kolonial maupun yang dibuat oleh pembentuk undang-undang Indonesia pada dasarnya bersifat pasif. Peraturan tersebut tidak dapat aktif berlaku secara otomatis, melainkan memerlukan suatu peristiwa atau kasus untuk diterapkan. Pelaksanaan hukum tersebut, pada akhirnya, diwujudkan melalui proses peradilan di pengadilan.

– Terlepas dari perbedaan pandangan tentang apakah Indonesia telah memiliki hukum nasional atau belum, faktanya hingga saat ini hukum nasional masih menjadi cita-cita yang terus diperjuangkan. Cita-cita ini dikristalisasikan dalam tujuan negara, dasar negara, dan cita hukum (rechtsidee) nasional. Namun, cita-cita tersebut belum sepenuhnya terealisasi.

Menurut Mahfud MD, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya sistem hukum nasional yang menjadi kerangka politik hukum nasional. Sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem yang berlaku di seluruh Indonesia, mencakup semua unsur hukum seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-undangan, dan sub-sub unsur lainnya yang saling bergantung. Semua unsur tersebut harus bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.

Sayangnya, hingga saat ini, baik Presiden maupun DPR belum menunjukkan kehendak politik (political will) yang kuat untuk membentuk suatu Sistem Hukum Nasional (SHN) yang berbasis Pancasila. Akibatnya, kondisi ini berdampak serius terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada umumnya, dan kekuasaan kehakiman (pengadilan) pada khususnya.

Krisis penegakan hukum tersebut menimbulkan kontroversi, terutama karena peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih ditegakkan cenderung menonjolkan paham individualisme, liberalisme, dan hak-hak individu. Pandangan tersebut bertentangan dengan cara pandang masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan kolektivisme dan kepentingan bersama.

Dalam konteks ini, tim S3 PPNT membatasi pembahasan pada pelaksanaan penegakan hukum oleh kekuasaan kehakiman (pengadilan) karena lembaga ini merupakan benteng terakhir (the last resort) bagi pencari keadilan (justiciable). Selama ini, pembaruan hukum nasional sering kali dibiarkan berkembang secara alami, termasuk dalam praktik peradilan. Salah satu aspek penting dari perkembangan ini adalah penemuan hukum oleh hakim.

Hakim melakukan penemuan hukum dengan menggali sumber-sumber hukum tidak tertulis, seperti kebiasaan masyarakat Indonesia, dalam proses penyelesaian kasus-kasus konkret. Penemuan hukum ini kemudian dituangkan dalam bentuk putusan. Apabila putusan ini diikuti secara konsisten oleh hakim-hakim lainnya, maka ia akan berkembang menjadi yurisprudensi.

Yurisprudensi memiliki kekuatan yang setara dengan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, meskipun ada perbedaan dalam sifat mengikatnya. Menurut Soedikno Mertodikusumo, yurisprudensi hanya mengikat orang-orang tertentu terkait dengan kasus tertentu, sedangkan undang-undang bersifat abstrak dan mengikat semua orang.

Berdasarkan uraian di atas, yurisprudensi dapat dianggap sebagai salah satu variabel penting dalam mewujudkan tujuan negara, dasar negara, dan cita hukum (rechtsidee) nasional. Melalui yurisprudensi, hukum yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia dapat terus berkembang dan berperan dalam pembangunan hukum nasional.

B. Cakupan Politik Hakim Melalui Putusannya

Tujuan negara Indonesia secara eksplisit diuraikan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang mencakup:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Memajukan kesejahteraan umum.

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan negara tersebut harus dicapai oleh negara sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia, dengan penyelenggaraannya yang berlandaskan Pancasila. Pancasila terdiri dari lima dasar utama: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Selain berfungsi sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) bagi Republik Indonesia, sila-sila Pancasila juga merupakan cita hukum (rechtsidee) bagi rakyat Indonesia. Menurut Hamid S. Attamimi, sistem hukum Indonesia, baik dalam proses pembentukan, penerapan, maupun penegakannya, tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan cita hukum yang bersifat konstitutif dan regulatif, serta menjadi norma tertinggi yang menentukan keabsahan (legitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik Indonesia.

Hukum berperan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound yang melihat hukum sebagai sarana rekayasa atau pembaruan sosial (law as a tool of social engineering). Dalam konteks ini, terdapat hubungan yang erat antara cita hukum (rechtsidee) nasional dan politik hukum melalui putusan hakim. Cita hukum nasional (hukum Pancasila) bukan hanya kumpulan peraturan atau asas yang dibuat oleh lembaga berwenang seperti Presiden dan DPR, tetapi juga diwujudkan secara nyata melalui putusan pengadilan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, lembaga peradilan memiliki kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia. Lembaga ini melengkapi hukum tertulis melalui proses pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan kata lain, hakim dalam sistem hukum Indonesia memiliki fungsi untuk membuat hukum baru (creation of new law).

Dari pemahaman ini, cakupan politik hakim terbatas pada penegakan hukum di lapangan melalui putusannya. Politik hukum dalam putusan hakim, sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD, adalah kebijakan hukum yang ditetapkan melalui pembuatan hukum baru atau penggantian hukum lama untuk mencapai tujuan negara.

Menurut Sudikno Mertodikusumo, putusan hakim adalah pernyataan resmi yang diucapkan dalam persidangan, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak-pihak yang berperkara.

Dengan demikian, politik hukum dalam putusan hakim merupakan panduan resmi tentang penemuan dan pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim. Proses ini melibatkan pencarian dasar-dasar dan asas-asas yang menjadi landasan dalam memutuskan suatu perkara, sehingga putusan tersebut mencerminkan keadilan yang sesuai dengan perasaan bangsa dan rakyat Indonesia.

C. Politik Hukum dalam Putusan Hakim

Menurut Hans Kelsen, putusan pengadilan adalah suatu tindakan penerapan norma umum sekaligus pembentukan norma khusus. Norma khusus tersebut tidak hanya mengikat kasus yang ditangani, tetapi juga dapat melahirkan norma umum yang dapat diaplikasikan pada kasus-kasus serupa di masa mendatang. Artinya, putusan pengadilan memiliki potensi untuk menciptakan norma umum yang mengikat untuk perkara-perkara lain yang sejenis.

Putusan pengadilan tidak hanya berfungsi sebagai penyelesaian untuk kasus tertentu, tetapi juga bisa menjadi yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi keputusan-keputusan di masa depan pada kasus-kasus yang serupa. Namun, karakter yurisprudensi ini hanya berlaku jika pengadilan tidak semata-mata menerapkan norma umum dari hukum substantif yang sudah ada, tetapi berperan dalam membuat peraturan baru.

Dalam konteks ini, putusan badan peradilan dapat dianggap sebagai norma yang ditujukan pada peristiwa konkrit, yang dikenal sebagai norma khusus. Norma khusus ini merupakan penerapan sekaligus pembentukan hukum yang didasarkan pada norma umum, seperti undang-undang dan kebiasaan. Norma umum sendiri bersandar pada norma dasar yang berwujud konstitusi, sementara norma dasar ini bergantung pada grundnorm, sebagaimana diuraikan oleh Hans Kelsen, yang bersifat metayuridis atau hukum alam (natural law) menurut K.C. Wheare.

Dengan karakter yurisprudensinya, kedudukan putusan hakim dalam sistem hukum memiliki kekuatan yang setara dengan undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Putusan hakim bukan hanya bentuk penerapan hukum, tetapi juga berkontribusi dalam proses pembentukan hukum, sehingga turut memperkuat kerangka hukum nasional.

Barda Nawawi Arief menyebut Pancasila sebagai “kearifan/kegeniusan nasional” yang mengandung tiga pilar utama: pilar ketuhanan (religius), pilar kemanusiaan (humanistik), dan pilar kemasyarakatan (demokratik, kerakyatan, dan keadilan sosial).

Nilai-nilai ini menjadi paradigma yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia, termasuk oleh hakim melalui putusannya. Personifikasi politik hukum dalam putusan hakim terlihat dalam dua aspek utama:

1. Penentuan alasan pembenar dari suatu putusan.

2. Penentuan muatan keadilan yang terkandung dalam putusan.

Menurut J. Djohansjah, penentuan alasan pembenar berkaitan erat dengan cita hukum Pancasila, yang berfungsi secara konstitutif dalam pembentukan hukum. Dalam konteks ini, hakim yang independen harus rasional saat menjatuhkan putusan. Rasionalitas putusan hakim ditentukan oleh penalaran yang runtut dan sistematis, berdasarkan logika hukum yang jelas. Fungsi konstitutif inilah yang menentukan validitas (keabsahan) suatu putusan secara legal-formal.

Oleh karena fungsi konstitutif ini berhubungan dengan cita hukum, seorang hakim tidak hanya boleh mendasarkan putusannya pada sistem norma hukum yang tertinggi pada staatsfundamentalnorm (norma dasar negara), tetapi juga harus menyentuh keseluruhan sistem hukum yang berpuncak pada cita hukum Pancasila. Dengan demikian, putusan yang dihasilkan tidak hanya memenuhi aspek formal legal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila.

Selain itu, Djohansjah juga menyatakan bahwa dalam penentuan muatan keadilan dalam putusan, terdapat pertemuan antara kewajiban hakim untuk menghasilkan putusan yang berdasarkan nilai-nilai keadilan yang diyakini secara moral dan kewajiban untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum yang logis dan rasional.

Dalam konteks inilah independensi kekuasaan kehakiman harus mencakup dimensi moral dan rasionalitas secara bersamaan, sehingga keadilan yang ditegakkan dapat mencerminkan cita hukum yang mendasari sistem hukum nasional.

Mengingat begitu pentingnya putusan pengadilan di atas, maka hendaknya garis resmi yang harus dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak, setidak-tidaknya mengacu kepada empat kaidah penuntun, yaitu:

1. Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih disintegrasi.

2. Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan kuat.

3. Hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara hukum).

4. Hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apa pun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan dan keberadaban.

Sebagai contoh politik hukum dalam putusan hakim, dapat dilihat pada beberapa putusan sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-083/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang judicial review terhadap Undang-undang Sumber Daya Air (UUSDA). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UUSDA tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun putusan ini memiliki sifat conditionally constitusional atau konstitusional bersyarat, yang berarti pelaksanaan UUSDA tidak boleh ditafsirkan lain seperti yang dikehendaki oleh MK dalam pertimbangan putusannya.

2. Putusan PTUN Jakarta dalam kasus majalah Tempo. Majelis Hakim PTUN Jakarta memenangkan majalah tersebut. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia harus bersumber pada peraturan yang lebih tinggi.

Dengan demikian Majelis hakim berwenang mengesampingkan sebuah peraturan yang dinilainya bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Majelis mempertimbangkan bahwa penerbitan pers akan dilarang, bila bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya bertolak dari paham komunisme.

3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam kasus Kedung Ombo. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menganggap perlu mendefinisikan kembali arti ”musyawarah mufakat” terhadap pelaksanaan pembebasan tanah untuk proyek irigasi Kedung Ombo yang termuat dalam pasal-pasal kesepakatan tentang ganti rugi berdasarkan musyawarah antara Pemerintah Daerah Jawa Tengah dengan warga.

Majelis Hakim Agung menolak pengakuan dan bukti berupa foto musyawarah dan mufakat antara warga dengan muspida, Kepala Kejaksanaan Negeri, Kepala Polres, Komandan Kodim yang diajukan oleh Tergugat (Pemerintah Daerah Jawa Tengah). Majelis Hakim Agung menyatakan hal demikian tidak mencerminkan keadilan kebenaran materiil.
Selain itu, bukti foto yang diajukan, tidak mencerminkan keadilan kebenaran materiil, dan tidak merupakan pembuktian tentang penyelesaian secara musyawarah dan kata sepakat karena hanya merupakan momentum opname, serta tidak membuktikan pelaksanaan pembebasan tanah secara musyawarah dan mufakat.
Kehadiran muspida, Kepala Kejaksanaan Negeri, Kepala Polres, Komandan Kodim mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap pelaksanaan pembebasan tanah untuk proyek irigasi Kedung Ombo berdasarkan musyawarah dan mufakat.

D. Karakter Produk Putusan Berdasarkan Politik Hukum yang Dilaksanakan Hakim Secara umum sistem hukum yang berlaku di belahan dunia meliputi, sistem hukum eropa kontinental (civil law), sistem hukum anglo saxon (common law), sistem hukum sosialis (sosialist legal) dan sistem hukum yang berlaku di negara-negara islam (islamic legal).

Mengingat pentingnya putusan pengadilan, hakim hendaknya menjadikan garis resmi sebagai dasar pertimbangan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Minimal, terdapat empat kaidah penuntun yang harus diacu:

1. Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa, sehingga tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih disintegrasi.

2. Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan memberikan perlindungan khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan kuat.

3. Hukum harus dibangun secara demokratis, serta sejalan dengan nomokrasi (negara hukum).

4. Hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apa pun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama yang didasarkan pada kemanusiaan dan keberadaban.

Sebagai contoh politik hukum dalam putusan hakim, beberapa putusan berikut dapat dijadikan acuan:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-083/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 terkait judicial review terhadap Undang-undang Sumber Daya Air (UUSDA). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UUSDA tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun keputusan ini bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat), yang berarti pelaksanaan UUSDA harus dilakukan sesuai dengan pertimbangan yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Putusan PTUN Jakarta dalam kasus majalah Tempo. Dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta memenangkan majalah tersebut. Pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip negara hukum, setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia harus bersumber pada peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, Majelis Hakim berwenang untuk mengesampingkan peraturan yang dinilai bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, termasuk larangan penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila, seperti paham komunisme.

3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam kasus Kedung Ombo. Majelis Hakim mempertimbangkan perlu adanya redefinisi mengenai arti “musyawarah mufakat” dalam pelaksanaan pembebasan tanah untuk proyek irigasi Kedung Ombo. Majelis Hakim Agung menolak pengakuan dan bukti berupa foto musyawarah yang diajukan oleh Tergugat (Pemerintah Daerah Jawa Tengah), menyatakan bahwa hal tersebut tidak mencerminkan keadilan materiil. Bukti foto yang disampaikan dianggap tidak mencerminkan kebenaran materiil dan tidak memenuhi pembuktian tentang penyelesaian secara musyawarah, karena hanya merupakan momen opname tanpa bukti nyata mengenai pelaksanaan pembebasan tanah.

Secara umum, sistem hukum yang berlaku di belahan dunia terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

1. Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law), yang mengutamakan kodifikasi dan sistem hukum tertulis.

2. Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common Law), yang lebih mengandalkan preseden dan keputusan pengadilan sebelumnya.

3. Sistem Hukum Sosialis (Socialist Legal), yang mengedepankan kepentingan kolektif dan negara.

4. Sistem Hukum yang berlaku di Negara-negara Islam (Islamic Legal), yang berlandaskan pada syariat Islam dan prinsip-prinsip hukum Islam.

Dalam tulisan ini, fokus akan diberikan pada dua sistem hukum yang memiliki pengaruh signifikan terhadap sistem peradilan di Indonesia, yaitu sistem hukum civil law dan common law.

1. Sistem Hukum Civil Law

Sistem hukum Eropa kontinental (civil law) menekankan peranan hakim yang tidak mandiri dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang sesungguhnya. Dalam sistem ini, hakim berfungsi sebagai penyambung lidah atau corong undang-undang (la bouche de la loi), yang berarti bahwa hakim tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah atau mengurangi kekuatan hukum undang-undang. Dengan kata lain, keadilan dalam sistem civil law bersumber sepenuhnya dari undang-undang.

Karena itu, hakim tidak mandiri dalam menafsirkan hukum; mereka harus mendasarkan penilaian pada peraturan perundang-undangan di luar diri mereka. Penilaian hukum oleh hakim dalam konteks ini disebut sebagai penemuan hukum heteronom. Dalam sistem ini, stabilitas hukum sangat dijunjung tinggi, namun seringkali mengesampingkan dinamika perubahan masyarakat yang cepat.

2. Sistem Hukum Common Law

Di sisi lain, sistem hukum Anglo-Saxon (common law) memberikan kedudukan yang lebih mandiri bagi hakim. Dalam sistem ini, hakim tidak terikat secara kaku dengan undang-undang, melainkan memiliki kebebasan untuk melakukan penilaian secara mandiri terhadap peraturan perundang-undangan, menyesuaikannya dengan kebutuhan hukum yang ada. Dengan demikian, keadilan dalam sistem common law lebih bergantung pada pandangan dan penilaian hakim itu sendiri.

Penilaian hukum dalam sistem ini dikenal sebagai penemuan hukum otonom, di mana hakim berupaya untuk mempertimbangkan aspek-aspek yang relevan dari kasus yang dihadapi, berdasarkan faktor dalam diri mereka. Meskipun demikian, sistem common law juga menganut asas the binding force of precedent, di mana hakim terikat pada putusan-putusan hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan untuk perkara yang sejenis. Hal ini menciptakan konsistensi dan kepastian hukum, meskipun dengan pendekatan yang lebih fleksibel dibandingkan civil law.

Perbandingan antara sistem hukum civil law dan common law menunjukkan dua pendekatan yang berbeda dalam penegakan hukum dan peran hakim. Sementara sistem civil law mengutamakan kepatuhan terhadap undang-undang, sistem common law memberi ruang bagi hakim untuk menafsirkan dan menyesuaikan hukum dengan realitas yang ada. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan pemahaman yang baik mengenai kedua sistem ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan sistem peradilan di Indonesia.

Peran Penemuan Hukum dalam Sistem Peradilan Indonesia: Adopsi Elemen Heteronom dan Otonom

Dengan demikian, sistem hukum Anglo-Saxon (common law) juga menganut penemuan hukum yang bersifat heteronom. Karakteristik dari kedua sistem hukum tersebut, dalam hal penemuan hukum yang bersifat otonom dan heteronom, ternyata diadopsi oleh sistem peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bunyi ketentuan Pasal 5 Angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa hakim dalam menyelenggarakan peradilan dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya, yang tidak hanya terbatas pada perundang-undangan saja, tetapi juga pada nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim harus mampu mengintegrasikan variabel undang-undang yang bertujuan untuk menciptakan kepastian dalam berhukum, dengan variabel nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan hukum.

Perpaduan antara kepastian hukum dan keadilan inilah yang harus menjadi dasar pandangan hakim dalam menyelenggarakan peradilan terhadap peristiwa hukum konkret. Pandangan hakim yang demikian dapat dikatakan sebagai penemuan hukum Pancasila yang bersifat heteronom.

Penemuan hukum Pancasila yang heteronom dapat dimaknai sebagai penyelesaian suatu perkara oleh hakim dengan menerapkan hukum berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan cara ini, putusan hakim dapat mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Hal ini menciptakan suatu sinergi antara hukum positif yang ada dengan nilai-nilai moral dan etika yang hidup dalam masyarakat, sehingga keputusan yang diambil tidak hanya berorientasi pada kepastian hukum, tetapi juga pada keadilan yang lebih substantif.

Dengan demikian, hukum di sini tidak sekadar dipahami hanya sebagai undang-undang, melainkan juga sebagai nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Atau dengan kata lain, penemuan hukum Pancasila yang heteronom adalah seni menyelesaikan suatu perkara oleh hakim dengan cara menafsirkan undang-undang dan mencari dasar serta asas-asas “kearifan/kegeniusan nasional” (national wisdom/national genius) sebagai landasan putusannya.

Penemuan hukum Pancasila yang bersifat heteronom ini, jika terus menerus diikuti oleh hakim-hakim lainnya, akan meningkat kedudukannya menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum di mana hukum itu dapat ditemukan dan digali oleh hakim. Dalam konteks ini, pandangan hakim yang mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam putusannya dapat dikatakan sebagai penemuan hukum Pancasila yang otonom.

Penemuan hukum oleh hakim lazimnya disebut sebagai rechtsvinding, yang diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim dalam mengkonkritkan dan mengindividualisasikan peraturan hukum yang bersifat umum dengan peristiwa konkret. Dalam penemuan hukum ini, dikenal dua aliran, yaitu aliran progresif dan aliran konservatif.

Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk melakukan perubahan sosial, yang menekankan pentingnya fleksibilitas hukum dalam merespons dinamika masyarakat. Sebaliknya, aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanya berfungsi untuk mencegah kemerosotan moral dan menjaga stabilitas sosial.

Dalam konteks peran hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, penting untuk mempertimbangkan aliran mana yang lebih tepat diadopsi. Aliran progresif menawarkan pendekatan yang adaptif dan responsif terhadap perubahan kebutuhan masyarakat, sementara aliran konservatif menekankan perlunya menjaga tradisi dan stabilitas hukum.

Menurut penulis, perpaduan dari kedua aliran hukum—progresif dan konservatif—adalah pendekatan yang tepat digunakan oleh hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara. Hukum dan peradilan seharusnya berfungsi sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial yang positif, sekaligus bertujuan untuk mencegah kemerosotan moral di dalam masyarakat.

Selain itu, penegakan dan pelaksanaan hukum tidak hanya sekadar menerapkan undang-undang belaka, tetapi juga merupakan proses menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim seharusnya berada dalam konteks keindonesiaan, di mana Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup yang dipegang oleh masyarakat Indonesia.

Penemuan hukum oleh hakim tidak dapat dipisahkan dari penalaran hukum yang digunakannya. Proses penemuan hukum merupakan manifestasi dari cara hakim berpikir dan mengambil keputusan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dalam konteks pembentukan dan pengembangan hukum nasional, penalaran hukum yang ideal adalah penalaran yang selaras dengan konteks keindonesiaan.

Sidharta menawarkan sebuah model penalaran hukum yang harus memenuhi beberapa syarat penting sebagai berikut:

1. Aspek Ontologis: Dalam aspek ini, hukum diartikan sebagai norma-norma positif yang terdapat dalam sistem perundang-undangan. Pemaknaan ini dianggap paling mudah dikenali secara eksplisit dan memenuhi kebutuhan mendesak akan kepastian hukum. Namun, kelemahan dari pemaknaan hukum yang kaku ini harus diatasi melalui proses pembentukan norma dan evaluasi penerapannya, yang melibatkan aspek epistemologis dan aksiologis.

2. Aspek Epistemologis: Dalam aspek ini, penalaran tidak hanya berfokus pada penerapan norma positif terhadap kasus konkret, tetapi juga pada proses pembentukannya. Pola penalaran pada tahap pembentukan bergerak secara simultan dari dimensi intuitif dan empiris. Melalui pola ini, cita hukum Pancasila dapat diaktualisasikan dalam konteks keindonesiaan saat ini. Dalam proses seleksi, sebagian norma positif diformulasikan menjadi norma yang sah dalam sistem perundang-undangan. Norma positif tersebut kemudian diterapkan dengan pendekatan doktrinal deduktif terhadap peristiwa konkret. Pada tahap ini, gerakan simultan terjadi dalam konteks penemuan (context of discovery), dan pada tahap berikutnya, penalaran berada dalam konteks pembenaran (context of justification).

3. Aspek Aksiologis: Aspek ini mengarah pada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti oleh kepastian hukum. Dua nilai yang pertama kali disebutkan menjadi tujuan dalam proses pencarian (context of discovery), sementara kepastian hukum menjadi tujuan dalam konteks penerapannya (context of justification).

Untuk mencapai dan mewujudkan cita-cita penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui peran dan fungsi peradilan, serta dalam konteks kebebasan hakim yang bersifat terbatas, para hakim dalam menyelenggarakan fungsi peradilan sebaiknya bertindak berdasarkan patokan-patokan sebagai berikut:

1. Mengunggulkan Undang-Undang: Hakim harus menjadikan undang-undang sebagai pedoman utama (statute law must prevail), sepanjang ketentuan undang-undang yang diterapkan dalam suatu kasus memiliki rumusan dan pengertian yang jelas (clear meaning atau plain meaning), tidak ambigu (ill defined), tidak bertentangan dengan kepentingan umum, serta tidak menimbulkan akibat yang tidak adil (ill effected atau unfair result).

2. Mengunggulkan Kelayakan dan Keadilan: Hakim harus mengutamakan prinsip keadilan (equity must prevail) jika ketentuan suatu pasal undang-undang atau hukum adat bertentangan dengan kepentingan umum, kesadaran umum, HAM, dan nilai-nilai moral. Dalam hal ini, hakim memiliki kemerdekaan untuk menerapkan nilai-nilai keadilan dan kepatutan berdasarkan asas equity must prevail, dengan mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan (human values), nilai-nilai peradaban (civilization values), dan nilai-nilai kepatutan (reasonable values).

3. Mengunggulkan Yurisprudensi: Hakim bebas untuk mengedepankan yurisprudensi (Jurisprudence Must Prevail) apabila suatu pasal undang-undang atau hukum adat bertentangan dengan kepentingan umum atau dapat menimbulkan akibat yang tidak adil (ill effected/unfair result). Dalam situasi ini, hakim memiliki kewenangan untuk melakukan overrule (penyimpangan) dari ketentuan pasal undang-undang yang bersangkutan, dengan pertimbangan yang matang dan luas yang menjelaskan bahwa yurisprudensi lebih sesuai daripada ketentuan yang ada.

4. Penafsiran Ketentuan Hukum: Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan penafsiran terhadap ketentuan hukum jika rumusan ketentuan tersebut tidak jelas (unclear meaning), mengandung ambiguitas (ambiguity), tidak sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai (ill considered), atau memiliki rumusan yang kabur (vague outline) dan sukar dipahami. Dengan menggunakan metode penafsiran yang dianggap tepat, hakim dapat menemukan arti hukum yang terkandung dalam rumusan, menguraikan pandangan hukum yang terdapat dalam ketentuan undang-undang, serta melakukan konstruksi hukum, merasionalkan, dan mengaktualisasikan makna hukum.

Kesimpulan

Sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, hakim memiliki tanggung jawab utama untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui putusannya. Dalam konteks ini, putusan hakim dapat dianggap sebagai mahkota bagi hakim yang berhubungan langsung dengan tugasnya dalam memutus perkara.

Pertimbangan hukum dalam putusan merupakan bagian yang paling penting karena memuat pernyataan hakim tentang hukum yang akan diberlakukan dalam proses pemeriksaan, pemutusan, dan penyelesaian suatu perkara atau sengketa yang dihadapkan kepadanya. Pernyataan tersebut dihasilkan melalui proses menafsirkan hukum serta mencari dasar-dasar dan asas-asas yang menjadi landasan putusannya. Proses ini lazimnya dikenal dengan istilah penemuan hukum (rechtsvinding).

Penemuan hukum oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari penalaran hukum yang digunakannya. Penalaran hukum hakim dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar dirinya, tidak hanya terbatas pada perundang-undangan, tetapi juga mencakup nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Variabel undang-undang bertujuan untuk membentuk kepastian dalam berhukum, sedangkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan bertujuan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan hukum.

Perpaduan antara kepastian hukum dan keadilan inilah yang seharusnya menjadi dasar pandangan hakim dalam menyelenggarakan peradilan terhadap peristiwa hukum konkret. Pelaksanaan fungsi penegakan hukum dan keadilan, serta fungsi penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim, haruslah mengacu kepada Pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara. Dengan demikian, keputusan hakim akan mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.

Inilah yang dimaksudkan sebagai politik hukum dalam putusan hakim. Dengan memperhatikan Pancasila dan UUD 1945, diharapkan putusan hakim tidak hanya menjadi sebuah keputusan hukum semata, tetapi juga mencerminkan keadilan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

1. Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Siologis). Jakarta: Gunung Agung, 2002. Apeldorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975. Arief, Barda Nawawi.
2. Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008 tentang UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional, Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011. —.
3. Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakkan Hukum (Pidana) di Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011.
4. Attamimi, Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Jakarta: Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1990.
5. Djohansjah, J. Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Kesiant Blanc, 2008. Fachruddin, Irfan. Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah. Bandung: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003. Kelsen, Hans.
6. Teori Umum tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and State). Bandung: Nusamedia, 2006.
7. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. “Hakim Sebagai Pemegang Mandat yang Sah Menerapkan, Menafsirkan, dan Melaksanakan Tegaknya Hukum.”
8. Diskusi Panel Kebebasan Hakim dalam Negara Indonesia yang Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman, 1995.
9. MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. —. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty, 1988. —.
10. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 1999. Pound, Roscoe. An Introduction to the Filosophy of Law. New Heaven: Yale University Press, 1954.

Penulis: Arthur George Hendiriezon Leonard Noija S.HEditor: Red