MJ. Jakarta – Medical War. Inilah postulat masa kini: kita sedang berada dalam sebuah perang panjang melawan dominasi obat-obatan kimia yang tak hanya menjajah tubuh, tetapi juga menyiksa.
Dalam perang ini, sejarah diplomatik, interaksi kebijakan kesehatan domestik, regional, hingga internasional, serta dinamika sosial dan budaya, bersatu untuk membentuk realitas hari ini—realitas yang lahir dari masa lalu.
Sayangnya, dalam pertempuran ini, kita sementara ini kalah. Kita menjadi tawanan virus, obat kimia, dan road map kesehatan global yang tidak selalu berpihak pada kemandirian kita. Kita belum cukup kuat untuk memproduksi vaksin dan jamu sekaligus sebagai jalan keluar yang mandiri.
Dus, kita tak punya kontra skema. Padahal, kita punya Pancasila—ideologi yang seharusnya menjadi roh dari setiap kebijakan publik, termasuk di sektor kesehatan. Ironisnya, kebijakan kesehatan pemerintah kita saat ini masih jauh dari semangat Pancasila.
Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan kebersamaan, seharusnya menjadi landasan utama dalam membentuk kebijakan yang melindungi seluruh rakyat. Namun, apa yang kita lihat sering kali justru kebijakan kesehatan yang mengabaikan prinsip-prinsip tersebut.
Dalam konteks ini, kita harus segera membangun sebuah skema kesehatan baru—skema yang mendasarkan diri pada “daulat kesehatan paripurna.” Ini berarti memperjuangkan kesehatan yang Pancasilais, di mana akses kesehatan yang adil, merata, dan manusiawi menjadi hak setiap warga negara.
“Kesehatan Pancasilais” tidak boleh hanya menjadi jargon politik, melainkan gerakan nyata yang memperjuangkan hak-hak kesehatan rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Alih-alih menjadi sektor yang menegakkan keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan, kebijakan kesehatan kita sering kali tunduk pada kekuatan ekonomi dan politik global yang mendikte langkah kita.
Kemanusiaan yang Terlupakan dalam Layanan Kesehatan!
Sila kedua Pancasila menegaskan pentingnya “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Namun, jika kita melihat kenyataan di lapangan, layanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari prinsip humanisme yang seharusnya dijunjung tinggi.
Banyak pasien, terutama dari golongan miskin dan marginal, sering kali diperlakukan bukan sebagai manusia seutuhnya. Mereka lebih sering dilihat sebagai angka statistik dalam sistem birokrasi yang dingin, tanpa empati.
Susilo (2021), seorang akademisi politik kesehatan, menegaskan, “Kita sedang menyaksikan bagaimana hak asasi manusia dalam bidang kesehatan diabaikan. Kesenjangan pelayanan antara masyarakat kaya dan miskin sangatlah nyata.”
Pernyataan ini menggarisbawahi kondisi tragis yang bertentangan dengan semangat kemanusiaan dalam Pancasila. Dalam konteks kesehatan pancasilais, setiap warga negara harus diperlakukan dengan martabat dan penghargaan penuh, tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi mereka.
Sayangnya, kenyataan di lapangan masih berbicara sebaliknya. BPJS Watch melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 saja, ada 119 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS Kesehatan.
Kasus-kasus ini mencakup pemberian obat yang tidak memadai, penolakan readmisi, hingga kepesertaan yang secara sepihak dinonaktifkan. Situasi ini memperlihatkan bahwa masih ada ketidakadilan dalam akses layanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.
Padahal, pelayanan kesehatan tidak seharusnya hanya berfokus pada penyembuhan fisik. Lebih dari itu, pelayanan kesehatan harus mencerminkan empati, etika, dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Keadilan Sosial dalam Kesehatan: Antara Harapan dan Kenyataan.
Sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” seharusnya menjadi landasan utama dalam kebijakan kesehatan nasional. Namun, prinsip ini sering kali diabaikan, menciptakan ketimpangan yang nyata dalam akses layanan kesehatan.
Daerah-daerah terpencil dan tertinggal kerap tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai, sementara wilayah perkotaan menikmati sarana yang jauh lebih baik. Kesenjangan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan sosial yang diusung oleh Pancasila.
Dalam konsep kesehatan pancasilais, setiap rakyat, tanpa terkecuali, berhak atas pelayanan kesehatan yang setara dan berkualitas. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seharusnya menjadi solusi untuk pemerataan akses layanan kesehatan, tetapi pada kenyataannya, pelaksanaan JKN masih jauh dari harapan.
Berbagai masalah masih terus muncul, mulai dari kurangnya ketersediaan fasilitas medis di daerah-daerah terpencil hingga birokrasi yang lambat dalam menangani keluhan dan kebutuhan pasien.
Arief Afandi (2009), seorang ekonom kesehatan, pernah menyatakan bahwa, “Sistem kesehatan Indonesia gagal memenuhi prinsip keadilan sosial karena distribusi sumber daya yang sangat tidak merata. Banyak daerah yang tidak memiliki akses terhadap layanan medis dasar.” Pernyataan ini menggambarkan realitas yang memprihatinkan. Ketidakadilan dalam distribusi layanan kesehatan ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan.
Mewujudkan Kesehatan yang Pancasilais.
Jika pemerintah serius ingin menerapkan kesehatan pancasilais, maka kebijakan kesehatan harus segera dirombak secara mendasar. Pendekatan yang hanya berfokus pada kuantitas—seperti menambah jumlah rumah sakit dan tenaga medis—tidaklah cukup.
Kita membutuhkan perubahan menyeluruh yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila: menghormati hak asasi manusia, memberikan akses kesehatan yang merata, dan menempatkan kemanusiaan di atas efisiensi ekonomi.
Sudah saatnya kita berhenti memandang kesehatan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan, dan mulai memperlakukannya sebagai hak dasar setiap individu yang tidak dapat ditawar-tawar.
Dalam konteks ini, kesehatan harus menjadi prioritas yang dijamin oleh negara, tanpa diskriminasi terhadap latar belakang sosial-ekonomi. Keadilan dalam akses dan kualitas layanan kesehatan harus diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak.
Seperti yang diungkapkan oleh Bung Karno (1945), “Pancasila adalah landasan untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur.” Prinsip ini mengingatkan kita bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan, termasuk di sektor kesehatan, kita perlu menghidupkan kembali semangat gotong royong, kemanusiaan, dan keadilan sosial dalam setiap kebijakan publik.
Semoga pemerintahan baru segera mengambil langkah TSM—Terstruktur, Sistematis, dan Masif—untuk membangun sistem kesehatan yang benar-benar Pancasilais.












