Pancasila Dan Kurikulum Indonesia Studies

"Pancasila Sebagai Landasan: Mengintegrasikan Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Kurikulum Indonesia Studies"

Pancasila Dan Kurikulum Indonesia Studies

MJ. Jakarta – Di tengah kampanye megah tentang mimpi dan harapan yang digembar-gemborkan oleh Orde Reformasi, kenyataan yang ada justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Alih-alih mewujudkan perubahan yang diimpikan, kita malah terperangkap dalam kondisi faktual yang semakin memprihatinkan.

Masyarakat kini terjebak dalam alienasi dan dehumanisasi, dengan kesenjangan sosial yang semakin melebar, kemiskinan yang merajalela, serta tingkat pengangguran yang terus meningkat.

Utang negara yang menggunung menambah derita, sementara kehancuran lingkungan semakin nyata. Masyarakat berisiko tinggi menghadapi berbagai bahaya, termasuk penyakit menular, pencemaran, banjir, kemacetan, dan polusi udara yang berbahaya. Bahkan, masalah kesehatan seperti HIV/AIDS dan fenomena sosial terkait LGBT semakin menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi.

Fenomena ini bukanlah kebetulan, melainkan kulminasi dari sikap serakah dan munafik yang ditunjukkan oleh para elite, yang sering kali mengabaikan suara dan kebutuhan rakyat.

Kritik terhadap konsekuensi negatif dari orde yang sedang berlangsung mengarahkan kita pada pentingnya studi nusantara, yang mencakup kajian mengenai genealogi pemikiran para pendiri republik.

Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menghancurkan kemunafikan dan kerakusan elite yang berkuasa saat ini. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat lima langkah strategis yang perlu diambil:

1. Mengumpulkan Kembali Gagasan Jenius Para Pendiri Negara

2. Mencari Pengaruh Utama dalam Pemikiran Mereka

3. Mere konstruksi Ulang dan Mengkontekstualkan dengan Riset Sejarah Aktif

4. Menuliskan Ulang dan Menerbitkannya untuk Meningkatkan Hegemoni Literasi

5. Mengintegrasikan ke Dalam Kurikulum Pendidikan menjadikan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah formal, informal, dan non-formal.

Tentu saja, kurikulum ini berkaitan erat dengan tindakan dan aktivitas para pendiri republik yang memiliki signifikansi sosial. Pemahaman terhadap tindakan mereka tidak hanya membantu kita menjelaskan kondisi masyarakat yang sedang dipelajari, tetapi juga memberikan gambaran mengenai implikasi yang muncul di masa kini.

Ketika negara ini “melenceng dan berkhianat” pada dasar-dasar cita-cita dan harapannya, kita harus memiliki alat untuk mengoreksinya. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh para pendiri republik ke dalam kurikulum, kita dapat mengembalikan fokus kita pada tujuan mulia yang menjadi landasan bangsa ini.

Singkatnya, upaya ini merupakan langkah untuk “mempancasilakan kembali” republik kita.

Studi ini akan menjadi peneguh dan pengembang pengetahuan, sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk membentuk kepribadian dan mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, serta intelektual bagi seluruh warganegara.

Dengan demikian, diharapkan bangsa Indonesia dapat menjadi lebih fokus, kritis, konstruktif, dan progresif dalam menghadapi berbagai tantangan.

Keberadaan studi raksasa ini menjadi semakin penting, terutama di tengah zaman yang semakin tidak menentu, di mana kita sering kali merasa kebingungan mengenai arah dan tujuan negara ini.

Dalam kondisi saat ini, kita mungkin bertanya-tanya kepada siapa sebenarnya negara ini membela kepentingan rakyatnya. Seperti pagi yang muncul, kehadirannya kadang terasa ada, namun sering kali kita tidak tahu di mana keberadaannya, bersama siapa, serta siapa sebenarnya yang menjadi guru dan rakyatnya.

Makin ke sini, dinamika ekopolitik di Indonesia menunjukkan sifat yang semakin negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi ini berkontribusi pada terpuruknya keadaan bangsa, di mana kehidupan rakyat semakin sulit. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah berubah menjadi semacam agama dan tradisi yang mengakar, sementara tatanan budaya yang ada hancur akibat kerusakan karakter elite kepemimpinan.

Penyimpangan terhadap Pancasila dan konstitusi asli dalam membangun kehidupan kebangsaan menyebabkan tatanan masyarakat menjadi semakin disharmonis dan disintegratif. Ketidakselarasan ini menciptakan kerenggangan antar elemen masyarakat dan mengikis kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga negara.

Di saat yang bersamaan, kita semakin kehilangan visi dan misi bangsa Indonesia, seperti yang termuat dalam Preambule UUD 1945. Visi dan misi tersebut kini tergantikan oleh agenda presiden yang cenderung liberal dan berpihak pada pasar, yang jauh dari semangat dan cita-cita pendiri bangsa.

Makin ke sini, berbagai upaya yang merusak visi dan misi TNI semakin terasa, sehingga berpotensi melemahkan peran mereka sebagai alat perlindungan negara dan warganegara Indonesia. Fenomena serupa juga terjadi di Polri, di mana lembaga-lembaga hukum kini mengalami distorsi dan degradasi yang mengkhawatirkan.

Di bidang pendidikan, disorientasi yang terjadi sangat mencolok. Awalnya, tujuan pendidikan kita adalah untuk mengaktualkan kebudayaan, mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan demi tegaknya negara Pancasila sebagai mercusuar dunia.

Namun, yang terjadi kini adalah pendidikan kita lebih terfokus pada pengumpulan ijazah semata, dan hanya berfungsi sebagai sarana untuk melamar pekerjaan atau bahkan untuk mencari pasangan.

Akibatnya, menyusun kurikulum Indonesian Studies menjadi seperti upaya yang sia-sia, di mana kita menghibahkan waktu bertahun-tahun untuk merumuskan mentalitas bangsa Indonesia. Berjuta-juta menit kita wakafkan untuk mengembangkan kejeniusan dalam menuliskan teorama psikohermenetika.

Kita juga telah mengorbankan berjuta-juta jam untuk menghasilkan tulisan, riset, dan buku-buku yang mengkaji mental kolonial dan ekopol Pancasila.

Namun, apa yang kita terima saat ini adalah balasan berupa keacuhan pembaca, kecongkakan warganegara, serta kebencian dari elit yang seharusnya menjadi panutan.

Dus, untuk sekolah ini, marilah kita berikan jiwa dan raga demi keberhasilannya. Kita tidak ingin Indonesia menjadi tuli, buta, dan budek dalam menghadapi tantangan zaman.

Sudah saatnya kepariaan ini diakhiri dengan tegas: Merdeka atau mati. Kita harus menang, atau bayi-bayi kembali bereinkarnasi menjadi pemenang yang lantang dan berani.

Tentu saja, ini adalah kerja raksasa yang membutuhkan kolaborasi dan gotong-royong secara simultan. Dengan mengusung program sekolah bertema “Pikiran Jenius Para Pendiri Bangsa,” kita dapat mengembangkan sebuah inisiatif dahsyat yang melibatkan semua pihak. Mari kita mulai dan temukan kembali sumber-sumber tenaga lama yang dapat membawa kita melompat menuju kejayaan masa depan.

Agar semua ini gemilang, tentu saja, kita perlu bersatu dan berkomitmen. Semoga, usaha ini tidak hanya membawa perubahan, tetapi juga menciptakan generasi yang cerdas, tangguh, dan penuh dedikasi untuk bangsa.

Penulis: Yudhie Haryono Presidium Forum NegarawanEditor: Red