MJ. Jakarta – Konsensus kita sebagai bangsa adalah negara Pancasila. Negara yang seharusnya mampu sepenuhnya mengaktualisasikan nilai-nilai periketuhanan, perikemanusiaan, perikesatuan, perikegotong-royongan, dan perikeadilan sosial. Secara ideal, tidak ada ruang bagi komunisme, asosialisme, amoralisme, mayorokrasi-minirokrasi, dan neoliberalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, realitasnya sering kali berbanding terbalik. Para ekonom, politisi, dan pengusaha kita kerap mengatakan bahwa “neoliberalisme adalah solusi dari segala masalah.” Tetapi, apakah kita pernah benar-benar memahami apa pertanyaannya? Karena kenyataannya, kondisi kita semakin menjauh dari klaim dan teori yang mereka gembar-gemborkan. Mereka yang sudah terlalu lama terlibat dalam permainan politik (politiking) tampaknya tidak lagi mampu membedakan antara opini dan kenyataan.
Yang lebih mengejutkan adalah bahwa kejahatan terbesar sebuah rezim bukan hanya terletak pada seberapa besar korupsi yang mereka lakukan atau seberapa hancur negara ini akibatnya. Kejahatan terbesar adalah mewariskan tradisi buruk itu kepada generasi berikutnya—anak-anak mereka dan rezim yang mereka ciptakan kelak. Tradisi ini mengakar dan berpotensi melahirkan generasi yang melegalkan perilaku serupa, memperpanjang rantai perampokan kekayaan negara dan moral bangsa.
Karenanya, perlahan tapi pasti, kerja merumuskan dan membukukan Pancasila dalam wilayah praktis menjadi sebuah keharusan. Ini adalah proyek penting untuk menutup ruang kosong yang telah lama terbuka, terutama sejak era reformasi. Sejak reformasi, tafsir terhadap Pancasila seperti terhenti. Kita berada dalam limbo: tafsir lama sekarat, sementara tafsir baru tak kunjung menguat.
Akibatnya, bangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam) kita, baik saat ini maupun di masa depan, bergerak seperti tarian poco-poco—muter-muter tanpa arah yang jelas, terjebak dalam siklus yang membusuk. Terpuruk. Tidak ada lompatan besar yang melahirkan kemartabatan negara. Tidak ada kejelasan visi, peta jalan, atau haluan yang mampu memberikan arah yang adekuat. Alih-alih menciptakan ketentraman dan kesejahteraan, kondisi ini justru menjauhkan kita dari tujuan-tujuan tersebut. Perlindungan, kecerdasan, dan ketertiban yang menjadi amanat negara seolah terabaikan.
Di mana pun, tidak terlihat adanya tata nilai yang andal, tata kelola yang baik, atau tata sejahtera yang terbangun dengan kokoh. Setiap saat, kapal republik ini seperti dibajak dan dibelokkan arahnya oleh kepentingan pribadi dan kelompok, hingga akhirnya kandas. Kecerdasan publik dilumpuhkan oleh kerumunan dan praktik premanisme politik. Perwakilan rakyat yang bermutu terpinggirkan oleh keterpilihan semu. Sementara itu, supremasi hukum terus-menerus dirusak oleh kerakusan famili kekuasaan.
Jauh hari yang lalu, pengertian tentang demokrasi Pancasila telah disampaikan dengan sangat baik oleh Presiden Soeharto pada 16 Juni 1967. Dalam pandangannya, “Demokrasi Pancasila berarti demokrasi yang menempatkan kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila Pancasila lainnya.” Artinya, dalam menjalankan hak-hak demokrasi, harus selalu ada rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai keyakinan agama masing-masing. Selain itu, demokrasi harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mempersatukan bangsa, dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berakar dari paham kekeluargaan dan gotong royong, bukan gotong-nyolong.
Namun, kini setiap hari kita seolah disuguhi fenomena perampokan yang seolah tidak ada habisnya. Ribuan pejabat yang ditangkap oleh KPK tidak membuat elite-elite baru jera. Aneh, bukan? Di tengah kondisi seperti ini, semangat gotong royong yang sejati seolah tenggelam dalam praktik korupsi yang terus berlanjut.
Proklamator Hatta juga sudah jauh hari menekankan bahwa ekonomi Pancasila memiliki tiga sumber utama, yaitu Islam, sosialisme, dan budaya Indonesia (1969). Ekonomi Pancasila dirumuskan sebagai “ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila, yang bersifat campuran dan hibrida: ekonomi dari, untuk, dan oleh seluruh rakyat.”
Karenanya, pembahasan tentang ekonomi Pancasila harus melalui tiga tahap. Pertama, pembahasan ontologis yang menjawab pertanyaan tentang pondasi atau dasar filosofisnya. Kedua, pembahasan epistemologis, yang berusaha memahami bagaimana konsep ini bekerja dan bagaimana cara kita memahaminya. Ketiga, pembahasan aksiologis yang menilai hasil atau kondisi ideal yang seharusnya dihasilkan dari penerapan ekonomi Pancasila.
Jelas, bukan konglomerasi. Apalagi oligarki. Namun, setiap hari kita disuguhi pola dan sistem yang jahat, rakus, dan semakin menggila. Kemiskinan dan ketimpangan seperti dianggap takdir yang tak terhindarkan. Tanpa malu, mereka terus memupuk harta dan mengintensifkan kapital. Aneh, bukan?
Untuk melawan tradisi kejahatan tersebut, kita harus menerapkan lima logika Pancasila (panca dharma). Pertama, rekonstitusi, untuk mengembalikan tatanan konstitusi yang benar-benar pro-rakyat. Kedua, rekapitalisasi, untuk mengembalikan kontrol atas sumber daya nasional kepada rakyat, bukan segelintir elite. Ketiga, nasionalisasi, yang berarti memastikan kekayaan bangsa dikelola untuk kepentingan bangsa. Keempat, refinansialisasi, untuk menata ulang sistem keuangan agar melayani rakyat dan negara, bukan hanya kepentingan kapital besar. Terakhir, resoverenitas, untuk menegakkan kembali kedaulatan bangsa di atas segalanya.
Inilah cara kita menjadi patriot Pancasila, menegakkan kedaulatan warga dan negara. Kita perlu bergerak bersama, menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya simbol, tapi pedoman nyata dalam kehidupan berbangsa.
Di atas segalanya, kita berharap pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto segera merealisasikan negara Pancasila yang sejati, di mana keadilan sosial dan kedaulatan rakyat benar-benar ditegakkan.












