MJ. Pamulang – Hal yang lebih menarik lagi yang perlu diketahui bahwa masyarakat Betawi merupakan komunitas etnis yang sangat religius. Sebab hampir semua tradisi dan budaya yang diciptakannya selalu bernuansa religi.
Karenanya, sekali lagi, kerjasama penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Betawi ini sangat menguntungkan kedua belah pihak. Pihak pengelola proyek, berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pihak PSB (Pusat Sudi Betawi) dan komunitas etnis masyarakat Betawi juga sangat diuntungkan, karena bahasa dan budayanya dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan baik, sehingga masyarakat Betawi tidak perlu resah lagi akan kehilangan pijakan dasar budaya, bahasa dan ajaran agama Islam.
Bahkan, kini, tradisi mengaji ba’da Maghrib yang dahulu sering dilakukan komunitas etnis masyarakat Betawi, dihidupkan kembali oleh Pemda DKI zaman Anies AR Baswedan. Hal ini memperkuat harapan bahwa tradisi membaca al-qur’an akan terus dilakukan oleh Muslim Betawi dan kemudian mengkaji dan menerapkan dalam tradisi dan kehidupan kesehariannya.
Tradisi tersebut memperkuat sebuah tradisi pengajian yang dilakukan Majlis Ta’lim harian, mingguan bahkan pengajian bulanan yang sejak lama menjadi tradisi Muslim Betawi.
Jadi, boleh dibilang, masyarakat Betawi tidak akan lepas dari al-Qur’an. Mereka akan selalu membaca, mengkaji dan melaksanakan semua ajaran Islam yang diajarkan oleh al-qur’an, terlebih setelah mereka tahu bahwa ada al-qur’an yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Betawi.
Pernah suatu ketika saya informasikan ke ibu-ibu pengajian Majlis Taklim Se Jabodetabek bahwa ada al-Qur’an terjemahan bahasa Betawi, mereka sangat senang dan menunggu untuk segera mendapatkannya.
Bahasa Betawi= Bahasa Melayu Indonesia
Dahulu, sebelum dilakukan penerjemahan al-qur’an ke dalam bahasa daerah dan khususnya Bahasa Betawi, umumnya mereka yang bukan ahli agama atau masyarakat awam, mereka membaca terjemahan yang berbahasa Indonesia. Dan ini mungkin juga hingga kini, sebelum proyek terjemahan al-qur’an ke dalam bahasa Betawi, mereka masih melakukannya.
Kalau begitu, pertanyaan yang mesti dimunculkan adalah, apakah orang Betawi awam akan tetap meneruskan membaca terjemahan al-qur’an berbahasa Indonesia atau terjemahan berbahasa Betawi. Karena hanya mengganti ejaan berbahasa Indonesia menjadi bahasa Betawi. Terlebih jika penerjemahnya ada yang kurang paham suatu istilah Betawi.
Pertanyaan lainnya, Betawi itu merupakan sebuah konsep kultural, bukan teritorial. Secara kultural, yang disebut masyarakat Betawi adalah masyarakat yang berbudaya dan berbahasa Betawi. Cakupannya lebih luas dari hanya sekadar teritorial. Jika secara teritorial, yang disebut Betawi dahulu hanya sebatas wilayah DKI Jakarta saja. Maka secara kultural, yang disebut Betawi adalah masyarakat yang tinggal dan menetap di wilayah Jakarta,Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Kerawang (Jabodetabekwang).
Mereka menetap di daerah yang sudah berakulturasi dengan bahasa dan budaya Sunda. Karenanya, bahasa Betawi mereka, seperti yang disebut Yasmin Shahab, sebagai masyarakat Betawi pinggiran. Berbeda dengan bahasa dan budaya masyarakat Betawi Tengah atau pusat. Masyarkat Betawi Tengah memiliki bahasa dan budaya yang dipengaruhi oleh budaya dan bahasa Melayu dan Arab Islam.
Oleh karena itu, saya menyarankan, terjemahan al-qur’an ke dalam Bahasa Betawi yang halus dan hasil dari akultasi budaya Betawi Melayu Islam. Seperti terjemahan dari kata أنا-أنت, harus diterjemahkan dengan kata (ane dan ente), jangan diterjemahkan jadi kata (elu-gue). Begitu juga kalimat فآن خفتم ألا تعدلوا kalau diterjemahkan dengan _*jike ente khawatir…_* kurang tepat. Karena ada kalimat jama’ أنتم di situ. Mestinya, _*kalo ente semue kawatir_* Proses penterjemahan seperti khawatir Ini malah mediskreditkan bahasa Arab al-qur’an yang sangat sakral dan dihormati.
Jika disepakati begitu, maka terjemahan ini menjadi khazanah tersendiri dalam pelestarian tradisi bahasa dan budaya Betawi. Dan ini pernah saya usulkan dalam acara FGD serupa dahulu. Sesekali boleh memasukan kata atau kalimat saduran bahasa Betawi dari bahasa Jawa, Sunda atau bahasa daerah lain, yang sudah menjadi bahasa Betawi, misalnya, goroh untuk diksi bohong, dan lain sebagainya. Semua itu untuk memperkaya bahasa Betawi yang harus dilestarikan lewat terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Betawi.
Semoga bermanfaat, tidak hanya untuk masyarakat Betawi, juga sebagai salah satu langkah strategis dalam upaya mempertahankan tradisi dan budaya yang telah dibuat oleh masyarakat Betawi sebagai warisan yang luar biasa.