Memenangkan Pancasila

Ironisnya, di negeri kita, isu ini telah diindustrikan dan dikomersialkan dengan prinsip-prinsip pasar neoliberal yang mencekik dan kejam

Memenangkan Pancasila

MJ. Jakarta – Sore yang temaram di kampus UI Depok, aku melangkah menuju perpustakaan, tempat di mana Pratama Nusantara menungguku. Praktisi pertanian dan produsen beras nasional itu, seperti biasa, Selalu begitu kalau bertemu ngopi dan diskusi dengannya. Menyambut ku dengan pertanyaan yang serius, “Bagaimana kabar kabinet dan masa depan paradok pangan kita?”

Pertanyaan itu, tentu, bukan basa-basi. Setiap kali kami bertemu, diskusi kami selalu mengalir dalam topik yang berbobot, khususnya tentang kedaulatan pangan, sebuah isu yang kian relevan dan strategis di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Dalam berbagai kesempatan, termasuk pidato perdananya di hadapan MPR, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya kedaulatan pangan. Bagi beliau, daulat pangan bukan sekadar swasembada, tetapi lebih dari itu—ini adalah soal kemampuan mandiri dalam memproduksi pangan serta hak penuh untuk mengatur sistem pertanian, peternakan, dan perikanan, tanpa terpengaruh subordinasi kekuatan pasar internasional.

Demi mencapai kedaulatan pangan, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah strategis dengan membentuk Kementerian Koordinator Pangan. Kementerian ini mengoordinasikan berbagai kementerian penting, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup.

Targetnya jelas: swasembada pangan menjadi prioritas utama. Dalam upaya ini, Bulog dan Badan Pangan Nasional turut berperan sebagai lembaga kunci yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dengan tugas mulia untuk mengembalikan kedaulatan pangan negeri.

Namun, tak bisa dipungkiri, kedaulatan pangan Indonesia telah lama terganggu. Praktik konglomerasi hitam dan kecenderungan untuk mengandalkan impor menjadi faktor yang melemahkan sektor pangan nasional. Akibatnya, krisis pangan terus menghantui bangsa. Dalam kenyataan sehari-hari, sebagian besar masyarakat merasakan dampaknya melalui kelangkaan pangan.

Hal ini dipicu oleh berbagai penyebab, mulai dari kegagalan panen, distribusi pangan yang tidak merata, hingga dampak perubahan iklim, bencana alam, degradasi lingkungan, konflik sosial, serta monopoli dan oligopoli di sektor pangan. Selain itu, ketegangan global, termasuk perang, juga memperburuk ketahanan pangan kita.

Di tengah tantangan besar dalam sektor pangan, jumlah penduduk yang terus meningkat setiap hari menjadi persoalan yang tak bisa diabaikan. Kenaikan angka kelahiran (natalitas) memperbesar permintaan pangan secara signifikan.

Dengan semakin banyaknya manusia di dunia, volume kebutuhan pangan pun makin tinggi. Sayangnya, pengendalian melalui program Keluarga Berencana (KB) belum berhasil secara signifikan, dan program depopulasi pun tidak diterima sebagai solusi yang sejalan dengan prinsip kedaulatan bangsa.

Lalu, bagaimana solusi terbaiknya? Pertama, harus ada upaya serius untuk menghapus keberadaan mafia pangan yang mengganggu stabilitas pangan nasional. Kedua, pentingnya penerapan big data untuk memantau dan mengelola informasi pangan secara akurat dan efektif.

Ketiga, realisasikan roadmap keberdikarian pangan sebagai arah strategis jangka panjang. Keempat, tingkatkan kualitas produksi pangan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali lahan mati atau lahan non-produktif yang sebelumnya tidak cocok untuk pertanian.

Kelima, sehatkan tata kelola pasar sosial pangan untuk menjamin akses yang adil bagi masyarakat. Keenam, lakukan regenerasi kader-kader pertanian melalui kurikulum yang relevan dan sekolah-sekolah pangan, guna mempersiapkan tenaga ahli di sektor ini. Terakhir, menangkan perang dagang dan pertempuran narasi serta pemikiran.

Saat ini, perang pemikiran, agensi, dan kelembagaan yang melibatkan bangsa harus dihadapi dengan keseriusan tinggi. Ini adalah perang hidup mati bagi negara. Namun, bagi rakyat, perjuangan ini harus dijalani dengan ketabahan dan senyuman. Mereka menghadapi situasi ini tanpa senjata, dengan uang yang terbatas, doa yang terasa tak kunjung terkabul, dan bantuan yang tak kunjung hadir. Modal yang dimiliki rakyat hanya niat baik dan ilmu, meski jumlahnya tak seberapa.

Rakyat perlu menyadari bahwa hidup tak selalu berjalan lurus, tak selalu sesuai keinginan mereka. Setiap belokan, setiap ujian, menyimpan makna. Mereka harus terus melangkah dan percaya bahwa tujuan yang berkah menanti di ujung perjalanan. Walaupun tampak tak ada jalan di depan, rakyat harus terus bergerak, sebab dengan melangkah, mereka sesungguhnya tengah menciptakan jalan itu sendiri.

Masyarakat juga perlu siuman akan kenyataan bahwa hak milik atas tanah, air, dan udara adalah persoalan purba, akar dari konflik abadi di dunia. Kedaulatan pangan adalah isu mendasar yang terus datang tanpa henti. Ironisnya, di negeri kita, isu ini telah diindustrikan dan dikomersialkan dengan prinsip-prinsip pasar neoliberal yang mencekik dan kejam.

Dalam lanskap seperti ini, Presiden Prabowo harus segera melihat bahwa tak ada revolusi tanpa redistribusi aset, tak ada pemilu tanpa redistribusi kapital, dan tak ada pilpres tanpa redistribusi uang. Jika tim ekonomi hasil revolusi, pemilu, dan pilpres tetap stagnan—dengan agensi dan program yang tak berubah—maka rakyat hanya menjadi penonton, menyaksikan drama yang tak memberi solusi bagi nasib mereka.

Dengan tesis itu, mari kita tumpuk semangat dan fokuskan kembali program-program strategis, sembari mengingat bahwa apa yang memang ditakdirkan untuk kita, akan menjadi milik kita. Hidup, pada dasarnya, adalah seni mengelola hati, imajinasi, cita-cita, dan harapan agar berbuah kenyataan.

Pada saat yang sama, kita perlu memiliki kemampuan untuk meneladani, meyakinkan, dan memahami hati serta pikiran orang di sekitar kita. Dengan begitu, kita dapat membangun konsensus yang tulus dan ikhlas. Langkah selanjutnya, dibutuhkan kurikulum geopolitik yang dahsyat agar bangsa ini siap menghadapi dinamika global.

Dengan keyakinan dalam ideologi Pancasila, kita sadar bahwa revolusi yang pernah hilang akan menemukan jalan pulangnya, meski mungkin bukan ke rumah yang sama. Revolusi itu akan mendapat sekutu-sekutu baru dari tempat yang tak disangka-sangka. Wahai rakyat Indonesia, mari kita bersekutu, berbaris dalam kesatuan revolusi Pancasila demi memastikan kemenangan melawan mafia pangan yang selama ini melemahkan kedaulatan kita.

Ingatlah, kekuasaan selalu dipergilirkan. Jangan pernah putus asa! Manfaatkan kekuasaan ini untuk menciptakan kebaikan, keadaban, kebijaksanaan, dan keadilan yang akan menjadi warisan legendaris dalam republik yang berlandaskan Pancasila.

Penulis: Prof. Yudhie Haryono, Presidium Forum NegarawanEditor: Red