MJ. Jakarta – Pusaka kita masih utuh, dua warisan agung: Pancasila dan UUD 1945. Namun, sayangnya, warisan itu kini terlihat compang-camping. Pancasila masih berdiri kokoh sebagai dasar negara, tetapi penafsiran terhadap UUD 1945 seringkali tidak sejalan dengannya.
Akibatnya, lahir kepemimpinan yang sarat dengan janji namun minim realisasi. Presiden dan elite politik kerap menjanjikan kemajuan, tetapi realisasi dari janji tersebut tenggelam dalam lautan defisit.
Ini bukan sekadar cerita, tetapi kenyataan. Nusantara yang subur, kaya raya, dan strategis ini selalu menjadi medan perebutan kekuasaan, baik oleh penduduk asli maupun pendatang. Dalam prosesnya, terciptalah amalgam dan hibridasi budaya, yang kita kenal sebagai “Bhineka Tunggal Ika.”
Keberagaman ini seharusnya menjadi kekuatan, namun kini kita lebih sering menyaksikan fundamentalisme dan konflik yang seolah tiada ujung. Era ini pun menunjukkan pergantian dari ketuhanan menjadi keuangan, di mana nilai-nilai spiritual tergeser oleh kepentingan materi.
Kesalahan dalam kurikulum, pendidikan, dan kepercayaan telah melahirkan banyak pengkhianat di bumi ini. Pengkhianat bukan sekadar mereka yang mengingkari janji, tetapi juga mereka yang merampas hak orang lain melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Para pengkhianat selalu memiliki mentalitas munafik. Kaum munafik ini kerap berpijak pada karakter selingkuh, yang merupakan ciri dari gangguan kepribadian ambang atau Borderline Personality Disorder (BPD).
Gangguan mental ini menyebabkan penderitanya mengalami perubahan suasana hati, emosi, hubungan, dan perilaku yang tidak stabil. Mereka sulit dipercaya dan cenderung meremehkan nilai-nilai kejujuran, sering berbohong, menipu, dan bertindak licik.
Karakter selingkuh ini menumbuhkan perilaku khianat. Pengkhianatan adalah tindakan memutus atau merusak kepercayaan, melanggar kesepakatan, kerja sama, atau janji yang telah terjalin.
Hal ini memicu konflik moral dan psikologis, baik dalam hubungan antarindividu, antar organisasi, maupun antara individu dan organisasi. Pengkhianatan mencederai fondasi kepercayaan yang seharusnya dijaga dalam interaksi sosial dan profesional.
Namun, bentuk pengkhianatan yang paling menjijikkan adalah ketika hal itu dilakukan terhadap negara dan warganya. Selingkuh, khianat, dan munafik terhadap negara merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi dan cita-cita bangsa. Tindakan ini menempatkan pelakunya sebagai penjahat negara, pelaku makar, dan musuh abadi negara (enemy of the state).
Musuh negara adalah mereka yang melakukan kejahatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam) terhadap negara, pemerintahan, dan rakyatnya. Hukuman yang layak bagi mereka adalah hukuman mati, sebagai langkah untuk melindungi keamanan nasional dan mempertahankan kedaulatan bangsa.
Pengkhianatan terhadap negara tidak hanya merusak sistem, tetapi juga mencabut akar kepercayaan dan persatuan yang menjadi landasan berdirinya sebuah bangsa.
Hadirnya musuh negara yang kini justru menguasai posisi elite di negara ini telah menyebabkan bangsa dan negara terbelah. Kita saat ini berada dalam situasi yang penuh dengan volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (VUCA), yang mencakup krisis di lima sektor utama: pangan (food), energi (fuel), keuangan (financial), frekuensi (kendali informasi dan komunikasi), serta kekuatan militer dan hukum (forces of army, forces of law). Krisis 5F ini memperburuk kondisi bangsa, membuat kita semakin rentan terhadap berbagai ancaman internal maupun eksternal.
Di tengah kondisi keterbelahan ini, ironisnya Indonesia tetap kaya akan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Namun, kekayaan ini tidak dirasakan oleh sebagian besar rakyat, yang hingga kini masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan, kepengangguran, dan ketimpangan (3K).
Rakyat yang seharusnya sejahtera justru merasakan getirnya hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan dan kesenjangan yang kian lebar.
Keterbelahan ini membuat kita berada dalam situasi yang sangat rawan. Banyak elite politik dan pejabat publik yang seharusnya mengabdi kepada rakyat justru bermental penjahat. Mereka korup, menerima suap, dan menjual integritas demi keuntungan pribadi.
Akibatnya, elite yang terpilih bukanlah yang menjaga kepentingan rakyat, melainkan yang memperdagangkan kepentingan negara kepada pemodal dan oligarki serakah. Negara dijual, bukan demi kesejahteraan rakyat, tetapi demi memperkaya segelintir orang yang haus kuasa dan kekayaan.
Ketika negara dan demokrasinya dikuasai oleh pemodal dan oligarki serakah, strategi ekopol yang berkembang adalah model pecah belah atau divide et impera. Rakyat disibukkan dengan perselisihan dan perpecahan, sehingga mereka jatuh dan tersingkir dari panggung ekonomi dan politik nasional. Sementara itu, sumber daya alam (SDA) yang seharusnya milik bersama, diam-diam beralih kepemilikan ke tangan segelintir elite.
Epistema keserakahan kini menjadi nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Keserakahan adalah sifat yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. Serakah dan tamak lahir dari kecintaan berlebihan terhadap harta dunia. Namun, kita perlu ingat bahwa serakah bukan hanya sebuah tindakan, melainkan penyakit hati yang bisa menyerang siapa saja, baik kaya maupun miskin.
Ini adalah sikap yang anti-Pancasila, karena di dalamnya melekat ciri-ciri yang bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Kebersamaan. Orang yang serakah menjadi anti-ketuhanan karena mereka menempatkan harta di atas Tuhan.
Mereka anti-kemanusiaan karena tidak peduli dengan sesama, melainkan sibuk menumpuk kekayaan tanpa memedulikan kebutuhan orang lain. Serakah juga merupakan sikap anti-kesemestaan, di mana cinta berlebihan terhadap harta membuat mereka tak peduli dengan keseimbangan alam dan semesta.
Mereka bekerja tanpa kenal waktu, bahkan sampai mengabaikan kesehatan tubuh, terlalu pelit dan iri dalam menggunakan harta untuk orang lain, dan enggan berkontribusi untuk kebaikan bersama. Yang mereka dambakan hanyalah kemewahan dunia, tanpa peduli pada kondisi bangsa.
Alih-alih menjadi negara sejahtera, kita justru semakin terpecah belah. Bukannya mencapai negara yang besar, jaya, dan makmur, yang kita saksikan malah negara paria—negara yang terpinggirkan.
Warganya semakin hari semakin miskin, terbelah oleh konflik internal, lebih suka bergosip dan berselisih daripada bersatu membangun bangsa. Inilah konsekuensi dari dikuasainya negara oleh segelintir pihak yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kesejahteraan rakyat.