MJ. Jakarta – Jadi. Maka, terjadilah. Kita hidup di zaman di mana uang menjadi pusat dari segala sesuatu. Bukan hanya segelintir, tapi hampir seluruh masyarakat kini menyembah uang. Ideologi kita berputar di sekitar uang, politik kita dijalankan demi uang, ekonomi kita dibangun di atas uang, dan budaya kita pun berlomba-lomba untuk mengumpulkan uang.
Pertahanan dan keamanan dijaga demi uang, agama diperalat untuk mengeruk uang, dan para elite tanpa malu-malu melahap uang. Bahkan, dalam keluarga, istri, suami, dan anak-anak kita mabuk oleh pesona uang.
Akibatnya, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi semakin nyata dan tak terbantahkan. Elite kita satu per satu ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dijebloskan ke penjara. Namun, hukuman tidak memberikan efek jera.
Sebaliknya, praktik-praktik perampokan uang negara terus berlanjut dengan cara yang lebih canggih, terstruktur, sistematis, dan masif. Mereka semakin pintar dalam merampok kekayaan publik, melindungi diri di balik sistem yang rapuh.
Padahal, kebijaksanaan kuno telah lama mengingatkan: “Siapa yang mencintai uang tidak akan pernah puas dengannya, dan siapa yang mencintai kekayaan tidak akan pernah merasa cukup dengan memilikinya. Keduanya adalah pola hidup yang sia-sia.
Uang dan harta yang berlimpah-limpah tidak memberi arti pada hidup dan tidak membawa kebahagiaan sejati. Sebaliknya, uang dan kekayaan sering kali membawa manusia pada kepalsuan, kerendahan, dan kebejatan moral.”
Uang kerap disebut sebagai akar dari segala kejahatan. Dalam pengejaran tanpa henti terhadap uang, banyak orang tersesat, menyimpang dari nilai-nilai iman, dan akhirnya terperangkap dalam duka, nestapa, dan penderitaan.
Mereka yang menjadikan uang sebagai tujuan hidup akhirnya mendapati diri mereka terjebak dalam keserakahan dan kehampaan, kehilangan makna sejati dari kehidupan.
Oleh karena itu, janganlah engkau beriman pada keuangan yang dianggap maha kuasa. Haramkan dirimu dari menjalani hidup yang berpusat pada uang, baik dalam niat, perbuatan, maupun tujuan.
Uang hanyalah alat, bukan tujuan, dan menjadikannya pusat kehidupan hanya akan menjerumuskan mu pada kehidupan serendah-rendahnya, seperti mammon—simbol keserakahan dan materialisme.
Inilah era orde dharmafulusia—sebuah kekuasaan yang dibangun atas dasar penyembahan terhadap uang dan dikendalikan oleh para penjahat kaya raya. Ontologi kekuasaan ini sederhana: dari uang, oleh uang, dan untuk uang. Ia adalah bentuk kekuasaan yang kehilangan dharmareligia (keilahian) dan telah membunuh dharmawangsa (kemanusiaan).
Inilah negerimu kini, sebuah negeri yang lahir dari Pancasila, namun di dalamnya pengkhianat berkembang lebih cepat daripada lahirnya para kesatria.
Dalam penyembahan terhadap uang, banyak pemimpin, termasuk presiden kita, lupa pada akar dan prinsip-prinsip dasar. Sejarah telah mencatat bahwa karena mereka melupakan nilai-nilai luhur dan terbuai oleh kekuasaan serta kekayaan, beberapa dari mereka mengalami kudeta dan dilengserkan.
Namun, kisah-kisah ini tampaknya tidak menjadi cermin, tidak menjadi peringatan yang diingat atau pelajaran yang dipelajari. Mereka gagal memahami bahwa perjalanan itu seharusnya menjadi pelajaran hidup.
Ketika uang besar dan kekuasaan besar diperoleh, dua hal ini bisa membuat seseorang menjadi “lupa”. Lupa akan asal-usulnya, lupa pada teman-teman yang pernah mendukungnya, lupa pada keluarga, dan lupa pada kolega. Mereka lupa bagaimana uang dan kekuasaan itu diperoleh, dan lebih parah lagi, mereka lupa untuk apa keduanya seharusnya digunakan. Lupa akan makna sejati dari uang dan kekuasaan.
Tidak jarang, mereka bahkan lupa berterima kasih, lupa menempatkan diri, lupa pada jati diri mereka sendiri, lupa akan sangkan paraning dumadi (asal-usul kehidupan). Akhirnya, lupa segalanya hingga mereka tersesat dan menjadi gila oleh keserakahan.
Akhirnya, dalam republik uang yang dibiayai oleh para oligarki, perampok dengan mudah duduk menikmati kopi di istana; pencuri bersantai di gedung parlemen; sementara pencopet merajalela di jalan-jalan.
Di sisi lain, rakyat yang menderita dibiarkan sekarat dan dihibur oleh sinetron-sinetron yang menampilkan kisah pengusiran dan penyiksaan yang tak berkesudahan, tanpa harapan dan tanpa solusi.
Ilmu yang seharusnya menjadi pedoman bangsa—geografi-ekonomi-politik (geoekopol)—telah dihapus dari ruang-ruang akademik. Padahal, geoekopol bukan sekadar ilmu yang mengkaji sistem ekonomi dan politik berdasarkan letak geografis suatu negara, tapi juga mencakup kebijakan dan strategi nasional yang berpijak pada geografis negara agar Pancasila bisa hidup dan bernafas di segala aspek: bertuhan, berkemanusiaan, dan bersemesta.
Ilmu ini, yang begitu penting, kini langka dan diabaikan, sehingga kita menjadi buta terhadap realitas dan kekuatan strategis bangsa kita sendiri.
Akibatnya, kita kembali terjerumus dalam penjajahan yang hadir dengan wajah berbeda. Penjajahan melahirkan kebodohan; kebodohan memicu kemiskinan; kemiskinan menghasilkan kekufuran; kekufuran memperanakkan penjilatan; dan penjilatan membuka pintu bagi pengkhianatan. Sebuah siklus yang menakutkan, merusak, dan memusnahkan kedaulatan bangsa.
Ngeri. Benar-benar mengerikan. Tapi kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Saatnya bangkit, segera sadar dan melawan. Tugas kita sekarang adalah mendelet semua warisan kolonial yang masih mencengkeram negeri ini—penjajahan, kebodohan, kemiskinan, kekufuran, dan pengkhianatan—untuk memastikan terwujudnya Nusantara yang adil, makmur, dan berdaulat. Sebuah nusantara yang menjadi surga di bumi. Semoga.