Pancasila Dan Kultur KKN

Pancasila Dan Kultur KKN

MJ. Jakarta – Hujan deras menyambut pertemuan kami di Nako Kafe, kawasan Jalan Margonda, Depok. Malam itu, dalam suasana yang hangat dan penuh keakraban, guru kami, Dody Budiatman, mentraktir kami kopi. Dengan penuh semangat, ia ingin berbagi cerita mengenai kondisi KKN yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia.

Kecemasan Dody bukan tanpa alasan. Sejak pensiun dari Setneg, ia melihat korupsi semakin merajalela. Meskipun pemerintahan Prabowo berkomitmen untuk memberantas masalah ini, realitas yang ada menunjukkan sebaliknya.

Ia berhipotesa,”Dengan adanya kasus di Mahkamah Agung saat ini, seharusnya presiden menetapkannya sebagai ‘bencana nasional.’ Hal ini disebabkan oleh besarnya transaksi para makelar kasus dan tersebarnya titik-titik praktik tersebut di berbagai lembaga peradilan di seluruh Indonesia. Lembaga penegak hukum tampak lumpuh, agensi-agensi pengawasan kian rapuh, sementara rakyat hanya bisa merasakan getir.”

Dengan mengumumkan hari bencana nasional, Presiden diharapkan mampu memberikan terapi kejut terhadap perilaku korupsi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Tanpa adanya shock therapy ini, mata rantai korupsi hanya akan terus berlangsung. Ini adalah ide terbaru dari guru kami.

Melihat begitu banyak pejabat yang tertangkap karena kasus KKN, hingga berbagai profesi pun telah ternoda oleh praktik tersebut, kita dihadapkan pada sejarah panjang korupsi yang sangat masif di Indonesia. Hal ini menuntut adanya terobosan yang benar-benar jenius. Tanpa kejeniusan yang mampu mematahkan kebiasaan buruk ini, upaya pemberantasan KKN hanya akan menjadi sebatas “omon-omon” tanpa pernah terwujud.

Kita menyadari bahwa praktik KKN adalah perbuatan yang merugikan negara secara luar biasa. KKN memperlambat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, menurunkan tingkat investasi, serta meningkatkan angka kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan ketimpangan pendapatan.

Dampak buruk ini akhirnya menurunkan kebahagiaan masyarakat luas, sementara kebahagiaan hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga penguasa. Monopoli kekayaan yang tidak adil menjadi sumbu penderitaan bagi rakyat jelata.

Ya, perilaku KKN telah menjadi tradisi dan terus berkembang hingga dianggap seperti “agama baru” serta kategori extraordinary crime, tetapi kita masih kalah dan gagal untuk menghancurkannya. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah KKN memang merupakan budaya yang diwariskan secara turun-temurun?

Beberapa penelitian terkini tentang kultur KKN di Indonesia menyimpulkan bahwa salah satu akar utama KKN adalah sistem politik yang korup dan keberadaan partai politik kartel. Keduanya tumbuh dari konstitusi baru hasil amandemen 2002. Dari konstitusi yang mengkhianati Pancasila dan jati diri bangsa ini, lahirlah negara partai yang feodal, oligarkis, dan sarat makelar kasus.

Ya, kita menyaksikan bersama bahwa mayoritas partai politik besar di Indonesia dikelola layaknya perusahaan keluarga dan dikendalikan oleh segelintir oligarki. Kritik dan saran terhadap mereka seakan hanya menjadi ujaran pada patung yang tuli, bisu, dan buta; tanpa hati, akal, ucapan, tulisan, ataupun tindakan yang responsif.

Ketika kita berbicara tentang tiga strategi pemberantasan KKN yang harus diterapkan di Indonesia—trisula anti-KKN, yaitu penindakan, pencegahan, dan pendidikan—para pemilik partai politik justru sibuk menunjuk sanak famili sebagai pengurusnya.

Kini, kultur KKN tersebut terus bersemi, bahkan dijalankan secara serius dalam “kurikulum” tersendiri. Padahal, aktor-aktor KKN jelas anti-Tuhan, anti-kemanusiaan, anti-persatuan, anti-kebijaksanaan, dan pasti anti-keadilan sosial. Tak diragukan lagi, mereka ini anti-Pancasila, menjadikan mereka bukan hanya penjahat besar, tetapi juga penjahat bagi negara.

Para pelaku KKN pastilah mereka yang tidak mencintai Tuhan. Sebab, jika seseorang mencintai Tuhan, ia tidak akan menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri, golongannya, atau kelompoknya. Karena itu, melakukan KKN adalah bentuk pengkhianatan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menghadapi kultur KKN ini, hanya ada satu metode: kepemimpinan seorang presiden yang pancasilais. Seorang pemimpin yang menjalankan prinsip sembilan mental dalam pemerintahannya: jujur, peduli, mandiri, disiplin, bertanggung jawab, bekerja keras, sederhana, berani, dan adil. Dengan mental seperti ini, orang-orang di sekitarnya akan mengikuti, dan rakyat pun akan patuh.

Sebaliknya, tanpa kepemimpinan yang berprinsip kuat, arus balik KKN akan menjadi lebih mengkhawatirkan. Kita mungkin akan menyaksikan hari-hari mendatang dengan perasaan getir.

Penulis: Prof. Yudhie Haryono CEO Nusantara CentreEditor: Red